Sembilan Januari berlalu begitu saja, tanpa ada satu hal pun yang istimewa. Tahun ini nggak ada acara. Nggak ada kue, nggak ada pesta… juga nggak ada kado atau semacemnya. Maklum, orang desa.
Wew…
Semua berjalan sewajarnya hari-hari biasa. Seolah
hari ulang tahunku itu emang nggak berarti apapun buat siapapun. Semua yang wolling fb udah aku komeng, dan yang sms
juga udah aku balas. So, kelar udah acara hari ulang tahunku.
Tinggal tidur…
zZzZ…
Karena tidurnya ambil jam cepat, aku pun bangun
lebih cepat dari biasanya. Jam lima pagi, lebihnya lima puluh menit sih. He….
Aku keluar kamar, cuci muka trus menyapa dunia. “Selamat pagi duniaaaa…!”
seruku ─ dalam ruang imajinasiku. Gila aja kalo aku musti seriusan teriak
pagi-pagi buta, cuma buat ngucapin selamat pagi sama dunia. Boro-boro dunia
jawab, denger apa enggak juga aku nggak tahu! And oke… back to activity.
Salah satu fasilitas tambahan dari musim ujan, ialah
udara dengan suhu abnormal panasnya, yang sebenarnya hanyalah langkah awal dari
rumitnya proses terjadinya ujan. Jam delapan pagi rumah udah sepi penghuni.
Udah biasa sih. Sendiri hanya ditemani sobatku si Lepi. Kakak, ade, mamih,
papih, bahkan Pak RT sama Bu RW, semua pergi ─ dan tinggal aku seorang diri.
Dari pagi aku sibuk. Atau… sebut saja menyibukkan diri. Dengan bertambahnya
usiaku, aku juga pengin membuat satu resolusi. Dan aku membuat semacam foto
sampul buat akun fb-ku. Sebuah foto yang menggambarkan sebuah hari yang baru
buatku. Hari dimana aku akan mengisi hari-hariku dengan semangat yang baru.
Kurasa bukan Cuma aku yang punya pikiran semacam itu? Semangat baru, aku
menjabarkannya dengan, ‘Brand New Day’.
Hari dengan suhu udara yang memaksaku mandi peluh
benar-benar sangat amat lambat. Seolah roda waktu ikut terkena imbas suhu yang
ambisius. Biasanya aku mengeluh karena waktu cepat sekali berlalu, tapi
sekarang aku justru ingin sekali roda waktu mempercepat lajunya.
Tik! Tok! Tik! Tok!
Jam tiga lewat tiga puluh satu menit, Nurul pulang ─
tapi ternyata adeku nggak pulang sendirian. Ia bareng sobatnya Anya. Mereka
langsung masuk kamar tanpa basa-basi. Aku sempat melihat satu atau dua tas
kresek yang mereka coba sembunyikan dariku. Warnanya kuning. Dan sebagai
catatan saja, buatku sih udah biasa kalo adeku bawa jajan dengan modus
diam-diam. Dan aku sama sekali nggak curiga. Aku tetap sibuk dengan Lepiku.
Mengerjakan cerpen yang baru setengah bagian kukerjakan. Dan…
Pukul tiga lewat lima puluh tujuh menit, atau tepatnya
jam empat kurang tiga menit ─ Pintu kamar Nurul terbuka. Memperlihatkan senyum
adeku yang sekejap langsung menghilang di balik pintu yang kembali ditutupnya.
Aku mengkerutkan keningku, bertanya ada apa sebenarnya!? Aku masih sempat
melihat senyum adeku yang terlihat seperti ragu, grogi atau sejenisnya sebelum
ia menghilang ditelan pintu. Ia kulihat membisikkan sesuatu pada Anya yang juga
membalasnya dengan suara tak kalah pelannya. Sepertinya mereka tengah
mendiskusikan sesuatu. Dan aku masih sempat melihat seberkas cahaya merah
membersit mengiringi senyum adeku yang mencoba keluar dari sarangnya untuk
kedua kalinya. Apa, sih!? Heranku. Alisku terangkat sebelah. Tanganku berhenti
mengetikkan kalimat. Tepat di bagian yang paling kusuka dari menulis cerpen.
Judul.
“Mas Hida, happy birthdaaay…!”
Deg!
Aku merasa jantungku berhenti berdetak untuk
sepersekian detik. Tidak cukup lama hingga membuatku kehilangan nyawa. Tapi
mereka sungguh membuatku terkejutdengan hebatnya. Dengan sepotong kue di
tangannya, Anya berjalan dengan senyum tak hentinya terkembang. Cewek cantik
berpostur tinggi itu akhirnya sampai di depanku bebarengan dengan Nurul adeku.
Kue ditaruhnya di hadapanku yang tak bisa menghentikan bibirku dari membentuk
segaris senyuman. Dan aku yakin inilah yang disebut… bahagia. Tapi aku bahkan
nggak tahu harus berkata apa pada keduanya. “Ihh… makasih…” ucapku. “Tapi mas kan
ultahnya kemareeen…?”
Keduanya sama menampilkan senyum di wajah mereka dan
serentak menjawab, “Kemaren kita kan sibuk mas…”
Aku masih konsisten dengan senyum menghias wajahku,
sementara kue dengan deretan lilin aneka warna menyala menghias kue yang hanya
berdiameter tak lebih dari lima belas cm itu. “Mas tiup nih berarti?” kataku masih dengan senyumku.
“Kalo nggak ditiup, trus mau diapain emang mas?”
canda Anya, sementara adeku masih berdiri di depanku. Masih dengan senyum
menempel di parasnya.
“Eh, bentar, bentar, mas. Kita foto dulu…” sela
Anya. Adeku langsung bergerak masuk kamarnya. Mengambil kamera yang… sial,
batrenya habis. Sementara nyala api semakin mengikis pilar-pilar penyangganya.
Aku sedikit kesal dengan kameraku ─ selalu saja
nggak bisa aku andelin saat aku justru butuh dia. “Ganti make batre alkalin
aja, Cu!” pintaku. Kurasa aku mulai merasa sayang kehilangan momen pesta ulang
tahunku. Adeku mulai mencari. Dan setahuku emang nggak gampang nemu batre
secanggih alkalin di warung kecil macam punya mamih. Batre biasa jelas nggak
mungkin. Pernah aku coba dan berakhir dengan kecewa. Dan kenapa sekarang aku
musti mengulang rasa kecewa yang sama!?
“Nggak ada, mas.” Adeku pasrah. Sama sekali nggak
ada batre yang kami butuhkan. “Ya udah. Beliin aja dulu sana, Cu!” kataku. Aku
semakin sayang buat kehilangan momen berhargaku. Momen berharga kami. Sementara
pilar-pilar itu makin terkikis nyala api yang melelehkannya.
“Ya udah lah, yank. Pake kamera hp-ku aja!” kata
Anya yang langsung menyodorkan hp BB miliknya pada adeku. Sambil pasang muka
sedikit manyun, Nurul bersiap dengan kamera di tangannya dan aku memasang
senyum semanis mungkin dengan kue ulang tahunku yang mulai terbakar. Anya
mengambil posisi jongkok tepat di sebelahku. Memoles wajahnya dengan senyum
terindahnya.
Click!
Adeku jauh lebih pandai dariku dalam urusan foto
memfoto. Tapi agaknya sekali ini aku harus kecewa. Aku memasang rona cemberut
menatap hasil jepret adeku. JELEEEEKK…!!! Teraikku dalam hati. Sejujurnya sih,
aku memang nyaris teriak. Gara-gara pemadaman listrik bergilir, hasil fotonya
jadi jelek karena kurangnya cahaya penerang. “Ihh.. kok jelek sih
hasilnyaaa…!!??” keluhku. Dan rasanya aku juga sempat mengerucutkan bibirku
untuk dua detik lamanya. “Yam au gimana lagi, orang lagi mati lampu, mas.”
Sahut adeku. Agakya dia juga sedikit kecewa dengan hasil foto yang diambilnya.
“Lampu flashnya nggak ada sih, mas. He…” timpal Anya. Alasan yang cukup
menghibur. Dan logis tentunya.
“Ayo mas. Potong kuenya.”
“Mas yang motong, Nya?” ucapku. Berusaha mengakhiri
peran senyumku dan menggantinya dengan sejentik rona polosku.
“Ya iyalah mas.” Untuk kedua kalinya mereka kompak.
Aku nyengir dan mengambil pisau kue yang Nurul
sodorkan padaku. Memotong kuenya menjadi ─ wow. Aku bingung harus memotongnya
jadi berapa bagian!? “Perasaan waktu mas beliin kue ultah kamu kemaren size-nya
lebih gedean loh beb!?” ujarku. alasan yang sungguh masuk akal. Semakin besar
kuenya, maka akan semakin mudah memperkirakan ukuran potongnya. Tapi setelah
kuhitung ulang… mengingat peserta pestanya hanya tiga orang ─ ehm. Aku
menemukan jawabannya dan mulai memotong kuenya.
Sepotong kecil kue habis kulumat dalam
mulutku. Dan terus terang, butuh waktu lebih lama dari saat aku menikmati es
krim cone, sampai aku benar-benar dapat kesan tentang rasanya. “Enak, kan?”
ucap adeku. Memperlihatkan sebarisan giginya yang nampak rapih bersih. Keduanya
sama tersenyum padaku ─ menanti jawaban yang akan keluar dari mulutku. Lalu aku
tersenyum dan sekali lagi melahap kue kejutanku.
“Ini dari kami bedua, mas.” Ucap adeku. Tangannya
mengulurkan sebuah bingkisan tas kertas sebelum akhirnya mulai menjauh dariku.
Keduanya sekali lagi lebarkan senyum mereka. Menanti ekspresi apa yang akan
dimainkan wajahku dengan bingkisan kado mereka. Dan aku semakin nggak kuasa
menghentikan bibirku dari membentuk selarik senyuman yang melengkung dengan
sempurnanya. Kubuka bingkisan di tanganku dan kudapati sbuah buku notes besar
terdapat di dalamnya. Wow… kuharap mereka akan menyudahi kejutan mereka ─ atau
aku akan benar-benar berakhir dengan berbaring di rumah sakit karena serangan
jantung.
“Ih, cakep banget beeeeebbbbbb…!!!” seruku. Takjub
dengan apa yang tengah kupegang di kedua tanganku. “Iya kan mas…” kata Anya.
“Kita kan tau Mas Hida suka nulis, jadi ya kita milihnya intu…”
Aku meraba
dengan lembut, motif tangan berpena bulu yang tergambar timbul di sampul buku
setebal 15 mm itu. Lovely… aku tak
bisa berhenti mengagumi betapa mereka pandai sekali memilih kado untukku. Lovely… love u my angels… thanks for your present,
thanks for everything…
“Nah, sekarang tinggal makan-makannya mas…”
“Hah!?”
By:
Hida
EmoticonEmoticon