Nalia masih menutup rapat pintu
kamarnya. Masih dengan kedua mata yang basah dan memerah, serta gelapnya ruang
kamar yang sembunyikan rona kesedihannya. Di langit-langit kamarnya masih
melayang sosok Janan. Berputar dan berganti seiring dengan kenangan yang
menari-nari indah dalam ruang hatinya. Kenangan indah yang berakhir dengan
tangis kesedihannya.
Nalia
memegang erat tangan Janan. Begitu pun Janan. Keduanya berdiri mengenggam erat
cinta yang telah sejak lama mereka bina. Lima tahun bersama, dan kini keduanya
dihadapkan pada kenyataan pelik yang menghadang cinta mereka. “Pokonya, aku
Cuma mau nikah sama Janan! Bapak gak
bisa dong, seenaknya nentuin calon suami Nalia!” Nalia mengerang dalam isaknya.
Janan semakin erat memegang tangan Nalia. Matanya tak kalah memerah dan berkaca
dari Nalia. Ada beban berat yang tiba-tiba saja membuat dadanya begitu sesak.
Bahkan ia sulit bernafas.
Pak
Mustofa tatap wajah putrinya, lalu berganti pada sosok Janan yang tundukkan
wajahnya. “Tolong tutup kembali pintunya,” kata ayah Nalia, memberi isyarat
agar Janan segera pergi, namun tetap dengan nada bicara sopan dan halus.
Berharap dua orang di hadapannya itu mengerti. Nalia telah sejak lama ia
jodohkan dengan Raka, anak Faisal sahabatnya. Dan pembicaraan itu sudah lama
terjadi dari semenjak Raka dan Nalia masih kecil. “Dan kalau kamu memang peduli
dengan Nalia, saya minta, jangan dekati Nalia lagi!” tanpa Nalia dan Janan
sadari, mata Pak Mustofa berkaca. Sebenarnya hatinya sungguh tak tega. Namun
keadaan tak memberinya pilihan. Janji tetaplah janji. Jauh sebelum Nalia dan
Janan berikrar saling setia untuk saling mencintai, Pak Mustofa bersama
sahabatnya, telah jauh lebih dulu berjanji, bahwa kelak Nalia akan menikah
dengan Raka.
Hati
Nalia hancur seketika. Dadanya bergemuruh dan matanya tak hentinya berkaca,
ketika dirasakannya genggaman tangan Janan perlahan melemah dan akhirnya lepas.
Laki-laki yang dicintainya itu pergi dan lenyap di balik pintu rumahnya. Sementara
Nalia, entah kenapa ia tak kuasa mengejarnya. Hanya bisa memandang kepergian
kekasihnya dengan airmata.
Satu
bulan berlalu sejak malam itu. Tanpa pernah sekali pun Janan muncul di hadapan
Nalia. Tanpa sekali pun Janan menghubungi Nalia. Bahkan meski berulangkali
Nalia coba menghubunginya, Janan seolah tak lagi ada. “Waduh, si Anan belom
pulang tuh. Udah dari berapa hari. Katanya sih, pergi ke Jogja ke rumah temen.”
Kata ibu Janan ketika Nalia coba ke rumahnya.
Nalia
tahu ibu Janan berbohong. Namun ia merasa tak sanggup berkata apa-apa dan
langsung pergi begitu saja. Jika Janan memang tak ingin menemuinya, maka ia pun
tak bisa berbuat apa-apa. Nalia pergi meninggalkan rumah Janan dengan wajah
muram. Begitu pula dengan Janan. Matanya berkaca menatap kepergian Nalia.
Mengikuti tiap langkahnya yang perlahan menjauh lalu hilang dari pandangnya.
“Kenapa tidak coba kalian bicarakan baik-baik si Nan?” ucap ibunda Anan.
Diremasnya bahu anak laki-lakinya itu dengan perlahan.
“Entahlah,
bu. Anan juga gak ngerti.” Jawab Anan. Suaranya yang sendu membuat sang ibunda
tak tega dan langsung membenamkan kepala Anan dalam peluknya. “Yang tabah ya,
nak.” Ibunda ikut terisak.
Nalia
berjalan dengan langkah perlahan. Wajahnya yang memproyeksikan rona lusuh,
tertunduk tak memperhatikan jalan yang sebenarnya cukup ramai orang berlalu
lalang. “Kring kring kring!” sekelompok pengendara sepeda melaju dengan cepat,
tepat di sampingnya dan hampir saja menabraknya.
“Hoy,
jalan yang bener!” teriak salah seorang pengendara memaki. Nalia terus
melanjutkan langkahnya yang tak terarah, dan bahkan tak mengindahkan perkataan
pengendara tadi. Namun sebuah kenangan menyembul dan membuat matanya kembali
mengkristal. Kenangan saat dulu ia dan Janan sering bersepeda di taman.
Kenangan penuh tawa yang membuat Nalia menjulurkan tangannya dan memercepat
langkahnya. Ia mulai berlari-lari kecil. Lari mengejar dan berusaha menangkap
bayangan yang nyata dalam angannya. Sebuah kenangan yang berakhir menjadi
sebuah mimpi. Ia terus berlari. Berusaha mengejar kenangan indahnya seperti
orang gila. Nalia terus berlari dalam isaknya, dalam peluk kesedihannya, hingga
akhirnya sosoknya lemas tak berdaya.
“Masih
pusing?” tanya seseorang. Nalia membuka kelopak matanya perlahan dan mendapati
seorang laki-laki tampan di hadapannya. Ia segera terhenyak. Bangun dan
mendapati dirinya ada di sebuah pembaringan. Sebuah ruangan yang mirip dengan
ruang tempat ia menunggu ibunya yang sakit di rumah sakit, lima tahun yang
lalu. “Saya…,” Nalia kebingungan. Ia sama sekali tidak ingat apa yang telah
terjadi pada dirinya. “Apa yang terjadi sama saya? Kenapa saya ada di sini?
Trus, anda ini siapa?” berbagai pertanyaan muncul dan melayang-layang dalam
benak Nalia. Namun kesemuanya itu segera terjawab.
“Saya
Dokter Azka. Mbak barusan pingsan di jalan. Untung ada orang yang baik hati mau
nganter mbak ke klinik saya.” Terang laki-laki itu. Dokter muda berparas tampan
itu tersenyum.
Wajah
Nalia memerah. Kini ia ingat, apa yang terjadi pada dirinya. “Maaf. Saya jadi
merepotkan pak dokter.” Ucap gadis itu seraya merapihkan rambut serta
pakaiannya yang nampak berantakan dan kacau. “Apa saya sudah boleh pulang,
pak?” tanya Nalia.
“Oh,
tentu.” Sahut Dokter Azka. “Mbak ini baik-baik aja kok. Barangkali, mbak Nalia
kecapean dan butuh banyak istirahat, biar gak pingsan mendadak kayak barusan
tadi itu.”
“Makasih
dokter.” Nalia tersenyum. Entah kenapa perkataan dokter Azka terdengar sangat
melegakan. Ya, ia butuh istirahat. Istirahat dari memikirkan masalah demi
masalah yang bertumpuk di otaknya. “Kurasa, Janan juga sama.” Batin Nalia.
Nalia
kemudian pulang dengan diantar dokter Azka yang kebetulan ada urusan di tempat
yang searah dengan rumah Nalia. Mereka banyak mengobrol selama dalam perjalanan.
Nalia pun menceritakan masalah yang tengah dialaminya. Entah kenapa, ia merasa
nyaman begitu saja terbuka pada dokter muda itu. Mungkin karena usia mereka
yang sebenarnya tidak terpaut terlalu jauh. Dokter Azka pun menyimaknya dengan
seksama. Ia bahkan memberi beberapa nasihat untuk pemecahan masalah yang Nalia
hadapi.
“Sekali
lagi, makasih pak…” Nalia merasa canggung. Tiba-tiba ia sungkan memanggil
dengan sebutan pak dokter.
“Panggil
saja Azka. Gak pa-pa, kok.” Dokter muda itu tunjukkan barisan gigi-giginya yang
putih dan rapih. “Saya justru suka kalau Nalia mau manggil nama saya. Lagian,
sebenarnya usia kita gak begitu beda jauh juga.”
Nalia
menggangguk dengan canggung, dan Dokter Azka pun mulai menjalankan kembali
mobilnya. Nalia masuk ke rumahnya dengan senyum lega. Ia merasa beban
masalahnya sedikit lebih ringan setelah tadi ia sempat membicarakannya dengan
seseorang. Tanpa ia sadari, bahwa jauh di balik punggungnya, Janan menatapnya
dengan dada berdegub kencang dan mata mulai berkaca. Ia melihatnya. Ia melihat
bagaimana Nalia turun dari mobil Dokter Azka dengan wajah ceria. Lain dari
Nalia yang ia lihat begitu terbebani dan kusut, ketika kekasihnya itu beranjak
dari rumahnya dua jam lalu. Padahal ia sengaja jauh-jauh menyusulnya, seperti
yang disarankan oleh ibundanya. Namun yang ia temukan lain dari yang
diharapkannya. Ia menyaksikan bagaimana Nalia turun dari mobil seorang dokter
muda dan terlihat akrab dengannya.
Janan
kembali ke rumahnya membawa seraut wajah kecewa. Dan ketika ibunya bertanya,
Janan hanya angkat dua bahunya seraya berkata, “Gak ketemu, bu. Mungkin lagi
sibuk barangkali.”
Janan
masuk ke kamarnya dengan lusuh dan tak bersemangat. Dihempaskannya tubuh
letihnya di atas kasurnya yang nampak berantakan. Seprey yang kusut, bantal
yang tak tertata, juga aneka barang milik Janan yang berserakan di atasnya.
Sudah sejak ia pulang dari rumah Nalia untuk bicara pada ayah kekasihnya itu,
hidup Janan seolah tak terurus. Janan yang rajin dan suka kerapihan, berubah
menjadi Janan yang malas dan bahkan jarang mandi.
Hari
itu hujan turun mengguyur dengan hebatnya. Nalia menggigil dalam balutan hujan
dan berdiri di depan pintu rumah Janan. Tangannya terus memainkan nada-nada tak
beraturan yang beradu dengan daun pintu rumah yang sudah tak terhitung berapa
kali diketuknya. Tetap tak ada jawaban. Nalia berseru memanggil, dan masih tak
ada jawaban. Hingga rasa lelah membuatnya tersungkur bersama rintih pilunya.
Nalia
sedang asik mendengarkan lagu-lagu kesukaannya sambil membaringkan diri di atas
kasurnya. Ia melakukan tepat seperti yang Dokter Azka sarankan. Istirahat.
Mejaga jarak dari masalah. Berharap menemukan solusi dengan melihat apa yang
dihadapinya dari jarak yang cukup jauh dari itu semua. Ia sudah merasa nyaman
dan cukup tenang selama beberapa hari. Sampai akhirnya pintu kamarnya terbuka
dan mimpi buruk kembali menyambanginya. Bahkan kali ini menggigitnya. “Nalia.”
Pak Mustofa berkata perlahan. Dari sikapnya, Nalia tahu ayahnya berusaha
menyampaikan sesuatu. Ia pun bersiap karena apapun itu, pastilah bukan sesuatu
yang ingin didengarnya. Ia tahu hal itu dari menilai sikap ayahnya yang sangat
berhati-hati dalam berbicara. “Semua sudah ayah siapkan.” Sang ayah membelai
rambut Nalia dengan lembut. “Minggu depan, kamu nikah sama Raka.”
Kilat
dan Guntur datang silih berganti. Mengiringi tangis Nalia yang kembali
menggemuruh. Tangannya dengan sigap langsung meraih ponselnya dan menghubungi
Janan. Tidak aktif. Nalia pun bergegas mengambil jaketnya dan menghambur diri.
Berlari di bawah hujan, hingga akhirnya ia bertemu dengan Dokter Azka yang
memberinya tumpangan sampai ke rumah Janan.
Sang
dokter usapkan handuk kecilnya pada wajah basah Nalia, lalu memakaikan jaketnya
pada tubuh mungil yang menggigil itu. “Sudahlah Nalia. Mungkin Janannya lagi gak
di rumah.”
“Tapi…,”
isak Nalia kembali membuat wajahnya basah. “Aku… aku sayang dia, Azka.”
Azka
tertunduk. Tangannya meremas bahu Nalia perlahan, berusaha mengerti perasaan
gadis itu. Dan rasanya sungguh menyakitkan. Ketika seseorang berada pada pilihan
sesulit yang Nalia hadapi. Azka seketika memeluknya. Tubuh kuyup menggigil
Nalia yang bergetar dalam rintih kesedihannya.
Nalia
yang luluh pada bahu tegap Dokter Azka dalam tangisnya, membeliakkan mata
melihat sosok Janan. Ia segera melepaskan diri dari pelukan Azka dan menghambur
ke arah Janan. Namun Nalia segera hentikan langkahnya. Kekasihnya itu berdiri
terpaku melihat dirinya dan Dokter Azka secara bergantian. Di bawah raungan
hujan, payung hitam Janan terjatuh ke tanah. Dan kini air hujan menyatu bersama
derai air matanya. Membentuk satu warna luka yang jelas terekspresi pada rona
mukanya. “Pergi kalian!” ucap Janan lirih menahan perih.
“Janan.
Dengerin aku dulu. Ini gak seperti,” ucapan Nalia terputus. Janan keburu
berseru. Berteriak. “Aku bilang pergi!”
Dada
Nalia seketika berguncang. Baru kali ini dilihatnya Janan semarah itu. Atau
sedih. Ada linangan airmata yang dilihatnya diantara buliran hujan yang
melentik di wajah kekasihnya. Nalia tertunduk. Dan sebelum ia kembali bereaksi,
Dokter Azka telah lebih dulu berkata. “Nalia kesini karena dia sayang sama
kamu, Janan. Minggu depan dia akan dinikahkan.”
Janan
diam memaku diri. Sama sekali tak bergeming dari tempatnya, dan membiarkan Azka
membawa pergi Nalia begitu saja. Namun hatinya bergejolak. Tangannya mengepal
menahan segala rasa yang siap meledak dalam dirinya. Teriakannya meraung,
membahana di tengah hujan yang semakin deras menghunjamnya.
***
Nalia tampil cantik dalam busana jawa
yang memoles sosoknya dengan begitu anggun dan mempesona. Hanya, wajahnya yang
masih berselaputkan mendung membuat sang ayah yang duduk mendampinginya terus
tundukkan kepalanya. Tangannya dengan kuat
mencengkram lututnya yang tak juga mau berhenti bergetar. Ketika dulu ia
berjanji dengan sahabatnya, ia sama sekali tidak tahu putrinya tidak akan
bahagia dengan pernikahannya. Namun ia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.
Rombongan
pengantin akhirnya tiba. Faisal sahabatnya datang menghampirinya dan
mengajaknya bicara empat mata. “Demi kelancaran acara dan demi kebahagiaan anak
kita, sebelumnya ada yang pengin saya omongin ke kamu Topa.”
Di
tempatnya, Nalia sama sekali tidak peduli pada apa yang ayahnya dan Om Faisal bicarakan.
Ia memang sudah lama kenal dengan Om Faisal, tapi tidak dengan anaknya. Dan
sebentar lagi ia akan menikahinya. Tanpa tahu apapun tentang sosoknya.
Dokter
Azka datang membawa sedikit senyum di wajahnya yang sedari tadi merona mendung.
Azka telah banyak membantunya. Karena itu, kehadirannya sungguh sangat berarti
baginya. “Tidak pa-pa Nalia. Semua akan baik-baik saja.”
“Makasih
banyak. Kamu udah banyak nolong aku, Az.” Mata Nalia sedikit berkaca.
Tak
lama kemudian, sang mempelai laki-laki pun tiba. Dengan rasa enggan, Nalia
angkat kepalanya perlahan. Ia masih sulit menerima kenyataan. Namun ia sungguh
terkejut melihat sosok calon pengantinnya. “Ja…” suaranya terbata. Tak sanggup
melukiskan rasa terkejutnya dengan kata-kata. Di hadapannya, Janan berdiri
tersenyum kepadanya. Ia berpaling pada Azka. Dan Azka menyambutnya dengan
senyum seraya berkata. “Namaku Raeka Azka. Di rumah aku dipanggil Raka.”
By: Hida
24.06.2013.03:59.PM
EmoticonEmoticon