Hulu Telinga Muara Cinta

Tags



Ada saja cerita yang selalu bisa diindahkan cinta. Oleh cinta, hal-hal biasa pun berubah menakjubkan dan luar biasa. Aku selalu tidak tahu dari mana arah cinta datangnya. Dari mata turun ke jiwa, dari telinga, pun dari tutur kata yang kita anggap biasa bisa pula tumbuh cinta.
Namanya Muza, satu nama yang menjadi kata pembuka cerita cinta yang tak hanya datang dari mata, tapi juga telinga, tapi juga tuturan kata. Dari semenjak kami belum pernah bertatap muka, Muza telah jatuh cinta. Hanya, memang bukan untukku cinta Muza berbunga, bukan untukku cinta Muza merebak wanginya, cinta Muza selalu mengharum untuk Husnia.
Cantik, baik, itulah Husnia, teman satu kamar asrama. Aku? Apalah aku dibanding Husnia. Apalah aku dibanding Safria, yang juga cantik, yang juga dewasa dan tak kalah pintar dari Husnia.
“Salsa,” ujar Muza, memanggil dari balik pintu lab. Meski angkatan kami berbeda, berada di jurusan yang sama membuat aku dan Muza sering berjumpa. Begitu selesai dengan pekerjaanku, baru aku beranjak menemui Muza, yang ternyata masih betah berdiri di depan pintu. Menungguku. Keningku bertanya, berkerut dan mengangkat sepasang alisku. Disambut satu senyum yang terlihat sedikit memaksa. Barisan giginya jelas terlihat, tapi wajahnya nampak sembunyikan penat. Meredam rintihnya yang lelah menungguku. Tapi ia tetap tersenyum di hadapku.
“Boleh titip ini?” kata Muza, menyodorkan tas kertas berwarna coklat di tangannya. Lagi-lagi ia perlihatkan senyumnya. Hanya, sekali ini tulus dari luibuk jiwa, tak berkesan paksa. Canggung, grogi, atau entah apa pastinya.
“Buat Husnia?” kataku menebak. Menerka dari yang banyak dibicarakan teman-teman di asrama. Muza, laki-laki di hadapanku ini suka pada Husnia. Dan mungkin sudah sejak lama. Dan mungkin tak pernah mendapat respek dari Husnia. Entahlah. Tapi Husnia yang aku kenal berjiwa mulia. Mungkin hanya dirasa belum saatnya. Mungkin Husnia ingin tetap fokus pada kuliahnya, seperti yang selalu dilakukannya. Tidak dulu memikirkan cinta dan hal-hal lain yang akan mengganggunya. Aku pun kurang lebih sama.
Namun kejutan datang mengusikku. Semenjak obrolan singkat kami saat itu, Muza seringkali muncul di hadapku. Bertanya ini-itu. Tentang Husnia teman satu kamarku. Dan aku semakin tidak mengerti Muza, ketika ia juga sering bertanya tentang Safria. “Oh, mungkinkah dia ini playboy? Mungkinkah itu sebabnya Husnia enggan memberi tanggapan atas perasaan Muza?” batinku, sesaat berdebat dengan peliknya. Namun mengenal Muza pun tak ada ruginya. Sebagai kakak kelas di jurusan yang sama, mengenalnya membuatku leluasa bertanya tentang berbagai materi kuliah yang terkadang sulit kucerna. Begitu pun sebaliknya, Muza bebas bertanya atau curhat segala sesuatu tentang Husnia. Dan terkadang Safria. Meski Muza bilang sudah menganggap Safria seperti adik baginya, meski oleh Muza aku pun bagai seorang adik untuknya. Dan tanpa aku sadari, aku telah terlalu dalam masuk dalam dunianya.
Kami cukup dekat untuk disebut saudara. Muza, aku dan Safria. Makan satu meja di kantin pun sudah biasa. Belajar bersama selalu jadi agenda rutin kami bertiga. Namun selalu aku yang Muza percaya untuk menyandarkan keluh jiwanya. Bercerita segala sesuatu tentang hidupnya. Tentang Husnia. Ya, memang tak ada cerita selain Husnia dari Muza. Safria bahkan perlahan kehilangan tempatnya selain sebagai adik Muza. Tak pernah lagi menjadi tajuk hati Muza. Dan Husnia tetaplah seorang Husnia. Yang tetap saja tersenyum pada Muza, namun juga tetap menjaga jarak mereka. Yah, berkat aku Muza sekarang bisa berdiri dan duduk di samping Husnia. Dan itu sebuah kemajuan yang luar biasa menurut Muza. Lalu bunga itu mekar dengan sendirinya. Di relung jiwa, jauh dari titik yang bisa terlihat oleh Muza, jauh dari sudut dimana aku sanggup memahaminya. Aku diam-diam tertawa, menertawakan hadir bunga yang tumbuh tidak  terkira. Dan daun cemburu mulai merenggut kebersamaan kami berdua. Mendengarkan cerita Muza tak lagi semenyenangkan sebelumnya. Aku mulai jenuh dengan tajuk yang selalu saja sama. Husnia, Husnia, dan Husnia.
“Cukup Muza!” kataku cukup keras. Muza diam seketika, mengakhiri ceritanya, menatapku penuh tanya. “Setiap hari selalu saja bicara tentang Husnia. Husnia dan Husnia terus yang ada di kepala kamu, Muza. Jujur aku lelah mendengarnya.”
Entah dari mana kalimat itu berasal, darimana kuraih keberanian untuk meluapkannya. Aku mengatakan itu semua dan nyaris beranjak meninggalkannya, ketika kemudian Muza berkata, “Kamu ini kenapa, Sa? Bukankah kamu yang selalu bilang agar aku tidak menyerah!?” Sorot mata itu penuh akan tanya, dan bibirnya kembali bersuara ketika aku coba membuang muka. “Kamu yang selalu menguatkan aku ketika aku tak berdaya dengan semua sikap tak acuh Husnia. Ada apa dengan kamu sebenarnya? Apa kamu sedang ada masalah dengan Husnia?”
Aku tak bisa berkata apa selain diam mengulum air mata. Semua yang Muza katakan benar adanya. Aku yang selalu menyerukan semangat di jiwanya, aku yang selalu menyiramkan minyak di atas bara cinta Muza. Ada apa dengan dengan diriku ini sebenarnya? Kenapa sekali ini hatiku serasa membara mendengar nama Husnia keluar dari mulut Muza? Padahal selama ini selalu kuanggap biasa. Dan tetap saja aku tak mengerti alasannya. “Kalau begitu, apa kamu bersedia melupakannya kalau aku bilang cari saja perempuan lainnya?”
Seperti sebelumnya, kalimat itu keluar begitu saja, mengalir seiring langkahku meninggalkannya. Bahkan aku tak berani melihat seperti apa ekspresi wajahnya, ketika aku mengatakan itu semua. Aku tak ingin ia melihat air mata di balik keberanianku saat mengatakannya. Lagi pula, apalah aku baginya, selain daripada sahabat yang sudah dia anggap adiknya. Apalah aku baginya, selain daripada sahabat tempat ia menyandarkan keluh cintanya pada Husnia.
Kami tak lagi saling bicara, tak lagi sering berjumpa. Sejak saat itu dan untuk waktu yang cukup lama. Dan jarak waktu tanpa hadirnya, justru semakin menguatkan rasa yang kumiliki tentangnya. Hari-hari yang dulu selalu kehabiskan bersama Muza, hari-hari yang dulu selalu kurasakan sangat biasa, semua itu kini hangat menyentuh jiwa. Kehangatan yang anehnya justru membulirkan air mata. Pernah satu kali Safria bertanya, menanyakan kabar Muza yang tak lagi pernah muncul di hadapan kami berdua. Sekalinya berjumpa, pun kami tak saling menyapa. Sama membiarkan ruang jarak diantara kami begitu saja. Merenggang untuk kemudian hampa, hingga patah menjadi dua, seperti saat kami tiada saling mengenal satu dan lainnya. Aku hanya berkata, “Tidak ada apa-apa. Kamu tahu sendiri belakangan aku itu sibuk sekali, Ria. Dan begitu pula dengan Muza.” Jawabku sambil lalu, tak berani menatap Safria terlalu lama.
Menyebalkannya, ialah saat Husnia juga turut bertanya. Sesuatu yang sangat tidak kuduga. “Salsa, boleh aku bertanya?” kata teman satu kamarku itu suatu ketika. Kami hanya berdua. Safria dan juga teman-teman lain telah kembali ke kamar mereka, seusai mengerjakan tugas kelompok bersama. Dan itu adalah kali pertama Husnia menanyakan Muza. Setelah sekian lama Muza menaruh hati padanya. “Tolong jangan salah paham atau semacamnya,” katanya sedikit tundukkan muka, berusaha menyembunyikan rona merah yang mekar dengan lembut di pipinya. “Dia, maksud aku belakangan aku tidak melihat kamu dan Muza. Apa kamu ada masalah dengan dia? Soalnya aku perhatikan kamu kelihatan kurang bersemangat akhir-akhir ini, Sa.”
Tentu aku terkejut mendengarnya. Terkejut melihat bagaimana cara Husnia menanyakan Muza. Nada bicaranya, muka merahnya, semua itu cukup menjelaskan bahwa Husnia ingin tahu tentang Muza. Dan jelas aku menangkap unsur kecemburuan di matanya. Dan aku justru tersenyum padanya. “Tenang Husnia, semua baik-baik saja. Muza bilang dia sedang sibuk dengan kuliahnya, jadi untuk sementara tidak bisa sering-sering ketemu seperti biasanya. Itu saja.”
Bilang begitu juga, mungkin aku tak bisa membohongi Husnia. Bahkan Husnia pasti bisa dengan jelas melihat senyumku yang memaksa. Dan ada satu bagian dari diriku yang juga cemburu padanya. Pada Husnia yang merupakan segalanya bagi Muza. Husnia yang merupakan tajuk tunggal cerita hidup Muza. Dan aku hanyalah orang yang berada diantara mereka. Sekarang bahkan aku merasa konyol mengingat apa yang pernah ku ucapkan pada Muza. Aku yang dengan angkuhnya berkata, menyuruh Muza untuk mencari perempuan lainnya. Melupakan Husnia.
Aku tak ingin terlalu percaya kalau Muza juga menyimpan rindu yang sama dengan yang kurasa, pun tak ingin menaruh harapan bahwa aku dan Muza bisa kembali saling bicara seperti sebelumnya. Namun suatu ketika, setelah sekian lamanya, kami akhirnya saling membuka suara. Bermula dari basa-basi biasa, hingga saling melontarkan kalimat maaf dengan kompaknya. Dengan canggungnya. Meja kantin nomer dua, dan sorot senja yang melintasi jendela, melukis hangat pertemuan kami usai lama saling diam tak bersuara.
“Kemana saja, Sa?” tanya Muza.
“Tidak kemana-mana,” jawabku singkat. Dua alisku terangkat. “Bukannya kamu yang menghilang entah kemana?”
“Yah, kuliah di tingkat lebih tua, mau tidak mau waktu akan lebih banyak tersita.” Katanya, tersenyum dan menghela nafasnya seolah alasan itu fakta. Tapi aku hargai basa-basinya. Karena jujur sulit menemukan kalimat yang tepat untuk bicara, meski cukup lama kami tak saling berjumpa dan ada begitu banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya. Sama sekali tak tahu darimana aku harus memulainya. Dan aku percaya Muza pun sama. Dan  aku berutung dia sudah berbaik hati mengawalinya, meski dengan alasan yang agak terdengar memaksa. Tapi dengan sedikit tawa di akhir ucapannya, jarak itu sekejap sirna. Jarak itu hilang tertelan canda.
“Waw, kita hanya beda satu tingkat dan kamu sudah terlalu sibuk untuk sekedar menyapa. Aku rasa aku harus segera siap menghadapi itu semua.” Celetukku yang Muza sambut dengan tawa kecilnya.
Dan kisah Husnia dan Safria pun berlanjut dalam pertemuan kami berikutnya. Sudah aku duga. Dan meski dalam hati ada kecewa, jujur ada takjub yang menyala atas kegigihannya, meski baik Husnia maupun Safria tak terlalu peduli terhadapnya. Intinya, kami kembali seperti semula. Seperti tak pernah ada jarak yang sempat tercipta diantara kami berdua. Tak pernah ada air mata yang mengalir atas perasaannya pada dua sahabatku tercinta. Dan aku berusaha menjaga apa yang Muza percaya. Di balik rintih hati dan air mata. Boleh percaya, boleh juga tidak percaya. Tapi Muza berkata, aku lah satu-satunya yang tahu segalanya tentang dirinya. Selain Tuhan tentunya. Tak hanya kisah cintanya, bahkan juga perjuangannya dalam menghadapi materi dan tugas kuliahnya. Karena itu aku berusaha tetap menjaga apa yang ia percaya. Dan aku tak ingin kembali tercipta jarak diantara kami berdua. Karena entah kenapa, jauh darinya mulai terasa bagai mimpi buruk yang kulihat nyata.
Pernah ada jeda ruang waktu dimana Muza tak lagi selalu bercerita tentang Husnia dan Safria. Aku tak tahu alasan pastinya, tapi Muza sempat sedikit bercerita kalau di rumahnya sedang ada masalah, dan mungkin itu kenapa dia mendadak jarang bercerita tentang Husnia, tentang Safria. Belum lagi dengan invasi tugas dari dosen yang benar-benar menyita waktu dan tenaga. Tapi setidaknya, aku bisa sedikit bernafas lega, bisa mengistirahatkan telinga sekaligus jiwa. Sejenak mengganti suasana, aku rasa memang itu yang benar-benar perlu dilakukan Muza. Meski bukan berarti ia akan melupakan Husnia.
“Wuih, akhirnya selesai juga.” Kata Muza, menutup lembar tugasnya dan menghela nafasnya. Membiarkan penat mengalir turun dari otaknya. Perpustakaan telah sepi dari para pengunjungnya. Hanya ada kami bertiga, bersama Mas Amin selaku penjaga.
“Gawat,” Safria terlonjak dari kursinya. “Aku masih harus menemui dosen untuk konsultasi tugas besok!”
Safria bergegas merapihkan buku dan semua miliknya yang berserakan di atas meja. Lima detik kemudian gadis itu telah lari membawa serta panik yang jelas terlukis di paras ayunya. Menerobos sang surya yang mulai menguning senja.
Aku dan Muza tertawa, pamit pada Mas Amin yang langsung menutup pintu begitu kami keluar dari ruang kerjanya. Berteman semilir angin sore, kami berjalan santai menuju gerbang kampus sembari ngobrol dan bercanda. “Hei, kamu sudah tahu, Muza? Mas Amin yang tadi itu lulusan kampus kita juga ternyata.”
“Tahu, kok. Memangnya kenapa?” jawab Muza, balas bertanya.
“Umurnya itu sudah tiga puluh tahun lebih loh, tapi dia belum nikah juga. Kasihan ya?”
“Itulah kalau terlalu sibuk mencari ilmu dan justru kurang peka pada lingkungan sekitarnya. Pernah ada mahasiswi yang suka sekali sama dia, tapi Mas Amin justru cuek dan milih untuk terus fokus ke kuliahnya. Dan seperti itulah akhirnya.
Meski bicaranya sedikit menyinggung masalahnya dengan Husnia, tapi Muza terlihat biasa dan tak melebarkan pembicaraan ke Husnia. Bahkan aku terkejut dengan apa yang kemudian keluar dari mulurnya. “Tenang saja, besok tidak akan sampai umur segitu kok, Sa. Umm, lima tahun lagi, gimana?”
Usai berkata demikian, Muza menepuk punggungku dan mempercepat langkahnya. Menggeliatkan tubuhnya, terenyum menyuruhku bergegas menyusulnya. “Oke, aku tunggu pokoknya.” Kataku, balas tersenyum dan berlari menyusulnya. Meski aku sama sekali tidak mengerti apa maksud ucapannya. Hanya mengikuti arus langkahnya yang entah kemana. Dan apapun nanti jadinya, aku siap menerima dengan lapang dada.
Dua hari berlalu dan mendadak Muza mengabarkan kalau dirinya harus pulang untuk urusan keluarga. Hampir satu minggu aku tak mendengar kabar darinya, dan tahu-tahu sebuah pesan masuk dari Muza. “Kangen sekali sama kamu, Sa.” Katanya. Aku tertawa seketika itu juga. Bahagia. Namun hanya dalam sekejap saja, karena di detik berikutnya aku mencoba memikirkan kembali arti dari ucapan Muza. Aku urung membalas pesannya. Kubiarkan ponsel tergeletak di atas tempat tidurku begitu saja. Tak tahu harus apa karena aku juga tak mengerti maksud pesan Muza. Aku tak ingin terlalu berharap ia benar-benar memiliki rasa rindu selain pada Husnia atau Safria. Ya, itulah yang terjadi selama aku mengenalnya. Kangen Husnia, kangen Safria. Dan tak sekalipun Muza bilang ‘kangen sama kamu Salsa’.
Aku menghela nafasku dan memutuskan untuk berhenti memikirkannya. Semuanya. Mengambil buku novel yang belum selesai kubaca dan hanyut dalam tiap larik cerita yang disuguhkannya. “Oh, bagus. Aku bahkan sama sekali tidak bisa fokus membaca.” Keluhku sembari melempar buku ke atas meja. Ke tempat dimana aku selalu menaruhnya. Lalu tiba-tiba aku ingat sesuatu yang membuatku terlonjak seketika.
“Berapa kali harus aku bilang ke kamu, Muza. Kalau kangen langsung saja chat ke orangnya. Dan sebagai informasi, aku sedang tidak bersama Husnia atau Safria.”
Akhirnya, kuputuskan untuk membalas pesan Muza. “Oh, aku ingat sekali semua nasehat kamu, Salsa. Dan memang itu yang sedang aku lakukan. Tapi mungkin aku kangen di waktu yang tidak seharusnya.” Kata Muza. Membuatku membeku tiga detik lamanya.
Malam itu untuk pertama kalinya, Muza mengatakan bahwa dia rindu pada diriku dan bukan pada Husnia atau Safria. Bukan yang lainnya. Tentu aku bahagia. Namun aku juga takut mengharapkannya. Bagaimana kalau ternyata Muza cuma bercanda? Seperti yang selama ini sering dilakukannya. Pun kalau pun memang benar adanya, lantas apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Baik Husnia mau pun Safria, keduanya sama-sama sahabat yang bahkan bagiku sudah seperti saudara.
Lalu sekali lagi Muza menanam harapan yang selama ini rentan untuk kecewa. Mudah untuk meniup padam harapan yang sesungguhnya, selalu ingin erat kujaga. Aku tak bisa bercerita pada Husnia dan Safria tentang ini semua. Jadi aku memutuskan untuk meminta pendapat pada Nurwita, sepupuku yang juga tahu tentang kedekatan antara aku dan Muza. Aku pernah beberapa kali bercerita padanya tentang masalah aku dan Muza. Wita bilang dia akan bicara pada Muza. Entah apa yang ingin dibicarakannya. Wita enggan bercerita. Hanya memintaku untuk mempertemukannya dengan Muza. Dan aku masih tak pernah tahu apa yang hendak Wita bicarakan dengan Muza. Dan aku hanya berani melihat mereka, dari jarak yang tak bisa dilihat keduanya, tanpa tahu apa yang dibicarakan mereka. Hanya menerka-nerka tanpa bisa menebak kepastiannya.
“Gimana, Wita?” tanyaku, tak sabar ingin aku mendengarnya. Apa saja yang dibicarakan keduanya.
Wita tak langsung menjawabnya. Gadis itu angkat dua bahunya lalu pelan berkata, “Sebaiknya kamu tidak terlalu menaruh harapan pada dia, Sa.”
Tubuhku lemas terkulai seketika, aku kehilangan tenaga bahkan untuk sekedar mengangkat muka. Bahuku serasa luruh ketika Wita menepuknya hingga aku langsung menepisnya. Kakiku bergerak dengan sendirinya, kutiinggalkan Wita dan melangkah kembali ke asrama. Aku tak lagi peduli apa katanya, tak lagi peduli pada segalanya, segala tentang Muza. Pun ketika Wita berteriak memanggilku aku enggan menyahutnya. Aku tahu memang semua ini salahku dari semula. Tapi entah mengapa aku tetap menginginkannya, biar pun harus dicaci seluruh dunia. Dan ketika langkahku tiba di depan Husnia dan Safria, sekejap aku lupa setiap egoku yang menginginkannya. Hilang nyaris tak bersisa. Hanya ada bulir  air mata yang membuat kedua mataku berkaca.
“Salsa, kamu kenapa menangis, Sa?” tanya Husnia, sementara Safria kulihat bingung dan menduga-duga.
Aku coba tersenyum pada mereka, memeluk hangat keduanya. “Aku tidak kenapa-napa kok, Safria, Husnia. Cuma lelah sekali rasanya. Dan kalau sudah begini mataku pasti berkaca.”
Aku tahu aku tak mungkin bisa membohongi mereka. Setidaknya, dengan kemampuanku yang buruk untuk berdusta. Hanya saja, aku berharap mereka mengerti kalau aku tidak bisa bercerita. Aku tak bisa mengatakannya. Tidak pada mereka.
Sama sekali tak ada kabar dari Wita. Ingin bertanya, namun aku tak tahu harus bertanya apa. Begitu banyak pertanyaan mengapung di kepala, sampai aku tak bisa memilih salah satunya. Mana yang sebaiknya lebih dulu kutanya. Dan hari-hari kembali berlalu tanpa Muza. Kali ini bukan Muza yang menghilang dari dunia, bukan pula karena kami saling bermusuhan seperti sebelumnya. Kali ini aku yang lari sembunyi darinya. Berulang kali Muza ingin bertemu namun aku enggan menanggapinya. Bukan berarti aku tak membalas pesannya. Bukan berarti aku tak menjawab telpon darinya. Hanya tak mengacuhkannya, tak peduli berapa kali Muza meminta. Hingga pada akhirnya, ketika mungkin Muza kehabisan amunisi kesabarannya dan aku pun lelah menghindarinya, aku putuskan untuk pergi menemuinya.
“Akhirnya datang juga kamu, Sa?” kata Muza, berdiri bersama selarik senyumnya yang memesona. Dan kucoba sebisa mungkin untuk tak memandangnya.
“Ya, aku merasa kamu pasti tidak akan berhenti sampai aku bilang ‘iya’. Karena itu aku datang.” Kataku, masih enggan memandangnya.
 Senja telah cukup lama berlalu dari cakrawala, menyisakan gulita yang indah berhias lampu-lampu di pinggir trotoar yang mengelilingi alun-alun kota. Yang kami lakukan sangat biasa dan sederhana, seperti yang juga dilakukan orang-orang yang datang ke alun-alun kota. Jalan-jalan dan makan jajanan yang banyak tersaji di warung-warung pinggirannya.
Kami banyak bicara dan bercanda seperti yang selalu kami lakukan biasanya, meskipun sedikit canggung pada awalnya. Namun sekali ini sama sekali tak ada topik Husnia. Tak ada Safria. Aku cukup terkejut dengan sikapnya. Karena merupakan sesuatu yang cukup aneh kurasa, mengingat selama aku mengenalnya, tak satu kali pun mereka tak muncul diantara kami berdua. Dan itu membuat kebersamaan kami kali ini benar-benar berbeda. Lain dari kebersamaan manapun yang telah kami jalani sebelumnya. Dan jujur aku sungguh menikmatinya. Aku bersyukur telah memutuskan untuk pergi bersamanya.
“Sudah malam, Sa. Sudah waktunya kamu pulang ke asrama. Aku antar ya,” kata Muza, meraih tanganku yang sesungguhnya masih enggan beranjak, masih enggan mengakhiri kebersamaan kami berdua. Dan di sisi lainnya, ada kecewa yang perlahan merayap masuk ke relung jiwa. Ada harapan yang perlahan turut beranjak sirna. Entah kenapa sempat aku berharap Muza akan membicarakan sesuatu yang penting dengan kami jalan berdua. Sesuatu tentang aku dan dia. Namun setelah lama aku menantinya, mungkin memang cuma aku yang terlalu banyak berharap padanya, tentangnya.
“Aku sudah menemukannya, Sa. Akhirnya,” ucap Muza tiba-tiba. Langkah kami terhenti dan kami saling bertatap muka. Aku tidak mengerti maksud ucapannya. Kucoba mencerna, memutar pikiran dan menelaah ucapan Muza. Namun sebelum semua itu jelas bibirku telah lebih dulu berkata, “Menemukan apa?” tanyaku terbata. Entah kenapa aku seperti takut mendengar apa yang mungkin akan dikatakan Muza.
Muza sempat kulihat melirik arlojinya, seolah ada yang tengah dinanti olehnya. Dan aku ingat sudah berapa kali Muza melakukannya dari semenjak kali pertama kulihat sosoknya di bawah lampu alun-alun kota. Pun selama kebersamaan kami berdua, Muza masih terkadang gelisah melirik arlojinya.
“Kamu pernah bilang kan, kalau aku mungkin harus mencari perempuan lain selain Husnia, selain Safria.” Kata Muza. Aku semakin gugup dan takut dengan apa yang mungkin kudengar selanjutnya. Langkahku beranjak surut darinya. “Ya, sepertinya aku memang pernah mengatakannya,” kataku asal, masih terbata. Kucoba untuk tak balik menatap Muza, namun pandanganku masih saja menyentuhnya. Muza melirik kembali arlojinya, kali ini ia menghela nafasnya. Kulihat Muza pun tak kalah gelisahnya, maka kuberanikan diriku untuk bertanya, “Tadi kamu bilang sudah menemukannya?”
Aku sangat ingin bertanya siapa orangnya, seperti apa, namun pertanyaan itu hanya sampai di ujung lidah tanpa pernah tertuang dalam suara.
“Sudah, Sa. Dan saat ini aku ada tepat di hadapan orangnya.”
“Maksud kamu apa, Muza?” aku lirih bertanya, namun nyaris memekik mendengarnya. Kepalaku tertunduk darinya, berusaha agar mukaku yang memerah tak sampai terlihat oleh Muza.
Tiba-tiba tangannya bergerak meraihku dan kami berjalan kembali ke tengah alun-alun kota. Muza melepas tangannya dan berjalan sembari menatap langit gulita, menghirup dalam-dalam nafasnya, baru kemudian kembali berkata, “Akhirnya aku mengatakannya juga,” katanya lalu tertawa. Alisku terangkat saking herannya. “Tadi aku itu benar-benar grogi sekali, Sa. Ini pertama kalinya aku nembak cewek langsung di depan orangnya.”
Belum juga aku menanggapi dan masih bingung dengan apa yang harus aku lakukan selanjutnya, apa yang harus kukatakan padanya, Muza telah kembali berkata, “Kamu mau jadi pacar aku, Sa?”
Wajahnya kulihat berbeda. Sebahagia itukah Muza hanya karena telah mengungkapkan perasaannya? Karena aku jujur ingin sekali menangis, berteriak, ingin sekali seluruh dunia tahu bahwa aku pun sangat bahagia. Namun kutahan itu semua. Aku bersabar untuk tak berteriak, bertahan agar tak sampai mata ini berkaca. “Kamu serius dengan semua yang kamu katakan, Muza?” kataku, jemariku terkepal menahan setiap ledakan emosi yang sesungguhnya ingin sekali terberai dari lubuk jiwa. “Apa kamu serius dengan itu semua? Karena aku tidak suka kalau ternyata kamu itu cuma main-main, Muza.”
Tanganku masih gemetar, ketika tangan Muza meraih dan lembut meremasnya. “Siapa yang selalu bilang agar aku tidak menyerah, Sa? Siapa yang selalu menguatkan aku ketika aku tak berdaya? Dan siapa yang selalu ada untuk aku, Sa?”
Aku hanya diam mendengarkan ucapan Muza yang membuat gemetar tanganku berhenti seketika. Bahkan dengan mata yang akhirnya kubiarkan berkaca, aku berani menatap balik Muza. “Lalu apa yang sekarang kamu inginkan Muza? Apa kamu tidak mempertimbangkan perasaan Husnia dan Safria? Perasaan kami bertiga. Kami ini sahabatan Muza? Seharusnya...”
“Lho, memangnya Wita tidak ngomong apa-apa, Sa? Sebelumnya aku sudah pernah mengatakan ini semua dan memina maaf pada Husnia dan Safria. Tapi aku meminta mereka agar tidak dulu memberitahumu, Sa.”
Nafasku terhenti untuk sesaat. Selagi aku mengingat kembali Nurwita, Muza menceritakan sesuatu yang membuatku geram padanya. Pada sepupuku Nurwita. Cerita tentang pertemuan mereka.
Saat itu Wita bertanya, berusaha mendesak Muza. “Kapan main ke rumah?”
“Besok lah kalau sudah meminang Salsa,” jawab Muza, yang tentu saja membuat Wita makin memanas jadinya.
“Itu serius atau cuma bercanda, Muza? Kalau memang serius kenapa tidak diungkapkan langsung pada orangnya?”
Muza mendesah lalu menjawab, “Itu dia masalahnya. Rencana selalu ada, tapi aku tidak pernah menemukan momen yang tepat untuk mengatakannya.”
Dan begitulah kenapa Muza bersikeras mengajak jalan-jalan berdua. Begitulah kenapa kemudian Wita bilang padaku agar tidak terlalu berharap pada Muza yang bahkan tak pernah bisa menemukan momen untuk mengungkapkan perasaannya.
“Gimana, Sa?” tanya Muza. Aku nyaris tertawa melihat panik yang mulai menguasai wajahnya. Namun aku hanya bisa mengangguk pada akhirnya. Tersenyum pada Muza yang kemudian lantang berteriak bahagia.
“Syukurlah tepat pada waktunya.” Katanya sambil melompat ria.
“Tepat waktu gimana?” tanyaku, Muza berhenti seketika dan menjelaskan arti dari sikapnya.
“Kita baru saja jadian di jam 10:28, Sa. Dan perlu kamu tahu, bahwa sebenarnya aku sudah berencana mengatakan ini semua dari semenjak tanggal 28 Oktober lalu agar bertepatan dengan hari sumpah pemuda. Tapi waktu itu aku harus ada urusan pulang ke rumah dan kacau sudah semuanya. Aku sempat bingung bagaimana supaya aku bisa dapat lagi momen yang pas untuk mengatakan ini semua.”
Aku sampai menangis haru mendengar semua penjelasan Muza. Entah apa yang harus aku katakan selain memakinya. “Kamu tidak butuh momen istimewa apapun untuk menyatakan perasaan kamu Muza,” kataku, menyeka buliran air mata yang membuat pandanganku berkaca. “Karena kapan pun kamu mengatakan ini semua, bagiku itulah saat-saat yang sangat istimewa.”
Dan begitulah cinta. Tak tentu darimana datangnya, atau bagaimana tumbuhnya. Dari mata turun ke jiwa, dari telinga, pun dari tutur kata yang kita anggap biasa bisa pula tumbuh cinta. Mulanya aku sulit percaya. Dari yang tadinya selalu cerita tentang orang yang dicintainya, bisa berakhir dengan aku jadian dengan dia. Padahal aku tak sebanding dengan Husnia maupun Safria. Namun pada akhirnya, bukan itu yang menentukan perjalanan sebuah cinta. Aku mungkin tak seistimewa sahabat-sahabatku lainnya, namun akulah hati tempat cinta Muza akhirnya bertahta.


By: Hida
12 November 2015

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon