Hendra seorang cowok yang
─ katakanlah cerdas. Dia menonjol dalam banyak hal meski tidak soal cewek. Tapi
di luar pribadinya yang lugu dan tidak pandai soal cewek itu, Hendra sebenarnya memang tidak
terlalu peduli dengan urusan semacam itu. Dia cerdas dalam banyak mata
pelajaran, namun seperti kebanyakan orang cerdas lainnya, ia justru bego soal
cewek. Karena itu ia pun lantas cuek kalau sudah menyangkut soal cewek. Sampai
datang seorang cewek yang kemudian mengisi hati Hendra. Meisa namanya.
Meisa dan Hendra sudah saling
mengenal semenjak mereka masih duduk di bangku SMP. Namun keduanya tak pernah
benar-benar dekat sampai mereka menginjak masa SMA mereka. Dan seiring
berlalunya waktu, entah bagaimana Hendra
yang tak pernah tertarik dengan cewek akhirnya mulai merasakan sesuatu terhadap
Meisa. Maka Hendra pun memutuskan
untuk mengungkapkan rasa itu. “Kamu mau, jadi pacar aku?” kata Hendra dengan wajah
memerah. Namun jawaban Meisa
sedikit memukul mundur Hendra.
Meisa bilang, “Jujur aku
takut, Hen.”
“Takut?”
sahut Hendra dengan kening
mengkerut. “Takut kenapa?! Apa karena kita terlalu beda?! Kamu cantik, sementara
aku ini orangnya ─ ngebosenin lah, udah gitu kulit aku item, gak sebanding sama
kamu yang putih, mulus…”
Sambil menahan gema perasaannya yang mengguncang, Hendra diam tak meneruskan ucapannya. Ia menunggu reaksi Meisa dengan terus menggenggam setitik harapan di hatinya. Harapan bahwa Meisa juga merasakan sesuatu yang sama dengan yang dirasakannya.
Sambil menahan gema perasaannya yang mengguncang, Hendra diam tak meneruskan ucapannya. Ia menunggu reaksi Meisa dengan terus menggenggam setitik harapan di hatinya. Harapan bahwa Meisa juga merasakan sesuatu yang sama dengan yang dirasakannya.
Cinta…
“Aku juga sayang sama kamu Hen. Tapi aku takut… kalo
kita jadian, trus suatu saat nanti kita putus, ntar kita bakalan jauh.” Ucap Meisa. Matanya memandang
sayu Hendra yang berusaha
membenahi perasaannya. Keduanya pun sama terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Sama-sama membisukan perasaan mereka satu sama lainnya.
Hendra berusaha menerima
jawaban Meisa, dan hubungan mereka
pun terus berlanjut meski tanpa kepastian dari Meisa. Dan segala tanda tanya di hati Hendra akan perasaan Meisa pun sirna seiring
kebersamaan mereka berdua. Perlahan Hendra
pun mencoba menerima jawaban Meisa.
“Setidaknya, aku tau kalo Meisa
juga sayang sama aku.” Batin Hendra,
mencoba hiasi kesedihannya dengan seulas senyum di bibirnya. Cahaya redup di hati Hendra pun kemudian
kembali menyala. Hendra
dan Meisa terus mengisi
hari-hari mereka bersama. Bahkan meski akhirnya mereka terpaksa jauh saat
mereka naik ke kelas XII dan harus berada di bawah atap kelas yang berbeda. “Hen. Kita gak satu kelas.
Gimana nihh?!” kata Meisa
sambil menampilkan seraut rasa cemas di wajahnya.
“Ya gak pa-pa. Kenapa, sih?” sahut Hendra yang memutuskan untuk
menutupi rasa sedihnya. Karena jauh di dalam lubuk hatinya, bayangan hari-hari
sepi tanpa Meisa
terus saja menghantuinya.
“Besok kalo ada yang aku gak bisa, kamu masih mau
tetep ajarin aku kan?!” kata Meisa,
senyumnya mengembang menghias kesedihan Hendra,
hingga Hendra pun tersenyum dan
berkata, “Ya, santé aja lah…”
Dan hari itu pun, Hendra bisa menatap punggung Meisa yang pergi dengan
senyum berbinar di wajahnya. “Kami, masih bisa terus bersama.” Pikirnya.
Dan ternyata memang seperti yang Hendra harapkan, bahkan
mesti berbeda kelas, namun keduanya masih bisa selalu bersama dan menghabiskan
waktu mereka, hingga saat hari kelulusan mereka akhirnya tiba.
Hendra yang dihadapkan
pada situasi dimana dirinya dan Meisa
bisa jadi akan benar-benar jauh, sekali lagi mempertanyakan tentang hubungan
mereka. Dan hari itu, benar-benar jadi hari yang sangat menggembirakan bagi Hendra. Hari yang paling
berarti selama hidupnya, hingga Hendra merasa seakan lengkap
sudah hidupnya. Bahkan tak ada air mata yang mampu melukiskan kebahagiaannya
saat itu. Hari itu, dirasakannya… indah.
Hari dimana Meisa
dan dirinya menjadi sepasang kekasih yang sesungguhnya.
Kisah mereka pun berlanjut ke jenjang kuliah.
Keduanya yang lulus dalam ujian masuk berhasil diterima di universitas negeri,
namun Meisa tidak diterima di
tempat yang sama dengan Hendra.
Mereka pun harus menjalani kehidupan cinta mereka dengan jarak yang cukup jauh untuk
bertemu.
Hendra sama sekali tidak
khawatir dengan seberapapun jauhnya jarak memisahkan mereka. Hendra percaya akan ketulusan
cinta Meisa terhadapnya. Meisa mencintainya, sama
besar dan sama tulusnya dengan cintanya terhadap Meisa. Meisa
ialah cinta sejatinya, Hendra
hidup dengan mempercayai hal itu. Sampai suatu hari, sebuah bom meledak di hati
Hendra dan memusnahkan
segala mimpi indahnya bersama Meisa.
Sebuah status FB yang Meisa tulis menjadi awal mimpi buruk Hendra. Hendra sama sekali tidak
menyangka, kalau hari dimana ia harus sekali lagi mempertanyakan arti hubungan
mereka akan tiba. Sekali lagi, ia harus memastikan arti hadirnya selama ini di
mata Meisa kekasihnya.
Hari itu, saat Hendra
tengah disibukkan dengan segunung tugas yang harus ia selesaikan, iseng-iseng Hendra pun membuka akun
FB miliknya di tengah rasa letih dan jenuhnya akan tugas kuliahnya. Dan
kenyataan pahit itu pun harus Hendra
hadapi.
10 November 2012
Meisa Sarasvati: Serasa gak pengin mengakhiri masa lajang. Begitulah bunyi status FB
Meisa yang ditulisnya pada
tanggal 10 November 2012 lalu.
Jantung Hendra
berdegup kencang tatkala ia membaca status Meisa
tersebut. Hatinya seketika resah bercampur gundah. Sepercik tanya pun berbisik
di hati Hendra. “Gila! Emang
selama ini dia pikir aku ini apa?!”
Dengan rasa tak menentu di hatinya, Hendra kemudian
menuliskan sebuah komentar dalam bahasa jawa, “Ya nganah ndang-ndang mbojo!”
Meisa pun menjawab, “Koment
apa kamu Ndra?!” kata Meisa
yang langsung Hendra
balas, “Iyo kie. Hehe… ora oleh?”
Tak ada jawaban dari Meisa, sampai akhirnya Meisa menjawabnya setelah
lebih dari 24 jam sejak Hendra
bertanya. Dan jawaban itu pun hanya berupa sebuah tawa. “Hahaha…”
“Gak boleh to? Ya udahh…” kata Hendra sambil menahan
beban yang seakan mau meledakkan seisi dadanya.
“Aku lupa kamu koment apaan?!” kata Meisa yang disusul tawa,
“Haha…”
“Oh, gitu…” sahut Hendra lemas. Seolah tak lagi ada daya
yang tersisa darinya untuk menahan sesak yang memenuhi dadanya.
Merasa penasaran akan sikap Meisa, Hendra pun lalu membuka
akun FB Meisa dan sebuah pesan
inbox dari teman Meisa
pun membuat perasaannya hancur tak bersisa. “Mei, itu cowok kamu bikin status lagi tuh!”
kata salah seorang teman Meisa
yang langsung membuat batin Meisa
bertanya-tanya. “Aku kan gak bikin status apa-apa!?”
Sebuah tanya yang lalu melahirkan satu rasa sakit di
hati Hendra. Rasa sakit
seperti ribuan jarum menusuk menembus jantungnya yang berdegup dengan labil. Hari
Minggu itu benar-benar jadi akhir pekan kelabu bagi Hendra. Jogja 11 November
2012, pintu kamar rumah kos di jalan Pringgading no. 12A malam itu, manjadi
saksi mati sebuah luka hati.
Meisa datang dengan alasan
ingin curhat tentang sesuatu pada Hendra.
Meisa datang sambil mengemban segenap
rasa takut memenuhi hatinya. Ia takut akan kemarahan Hendra yang mungkin akan
jatuh terhadap dirinya. Di tengah udara yang senyap menyelimuti ruang kamar kos
Hendra, bibir Hendra bergetar saat
sebuah tanya dilontarkannya pada Meisa.
“Bener, kamu udah punya cowok lagi?”
Setengah takut, Meisa
anggukkan kepalanya seraya berkata, “Maafin aku Hen.”
“Pulang sana!” ucap Hendra pelan. Hatinya terlalu hancur untuk
menangis. Hatinya terlalu kecewa untuk mendengar. Hatinya terlalu sakit untuk
peduli. Tak ada satu pun kata yang terdengar olehnya. Semua yang Meisa katakan hanya
terdengar seperti tiupan angin malam yang tak Hendra indahkan. Lalu saat Meisa tak juga berlalu dari
hadapannya, Hendra
menuntunnya perlahan keluar pintu kamarnya. Dan seolah memang ada sebuah bom
yang meledak di dadanya, Hendra
berteriak penuh emosi sambil membanting pintu kamarnya. “ASULAH KOE!”
BRAAKK!!!
Sambil terisak, berulang kali Meisa berseru memanggil Hendra, namun suara Meisa seolah tidak sampai
ke telinga Hendra
yang tetap diam di balik pintu kamarnya. Meisa
mencoba kembali masuk, namun bagaimana pun ia bicara tetap tak mendapat perhatian
dari Hendra, hingga Meisa pun akhirnya
memutuskan untuk pergi setelah dirinya lelah mencoba.
Hendra bersandar pada
pintu kamarnya, lalu lunglai terduduk memeluk lututnya. Jari jemarinya mulai
menghitung saat-saat kebersamaan mereka berdua selama ini. Dengan suara masih
bergetar dan mata mulai berkaca, Mahendra
menggumam, “Satu…, dua…, tiga…”
Bibir Hendra
melebar melukiskan seulas senyum getir yang juga basah oleh cairan hangat yang
merayap perlahan di wajahnya. Kepalanya tertunduk menahan sakit yang semakin
mengoyak kesadarannya. Tiga tahun mereka bersama, dan semua itu sekarang hangus
terbakar oleh entah apa, hingga tak ada yang tersisa selain perihnya luka.
Semua Hendra
lakukan untuk Meisa,
semua Hendra lakukan demi Meisa. Terbayang olehnya
bagaimana selama ini mereka mengerjakan tugas-tugas sekolah mereka bersama,
belajar bersama demi menghadapi UAN saat SMA. Juga saat ujian masuk universitas.
Bahkan setelah mereka kuliah di universitas yang berbeda pun, mereka masih
sering mengerjakan tugas mereka bersama.
Hendra keluarkan tawa
lirihnya, saat ingatannya berlabuh ke waktu saat mereka jalan-jalan naik motor Meisa, lalu mereka jatuh dengan
kaki Hendra cidera karena
berusaha melindungi Meisa.
Saat itu, Hendra
bahkan masih sempat tertawa. Dan demi mengantar Meisa pulang ke kosnya, Hendra rela berjalan
cukup jauh demi Meisa.
Lalu saat ia mengayuh sepeda menempuh jarak kos mereka yang sangat jauh cuma
demi agar bisa bertemu, serta semua pengorbanan dan kenangan indah Hendra, kini semua itu
berubah menjadi sayatan luka yang sangat dalam di hatinya.
Hendra hendak berdiri dan
beranjak dari duduknya, tatkala sebuah rasa memaksanya kembali tersungkur dalam
lukanya. Entah kenapa, semua kenangan mereka, selalu hanyalah tentang tugas,
belajar dan tugas… seolah, selama ini hanya Hendra
lah yang berpikir bahwa Meisa
juga mencintainya. Terngiang ucapan Meisa
saat mereka naik kelas dulu, saat dengan wajah cemas Meisa berkata, “Hen.
Kita gak satu kelas. Gimana nihh?!”
“Ya gak pa-pa. Kenapa,
sih?”
“Besok kalo ada yang
aku gak bisa, kamu masih mau tetep ajarin aku kan?!”
“Ya, santé aja lah…”
Hendra tak sanggup lagi
membendung tangisnya. Ingin sekali rasanya ia berteriak sekeras mungkin,
menjerit sesakit mungkin, berharap semua lara di dadanya kan sekejap sirna.
Namun Hendra hanya mampu
menggeram dan membiarkan semua beban hatinya mengalir bersama deraian air
matanya.
By:
Hida
EmoticonEmoticon