A Little Party: For 09th January 2013

Tags



Sembilan Januari berlalu begitu saja, tanpa ada satu hal pun yang istimewa. Tahun ini nggak ada acara. Nggak ada kue, nggak ada pesta… juga nggak ada kado atau semacemnya. Maklum, orang desa.
Wew…
Semua berjalan sewajarnya hari-hari biasa. Seolah hari ulang tahunku itu emang nggak berarti apapun buat siapapun. Semua yang wolling fb udah aku komeng, dan yang sms juga udah aku  balas. So, kelar udah acara hari ulang tahunku. Tinggal tidur…
zZzZ…
Karena tidurnya ambil jam cepat, aku pun bangun lebih cepat dari biasanya. Jam lima pagi, lebihnya lima puluh menit sih. He…. Aku keluar kamar, cuci muka trus menyapa dunia. “Selamat pagi duniaaaa…!” seruku ─ dalam ruang imajinasiku. Gila aja kalo aku musti seriusan teriak pagi-pagi buta, cuma buat ngucapin selamat pagi sama dunia. Boro-boro dunia jawab, denger apa enggak juga aku nggak tahu! And oke… back to activity.
Salah satu fasilitas tambahan dari musim ujan, ialah udara dengan suhu abnormal panasnya, yang sebenarnya hanyalah langkah awal dari rumitnya proses terjadinya ujan. Jam delapan pagi rumah udah sepi penghuni. Udah biasa sih. Sendiri hanya ditemani sobatku si Lepi. Kakak, ade, mamih, papih, bahkan Pak RT sama Bu RW, semua pergi ─ dan tinggal aku seorang diri. Dari pagi aku sibuk. Atau… sebut saja menyibukkan diri. Dengan bertambahnya usiaku, aku juga pengin membuat satu resolusi. Dan aku membuat semacam foto sampul buat akun fb-ku. Sebuah foto yang menggambarkan sebuah hari yang baru buatku. Hari dimana aku akan mengisi hari-hariku dengan semangat yang baru. Kurasa bukan Cuma aku yang punya pikiran semacam itu? Semangat baru, aku menjabarkannya dengan, ‘Brand New Day’.
Hari dengan suhu udara yang memaksaku mandi peluh benar-benar sangat amat lambat. Seolah roda waktu ikut terkena imbas suhu yang ambisius. Biasanya aku mengeluh karena waktu cepat sekali berlalu, tapi sekarang aku justru ingin sekali roda waktu mempercepat lajunya.
Tik! Tok! Tik! Tok!
Jam tiga lewat tiga puluh satu menit, Nurul pulang ─ tapi ternyata adeku nggak pulang sendirian. Ia bareng sobatnya Anya. Mereka langsung masuk kamar tanpa basa-basi. Aku sempat melihat satu atau dua tas kresek yang mereka coba sembunyikan dariku. Warnanya kuning. Dan sebagai catatan saja, buatku sih udah biasa kalo adeku bawa jajan dengan modus diam-diam. Dan aku sama sekali nggak curiga. Aku tetap sibuk dengan Lepiku. Mengerjakan cerpen yang baru setengah bagian kukerjakan. Dan…
Pukul tiga lewat lima puluh tujuh menit, atau tepatnya jam empat kurang tiga menit ─ Pintu kamar Nurul terbuka. Memperlihatkan senyum adeku yang sekejap langsung menghilang di balik pintu yang kembali ditutupnya. Aku mengkerutkan keningku, bertanya ada apa sebenarnya!? Aku masih sempat melihat senyum adeku yang terlihat seperti ragu, grogi atau sejenisnya sebelum ia menghilang ditelan pintu. Ia kulihat membisikkan sesuatu pada Anya yang juga membalasnya dengan suara tak kalah pelannya. Sepertinya mereka tengah mendiskusikan sesuatu. Dan aku masih sempat melihat seberkas cahaya merah membersit mengiringi senyum adeku yang mencoba keluar dari sarangnya untuk kedua kalinya. Apa, sih!? Heranku. Alisku terangkat sebelah. Tanganku berhenti mengetikkan kalimat. Tepat di bagian yang paling kusuka dari menulis cerpen. Judul.
“Mas Hida, happy birthdaaay…!”
Deg!
Aku merasa jantungku berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Tidak cukup lama hingga membuatku kehilangan nyawa. Tapi mereka sungguh membuatku terkejutdengan hebatnya. Dengan sepotong kue di tangannya, Anya berjalan dengan senyum tak hentinya terkembang. Cewek cantik berpostur tinggi itu akhirnya sampai di depanku bebarengan dengan Nurul adeku. Kue ditaruhnya di hadapanku yang tak bisa menghentikan bibirku dari membentuk segaris senyuman. Dan aku yakin inilah yang disebut… bahagia. Tapi aku bahkan nggak tahu harus berkata apa pada keduanya. “Ihh… makasih…” ucapku. “Tapi mas kan ultahnya kemareeen…?”
Keduanya sama menampilkan senyum di wajah mereka dan serentak menjawab, “Kemaren kita kan sibuk mas…”
Aku masih konsisten dengan senyum menghias wajahku, sementara kue dengan deretan lilin aneka warna menyala menghias kue yang hanya berdiameter tak lebih dari lima belas cm itu. “Mas tiup nih berarti?”  kataku masih dengan senyumku.
“Kalo nggak ditiup, trus mau diapain emang mas?” canda Anya, sementara adeku masih berdiri di depanku. Masih dengan senyum menempel di parasnya.
“Eh, bentar, bentar, mas. Kita foto dulu…” sela Anya. Adeku langsung bergerak masuk kamarnya. Mengambil kamera yang… sial, batrenya habis. Sementara nyala api semakin mengikis pilar-pilar penyangganya.
Aku sedikit kesal dengan kameraku ─ selalu saja nggak bisa aku andelin saat aku justru butuh dia. “Ganti make batre alkalin aja, Cu!” pintaku. Kurasa aku mulai merasa sayang kehilangan momen pesta ulang tahunku. Adeku mulai mencari. Dan setahuku emang nggak gampang nemu batre secanggih alkalin di warung kecil macam punya mamih. Batre biasa jelas nggak mungkin. Pernah aku coba dan berakhir dengan kecewa. Dan kenapa sekarang aku musti mengulang rasa kecewa yang sama!?
“Nggak ada, mas.” Adeku pasrah. Sama sekali nggak ada batre yang kami butuhkan. “Ya udah. Beliin aja dulu sana, Cu!” kataku. Aku semakin sayang buat kehilangan momen berhargaku. Momen berharga kami. Sementara pilar-pilar itu makin terkikis nyala api yang melelehkannya.
“Ya udah lah, yank. Pake kamera hp-ku aja!” kata Anya yang langsung menyodorkan hp BB miliknya pada adeku. Sambil pasang muka sedikit manyun, Nurul bersiap dengan kamera di tangannya dan aku memasang senyum semanis mungkin dengan kue ulang tahunku yang mulai terbakar. Anya mengambil posisi jongkok tepat di sebelahku. Memoles wajahnya dengan senyum terindahnya.
Click!
Adeku jauh lebih pandai dariku dalam urusan foto memfoto. Tapi agaknya sekali ini aku harus kecewa. Aku memasang rona cemberut menatap hasil jepret adeku. JELEEEEKK…!!! Teraikku dalam hati. Sejujurnya sih, aku memang nyaris teriak. Gara-gara pemadaman listrik bergilir, hasil fotonya jadi jelek karena kurangnya cahaya penerang. “Ihh.. kok jelek sih hasilnyaaa…!!??” keluhku. Dan rasanya aku juga sempat mengerucutkan bibirku untuk dua detik lamanya. “Yam au gimana lagi, orang lagi mati lampu, mas.” Sahut adeku. Agakya dia juga sedikit kecewa dengan hasil foto yang diambilnya. “Lampu flashnya nggak ada sih, mas. He…” timpal Anya. Alasan yang cukup menghibur. Dan logis tentunya.
“Ayo mas. Potong kuenya.”
“Mas yang motong, Nya?” ucapku. Berusaha mengakhiri peran senyumku dan menggantinya dengan sejentik rona polosku.
“Ya iyalah mas.” Untuk kedua kalinya mereka kompak.
Aku nyengir dan mengambil pisau kue yang Nurul sodorkan padaku. Memotong kuenya menjadi ─ wow. Aku bingung harus memotongnya jadi berapa bagian!? “Perasaan waktu mas beliin kue ultah kamu kemaren size-nya lebih gedean loh beb!?” ujarku. alasan yang sungguh masuk akal. Semakin besar kuenya, maka akan semakin mudah memperkirakan ukuran potongnya. Tapi setelah kuhitung ulang… mengingat peserta pestanya hanya tiga orang ─ ehm. Aku menemukan jawabannya dan mulai memotong kuenya.
  Sepotong kecil kue habis kulumat dalam mulutku. Dan terus terang, butuh waktu lebih lama dari saat aku menikmati es krim cone, sampai aku benar-benar dapat kesan tentang rasanya. “Enak, kan?” ucap adeku. Memperlihatkan sebarisan giginya yang nampak rapih bersih. Keduanya sama tersenyum padaku ─ menanti jawaban yang akan keluar dari mulutku. Lalu aku tersenyum dan sekali lagi melahap kue kejutanku.
“Ini dari kami bedua, mas.” Ucap adeku. Tangannya mengulurkan sebuah bingkisan tas kertas sebelum akhirnya mulai menjauh dariku. Keduanya sekali lagi lebarkan senyum mereka. Menanti ekspresi apa yang akan dimainkan wajahku dengan bingkisan kado mereka. Dan aku semakin nggak kuasa menghentikan bibirku dari membentuk selarik senyuman yang melengkung dengan sempurnanya. Kubuka bingkisan di tanganku dan kudapati sbuah buku notes besar terdapat di dalamnya. Wow… kuharap mereka akan menyudahi kejutan mereka ─ atau aku akan benar-benar berakhir dengan berbaring di rumah sakit karena serangan jantung.
“Ih, cakep banget beeeeebbbbbb…!!!” seruku. Takjub dengan apa yang tengah kupegang di kedua tanganku. “Iya kan mas…” kata Anya. “Kita kan tau Mas Hida suka nulis, jadi ya kita milihnya intu…”
 Aku meraba dengan lembut, motif tangan berpena bulu yang tergambar timbul di sampul buku setebal 15 mm itu. Lovely… aku tak bisa berhenti mengagumi betapa mereka pandai sekali memilih kado untukku. Lovely… love u my angels… thanks for your present, thanks for everything…
“Nah, sekarang tinggal makan-makannya mas…”
“Hah!?”


By: Hida

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon