Puncak SidoGede

Tags



Minggu.23.12.2012.GoingToEdgeOfSidoGede

            Jam digital di ponselku menunjukkan pukul 08:03.AM, ketika aku dengan penuh semangat meluncur dari halaman rumahku bareng Bram. Kami menuju Desa Sidogede.
Jatuh cinta pada sebuah ide memang hal yang gila. Tapi itulah yang terjadi padaku. Saat sebuah ide muncul dan bergemerlap dalam kepalaku, aku selalu tak kuasa menahan gejolak ingin tahu dalam diriku. Yap, kali ini ada sesuatu yang aku butuhkan dari daerah pedesaan yang biasa digunakan sebagai rute mountenering anak-anak sekolah itu. Karena itu aku melesat dengan motor maticku dan langsung mengarah ke Desa Sidogede.
            Belum juga sepuluh menit kami melaju, ponselku berdering memainkan lantunan lagu Totsugeki Rock yang menjadi soundtrack anime Naruto ─ favoritku. Aku suka sekali dengan lagunya dan kujadikan nada panggil ponselku. “Hallo, assalammualaikum…” terdengar suara seorang perempuan paruh baya dari speaker Nokia C2 milikku. Bisa kutebak ─ pasti salah seorang suster di Puskesmas Kutowinangun. Karena layar LCD menampilkan nomor telpon instansi kesehatan daerah kami tersebut. “Bisa anter aqua nggak mas?” katanya dengan suara agak berat. Baguslah ia tahu persis kalau hari Minggu itu harusnya jadi hari libur bagi semua orang. Kecuali mereka yang bekerja dalam ruang lingkup kesehatan tentunya. “Ya, bisa bu. Bentar tapi yah… ini lagi di jalan…” sahutku, dan negosiasi pun berakhir ─ sementara aku terus melaju.
            Aku memacu motorku dengan santai. Well, tak ada yang harus aku buru kecuali waktu. Dan hari ini aku punya cukup banyak waktu untuk aku habiskan dalam sehari. “Mengko dalane nanjak ora Brem?” tanyaku. Kami memang banyak mengobrol sepanjang perjalanan kami. Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku seputar tempat yang kami tuju. Kami menuju tempat yang dahulu menjadi medan kegiatan mountenering Bram sewaktu dia masih menjadi andik dan dewan pramuka di SMA Negeri Satu Kutowinangun. “Ora begitu nanjak banget lah.” Kata Bram dari belakangku.
            Kami berhasil melewati jembatan Gentan yang menjadi tanda bahwa kami mulai masuk daerah Prembun. “Teseh adoh ya Bram?” aku bertanya untuk kesekian kalinya. Bram memberi tanda kalau kami sudah hampir sampai. Sepertinya ia sibuk dengan ponselnya sementara mengobrol denganku.
“Lah tempat kumpule endi Bram?” tanyaku ketika kubelokkan motor ke kiri dan masuk jalan menuju Wadas Lintang.
            Bram kulihat melengos ke kanan dan ke kiri di belakangku dengan seraut wajah bingung sebelum menjawab. “Ih, kayane wes keliwatan loh Hid.” Katanya. Suaranya terdengar sedikit kacau. Antara yakin dan tidak.
            “Kumpule ku neng SD Tersobo ngawur , Hid. Wes kelewatan kae mau…” ia menunjuk ke arah barat agak ke selatan. Setahuku memang ada sebuah sekolah SD di balik deretan toko yang berjarajar sepanjang jalan di samping kami. Dan kali ini Bram yakin kalau kami telah melewatkan tempat berkumpul. Titik yang harusnya benar-benar penting untuk kuketahui. “Lah terus keprie kie…?” tanyaku. Kembali mungkin bisa jadi solusi satu-satunya. Dan yang terbaik tentunya. Tapi Bram berpendapat lain. “Uwes, terus bae. Ko liwat kana juga bisaa, Hid.”
            Sesuai sarannya, kami pun melanjutkan perjalanan kami dengan mengacuhkan titik aman pertama kami. Melaju dengan kecepatan konsisten di 40 km/h, kami melewati SMANSABUN, lalu sebuah jembatan lebar dimana di bawahnya membentang sungai yang… sayang aku tidak tahu namanya. Yah, pokoknya kami berlanjut dan sampai di depan Sekolah Dasar dengan tulisan di papannya terbaca, SD Negeri Sidogede.
            Kami lantas mengambil jalan masuk menuju ke dalam desa. “Lah ki terus mengendi Bram?”
“Owes pokoke ngetut buri dalan kie bae. Jare pengin nelusuri jejak mountenering…”
Aku diam sejenak dan menjawab dua detik kemudian. “Iyo sih. Tapi nanjake duwur po ra?” kataku. Jelas akan sangat masalah jika kami harus mengendarai motor dengan jalan menanjak. Apalagi kalau yang akan kami lewati nanti adalah jalan dengan rasio kemiringan mencapai 45º? Wew…
Kami melaju dengan mengikuti marking berbentuk anak panah biru yang dibuat ketika acara mountenering berlangsung. Dan Bram menjelaskan detil event mountenering padaku sementara kami melaju mengikuti marking tersebut. Kami berhenti di titik ketika marking yang kami ikuti menunjuk arah atas. “Terus keprie ki Bram?” tanyaku. Jelas aku ingin sekali bisa menelusuri keseluruhan rute agar bisa kujadikan materi tulisanku sebanyak mungkin. “ya terserah koe. Arep munggah? Apa arep keprie?”
Bram memberiku pilihan yang sulit. Di satu sisi aku ingin terus mendaki, di sisi lain… jelas medan yang akan kami lelui mulai titik ini akan sangat sulit sekali. Sempat berdebat tentang kemungkinan motor kami titipkan, tapi segera kami urungkan. “Yo wes lah. Majuuu…!” tekad telah kubulatkan, dan kami pun segera mengambil tindakan.
Motor kembali kunyalakan dan kami mulai menyisiri jalanan kecil berupa pematang sawah yang kemudian mengantar kami ke petunjuk arah yang lain. “Becek dalane yoh? Asem…” keluhku, kesal dengan ban motorku yang telah berselaputkan tanah basah. “Jenenge be musim ujan, Hid. Yo wes genah becek lahh. Keprie lanjut ra?”
“Lanjut lah!” mantapku. Dan kami pun kembali melaju. Aku duduk mengendarai motorku, sementara Bram berjalan pelan sambil sibuk mencari-cari anak panah biru lain. Dan waw…
Di sepanjang jalan, berjajar ladang dengan berbagai macam tanaman berdiri di atasnya. Mulai dari jagung, sayuran, dan… yah, aku mana mungkin menyebutkannya satu persatu. Udara begitu sejuk tanpa satu pun polusi menyentuh alam di sekitar kami. Bram kembali memainkan ponsel. Kali ini dengan ponselku. Aku menyuruhnya sms dan bertanya pada teman kami tentang nama-nama Sangga yang menjadi nama regu dalam pramuka.
Tsalits menjawab dengan begitu cekatan pertanyaan kami. “Pelaksana, Perintis, Pendobrak, Penegak. Nek ra salah kue tokk…”
“Ah, kurang kiee… haruse lima sanggane…” balas Bram. Ia masih belum puas dengan jawaban Tsalits. Bram kembali bertanya, namun Tsalits tak bisa membantu lebih dari yang sudah dilakukannya. “Kurang satu. Lali…” katanya dengan berbumbu sedikit tawa. Bisa kubayangkan bagaimana cewek Taurus penyuka celana pensil itu tersenyum nyengir di tempatnya. Kurasa ia banyak bertanya di kepalanya, tentang mengapa aku banyak bertanya tentang ini itu belakangan ini.
Haha…
Marking yang kami ikuti membawa kami keluar dari lintas sawah dan masuk ke sirkuit jalur setapak. Jalan yang kami tapaki semakin menanjak. Lebih dari yang telah kami lalui. Bram terus memandu, sementara aku menjalankan motorku dengan pelan sambil dengan cermat memperhatikan lintas setapak yang menyangga motorku. Berusaha agar tidak terpleset di tengah setapak kecil yang memungkinkan kami tergelincir kapan saja. “Busyeett… makin nanjak Bram?”
“Owes ra pa-pa. Santé buen… bisa, bisaaa…” kata Bram. Sedikit membuatku tenang, sekaligus cemas. Dia terlalu optimis. Huff…
Sialan! Ternyata selain lebar jalan yang sempit, permukaannya juga licin karena selaput air yang melapisi jalan setapak tersebut. Kurasa kelembaban udara di daerah pedesaan yang tinggi lah penyebabnya. Belum lagi ditambah hujan yang belakangan disiplin turun akhir-akhir ini?
“Nanjak maning…” aku menambah tarikan gas motorku perlahan dan menjaganya agar tetap bertahan dalam minimnya medan jalan yang bisa kami jadikan pijakan. Dan tiba-tiba…
Krusak…!!!
Aku mendadak hilang keseimbangan. Kaki kananku terpaksa jatuh terjembab. “Bram… Braammm…” aku berseru memanggil Bram yang masih berjalan di belakang, sementara kaki kananku makin masuk ke selokan. Bram datang dua detik kemudian dan mengambil alih motor yang dengan setengah mati kupertahankan. Aku tidak mau motorku sampai harus ikut terjembab menyusulku. “Alon, Hid. Dalane licin ngaraang…” katanya. Benar-benar membuat semua terlihat mudah dengan ucapannya.
Wew…
Aku berhasil bangkit dan berdiri kembali bersama maticku. “Lanjut?” tanya Bram sambil tebar senyumnya. Kesannya benar-benar seperti ia tengah berkata, “Sanggup oraaa…?” dengan satirisnya, yang jelas kuanggap sebagai suatu bentuk tantangan. “Ayolah…!” sahutku dengan senyum yang telah kuisi penuh dengan semangat membela kebenaran. Mungkin aku perlu berteriak macam Sailormoon. “Dengan kekuatan bulan, akan menghukummu!!”
Haha…
Itu kalimat kutipan anime favoritku zaman dahulu, waktu aku masih kecil dulu. Oke, kembali ke Sidogede. Kami terus menelusuri jalan setapak yang semakin naik. Mungkin hampir mencapai rasio kemiringan 35º. Dan ternyata jalan setapak di bagian atas tidak selebar sebelumnya. Menyempit dengan sisi kiri rimbunan pohon dan sisi kanan tanah curam. Kami benar-benar laksana berjalan di sebuah tebing dengan nyawa sebagai taruhan kapan pun kami salah dalam berjalan.
“Busyet. Makin sempit dalane Bram!?” seruku. Aku mulai berpikir ─ mungkin memang sebaiknya kami meninggalkan motor kami di bawah!? Jadi kami bisa lebih leluasa dalam melangkah.
Bram maju melangkah mendepani. Melihat apakah masih mungkin bagi kami untuk terus melangkah. “Oke, Hid. Pelan-pelan. Bisa, bisaaa…!”
Owh…
Entah sudah berapa kali aku mendengarnya menyerukan kalimat itu semenjak kami mulai menanjak. “Yowes. Oke! Mesin tak pateni buen. Koe karo njagani yah?”
“Ora, ora susah. Dinyalakna buen. Alon, alon tapi le mlaku…” balas Bram, dan kucoba mengikuti sarannya.
Wow…
Aku berhasil melewati tebing kematian dengan selamat dan masih sehat walafiat. Tapi yang menanti kami berikutnya, ternyata jauh lebih menyeramkan. Karena itu adalah sesuatu yang selalu kutakutkan semenjak kami mulai menelusuri jalan menanjak ini.
45º.
Kami berdiri menatap jalan di hadapan kami dengan mata setengah membeliak. Bahkan lidahku sampai tiga kali mendecak. Jalan menurun curam dengan rasio kemiringan 45º ─ jelas bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dilewati sebuah kendaraan. Belum lagi ditambah kadar kelembaban yang terkandung di atas permukaan jalan yang membuatnya licin. “Kayane nek sing kie butuh mateni mesin loh, Hid?” kata Bram. Baguslah kali ini kami sepakat.
            “Tarik, Bram.” Aku mulai turun. Bram berada tepat di belakangku, menarik bagian belakang motorku, menjaganya agar tidak harus sampai tergelincir untuk kedua kalinya, sementara aku fokus pada pengereman dan menjaga kesembangan. “Jal koe mlakune rada minggir, Hid. Ben bisa ngurangi daya abote.”
“Iyo, ki be owes…” sahutku. Dan kami terus turun dengan perlahan, sambil sesekali menatap ke arah sungai kecil dengan beberapa batu yang cukup besar melintang di bawah kami. “Disit Chinta juga lewat kene, yuh Bram?” candaku yang langsung disambut tawa kecil Bram yang seraya berkata, “Yo iyo lah.”
“Hahahahaha…!” tawaku meledak begitu kami sampai tepat di atas sungai dan berdiri di atas jembatan kecil. Kami berhasil melewati satu turunan curam. Menaklukan musuh paling menakutkan bagi kami di Sidogede. “Wuihhh…” aku mulai merasakan betapa nikmatnya perjalanan kami. Memandang hutan bambu yang melebat di kanan dan kiri kami sambil terus melangkah. Masih menyusuri rute mountenering Bram dulu.
“Bram. Gemblung Nanjak bangeeettt…” setelah turun 45º, kini di hadapan kami menghadang sebuah tanjakan yang hampir sama miringnya dengan turunan yang baru saja kami lalui.
            “Kayane nek kie kudu karo diurupna loh Bram motoreee…?” aku menengadah ─ menghitung perkiraan sudut kemiringan jalan di hadapan kami. Sama sekali tidak berubah. Aku perhatikan berapa kali pun, bahkan sampai aku pelototin, jalan itu tetap saja teguh dengan kemiringannya yang sama. Sialan!
            “Jagani Bram!” Kataku dan dalam sekejap Bram telah siaga di belakangku. Seperti sebelumnya, menjaga bagian belakang. Melakukan dorongan kinetik sambil menjaga keseimbangannya. “Misi mas…” kataku pada dua orang yang kulihat memegang satu senapan angin di depan kami. Bram juga melakukan hal yang serupa. Dan kami sekali lagi berhasil melewati rintangan kami di Sidogede. “Haha… terus lanjut Bram!”
            Kami kembali berada di pematangan. Aku kembali duduk di atas motor dan Bram memandu di depan mencari marking yang kami butuhkan. “Kae meng nganah pos, Hid.” Katanya selagi menunjuk arah utara. Berlawanan dengan arah yang akan kami tuju. Selatan. Dan begitu kami sedikit melewati sejalur pematangan, tibalah kami di tempat yang sungguh mengagumkan.
            “Yakin indah banget yah Bram…” seruku untuk kesekian kalinya.
“Ya iyalah…” katanya datar. Sepertinya ia sudah terbiasa dengan apa yang ada di hadapan kami. “Sayang koe ra nggowo kamera sih, Hid.”
Ew…
Bram sedikit mengusik kenikmatanku dengan mengingatkanku akan hal penting yang memang kurang pada perjalanan kami. Aku tidak membawa kamera untuk kami mengabadikan momen perjalanan kami. “Ya keprie maning lah… wong batrene entek ndul…”
“Iya sih.” Kata Bram. Yah, dengan atau pun tanpa kamera, sama sekali tidak mengubah keindahan alam Sidogede. Kami hanya perlu menikmatinya, sepuas kami melahap semua makanan enak dan mewah yang tersaji di meja kami dalam sebuah pesta. Lagi pula kami masih punya kamera ponsel yang cukup bisa kami andalkan kalau sekedar untuk mengabadikan momen. Well, memang hasilnya gak sebagus make digicam sih… tapi lumayan lah. He…
Kupejamkan kedua mataku dan kuhirup udara alam yang sejuk di sekitar kami dalam-dalam. Aku bisa merasakan, bagaimana semua keindahan itu mengalir masuk lewat kerongkongku dan mengisi penuh paru-paruku. Aku tak bisa berhenti mengagumi keindahan yang ada di hadapan kami. Sebuah tempat yang cukup luas untuk kami menikmati segala yang ada di sekitar kami. Keseluruhan alam Sidogede benar-benar tersaji di hadapan kami. Membentang hijau dengan segala keindahan yang belum pernah kusaksikan.
Tiba-tiba aku teringat seseorang. Orang yang cukup konyol dan lucu yang mungkin tidak akan percaya keberadaanku di puncak Sidogede ini. Kusambut ponsel dalam kantongku dan kuketik sms padanya. “Berada Di Puncak Sidogede… Haha…”
Cewek yang punya nama lengkap Novaliana Ardani dan biasa aku panggil dia Nopha menjawab. “Ngopo riko ngono?!”
Wew…
Bisa kubayangkan bagaimana muka cewek yang biasa aku panggil Nopha itu mengrenyitkan dahinya, memincingkan sebelah matanya, dan mendecakkan bibirnya begitu membaca smsku. Memang sulit dipercaya. Aku sendiri juga tidak pernah bermimpi akan berdiri di titik setinggi ini.
“Mountenering lah Pha.” Balasku dengan diikuti satu tawa mengekeh, “Hehe…”
“Ngono dewekan?!” balas Nopha lagi. mungkin kali ini dia tengah membentuk satu rona heran di mukanya yang masih sebelas dua belas sama Sean Idol. “Ya gak lah Pha. Sama pemandu dong…” kataku dan segera kutekan tuts kirim di ponselku.
Ups!
Ada yang lupa. Dengan secepat kilat kutekan tuts cancel dan kuedit isi smsku. Lupa belum aku kasih tanda tangan. By: Hida. Haha…
Pukul 08:56.AM. Kami memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan kami. Menuju arah yang ditunjuk marking anak panah biru.
Sialan! Lagi-lagi kami harus menemui jalanan pematang yang sempit lagi becek. Kami terpaksa menggunakan cara lama. Bram kembali berperan di belakang sementara aku memegang kendali kontrol depan. Kami berhasil melewati satu jalur dan menemui satu jalan dengan tanda silang terlukis di sebuah batang pohon albasiah. Dan artinya kami tidak oleh lewat jalan tersebut. jadi kami lantas memilih jalan kedua ─ karena memang hanya ada dua jalan.
Jalannya menanjak dan sempit. Tapi kali ini kami telah terbiasa dengan rintangan sekelas tanjakan, hingga bahkan hanya dengan aku sendiri saja sudah cukuo untuk melewatinya tanpa masalah. Aku tersenyum penuh kemenangan dan melambai pada Bram agar dia mempercapat langkahnya. “Iya, set…” kata Bram dan tak lama kemudian, kami pun telah sampai di tanah yang lebih tinggi. Tak ada hal lain yang terlihat selain petakan-petakan sawah dan ladang di bawah kami. Sementara di depan kami, melintang sebuah akar pohon yang cukup besar untuk membuat kami berhenti. Dan berhenti di sini maksudku adalah benar-benar berhenti. Akar pohon besar di depan kami membuat kami tidak bisa melakukan apapun kecuali mengangkat motor kami ke tanah di atasnya.
“Set, set, Hid. Tak cek set.” Kata Bram, lalu melompati akar sialan itu dan menyisiri jalan. Ia mencoba melihat apakah memang mungkn bagi kami untuk terus maju dengan motor kami, atau jalan di depan kami memang sudah tidak memungkinkan untuk kami menapakinya. Dan hasilnya…
“Ora bisa, hid.” Bram menggeleng kepalanya dengan seraut wajah kecewa. Aku memaki kesal karena kami seperti tengah terjebak di tengah dunia, dengan tidak ada jalan untuk keluar dari keberadaan asing kami. Sementara langit yang menampilkan rona kelabunya, mulai meneritikkan buliran-buliran hujan. Langit mulai menangis, sementara kami masih berada di atas perbukitan dengan tanpa jalan untuk melangkah ke depan.
“Lah terus keprie kiee…?” kataku. Terus terang aku sangat tidak suka kalau kami harus mengambil langkah mundur dan kembali. “Yo keprie maning…gelem ra gelem kudu balik, Hid.” Jawab Bram, membuatku harus mengambil pilihan sulit.
Buliran air yang langit jatuhkan semakin membuka kemungkinan untuk hujan. Jadi kami pun kemudian memutuskan untuk mengambil satu-satunya jalan. Kembali…
“Pak, nek ajeng teng ratan medal pundi, nggeh?” Bram bertanya pada seseorang. Aku tak bisa melihat sosoknya karena sepertinya orang yang Bram ajak bicara memang tidak berada di tempat dimana aku bisa melihatnya. Tapi buatku, asal bukan beda alam saja. Karena mengingat aku tak melihat sosoknya, bisa jadi kalau yang Bram ajak bicara itu, setaaaaaaaannnnn…!!!
Hiii…
            Menurut sosok tak kasat mata yang Bram tanya, kami harus mengambil jalan turun yang ada tepat di belakang kami. Aku terkejut karena jalan itu justru adalah jalan dengan tanda silang biru tadi. Yang artinya kami tidak seharusnya mengambil jalan tersebut. Tapi kami tidak punya banyak pilihan. Jadi kami pun akhirnya memutuskan untuk mengikuti satu-satunya pilihan. Turun…
            “Jere kon ati-ati, Hid. Dalane licin…” kata Bram. Tapi terus terang aku lebih khawatir karena jalan yang kami ambil adalah jalan dengan marking silang. Dan sesuai yang dikatakan, jalan temurun yang kami ambil memang licin. Bram harus ekstra susah dalam menahan berat motorku agar tidak terpleset sementara aku terus memegang kendali bagian depan. “Ki terus mengendi Bram?” tanyaku ketika jalan terbagi dua. Satu ke kiri, satu ke kanan.
            “Kanan buen, kanan…” tangan Bram beraksi member instruksi. Aku pun tak harus menunggu lama untuk melakukannya. Memutar motor ke arah kanan dan bersiap dengan melanjutkan perjalanan kami. “Medal mriki mawon, mas!” tiba-tiba kudengar seseorang berteriak, dan sepertinya kami lah yang dimaksudnya.
            Aku melengos ke asal suara dan mendapati seorang nenek yang tengah berdiri agak membungkuk di depan pintu sebuah rumah kayu. Kurasa tidak berlebihan kalau kusebut reyot.
            “Kesasar nggeh?” kata si nenek. Aku hendak menyahut tidak sebenarnya, tapi si nenek sudah kembali berkata bahkan sebelum salah satu diantara kami menyahuti ucapannya. “Medal mriki mawon… mandap, ken ngetut buri dalan setapak. Pun teras langsung dugi mergi aspal.”
            “Oh, nggeh mbah. Matur nuwon…” kata Bram. Aku menyusul berterimakasih tiga detik kemudian. Kami akhirnya mengambil jalur kiri seperti yang si nenek sarankan dan memang ─ kami berakhir di sebuah jalan setapak. Kali ini tidak sesempit yang selama ini, jadi aku pun semakin yakin kami mengambil arah yang benar.
            Pukul 09:09.AM. Jalan di hadapan kami telah membentang lebar. Dan di ujung pandang mata, dengan jelas bisa kulihat jalanan aspal yang lebar dan besar melintang, membuatku tersenyum penuh kelegaan. Entah bagaimana jadinya kalau tadi mengikuti saran Bram untuk ambil cabang jalan kanan.?! Well, kami selamat. Dengan hanya melihat jalan besar, itu saja sudah cukup untuk membuat kami melihat harapan pulang. Sementara hujan yang tadinya hanya sekedar merintik, kini mulai memberondong dengan buliran-buliran air yang semakin menderas. “Ayo Bram.” Kataku dan Bram pun langsung melompat ke jok belakang motorku. Kami siap melaju.
            Pulang…
By: Hida

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon