Aku banyak mendengar
cerita tentang hujan. Hujan yang mempertemukan
dua hati dalam satu cinta. Hujan yang membalut kenangan dengan luka. Hujan
yang sembunyikan airmata. Entah sudah berapa banyak hujan menjadi saksi sebuah cerita.
Dan hujan, juga menjadi saksi ceritaku tentang dia. Karena hujan selalu menjadi
satu-satunya kenangan tentang sosoknya, yang acap kali selalu menggigil karena
saat itu hujan terus mengguyur Kebumen dengan hebatnya. Di bawah atap gardu pos
polisi, aku berlindung dari serangan hujan dan menunggu angkutan kota yang akan
menjadi penyelamatku karena tengah diburu waktu. Aku tak ingin terlambat satu
hari pun di minggu pertamaku praktek mengajar di salah satu SMA favorit di
kotaku itu. Dan sejauh ini, aku tak terlambat satu hari pun hingga hari kelimaku.
Dan aku tak ingin merusak rekorku, terutama di hari terakhir pekan pertamaku.
Gadis itu menggigil
dalam balutan kemeja merahnya yang kuyup oleh hujan. Bibirnya yang menggaris
tipis, memucat dan turut bergetar menahan rasa dingin yang menusuknya dengan
bertubi. Aku tahu karena aku sendiri merasakan dingin yang sama.
Dadaku berdegup kencang
ketika ia melempar satu senyumnya yang manis ke arahku, yang lalu aku balas
dengan senyum canggung dan spontanitasku. Aku memberanikan diri bertanya,
“Dingin yah, mba?” kataku datar. Mengusap wajahku yang juga basah oleh
bulir-bulir hujan.
Gadis itu cuma
tersenyum sambil mengangguk malu. Beberapa detik berlalu dan aku kembali
memberanikan diriku, “Namaku Gading. Boleh saya tau nama situ?”
Sekali lagi, gadis
merah itu cuma tersenyum sambil mengangguk malu. Aku pun hanya bisa diam
membisu. Semakin canggung dengan sikapnya terhadapku. Dan entah bagaimana, aku berakhir
hanyut menikmati sosok indah di hadapanku itu. Terpukau oleh rambutnya yang tergerai
lurus dan panjang, yang mana nampak kaku oleh endapan air yang membuat
benang-benang halus dan lembut itu justru nampak begitu berkilau. Ketika aku
tengah sibuk mengagumi bening bola matanya yang bulat besar itu, sebuah angkot berhenti
tepat di hadapan kami. Cetar suara kernet yang mengajakku untuk naik sangat
mengejutkanku, hingga aku sempat terperanjat selama dua detik. Terbangun dari
lamunanku, aku pun segera naik, namun sayang, gadis itu tidak ikut naik
bersamaku. Namun kulihat ia melengos dan seperti mancariku. Dan aku hanya bisa
memandanginya seraya tersenyum pada sosoknya dari balik jendela, hingga gadis
itu semakin menciut dan akhirnya menghilang dari pandangku seiring angkot
melaju.
Hari itu, aku berhasil
meraih rekorku karena datang tepat waktu. Bel berbunyi, sesaat setelah aku
mendudukkan diri di kursi kerjaku. Namun ada sesuatu yang kurang, yang
kurasakan begitu mengganjal dalam diriku. Seperti menghimpitku dalam ruang
kosong, dan menolak untuk membebaskanku. Aku terus saja terbayang akan sosok
merah yang bahkan belum sempat menyebutkan namanya itu.
Satu minggu berlalu, dan aku masih belum bisa
mengenyahkan sosoknya dari pikiranku. Hingga akhirnya aku dan dia kembali
bertemu. Lagi-lagi, hujan menguyup kami. “Perasaan, tiap kali kita ketemu,
selalu turun hujan?!” ujarku, mencoba mencairkan suasana yang rasanya begitu
canggung dan kaku. Kupikir gadis itu akan sekali lagi diam membisu, namun sekali
ini dia bicara membalas ucapanku. “Bukan. Justru karena hujan, kita jadi bisa
bertemu, kan?”
Tak hanya itu, ia
bahkan melempar satu senyumnya ke arahku. Aku sejenak terkejut. Dan entah
kenapa butuh waktu cukup lama untuk aku bisa mencerna dan memahami maksud dari ucapannya
itu. Mungkin karena semata-mata perhatianku teralihkan sepenuhnya, oleh dentingan
suaranya yang ternyata begitu lembut dan indah, seolah tanpa satu pun noise mengalir di dalamnya. Seperti menekan satu tuts pada
piano dengan lembut, hingga memperdengarkan satu bunyi yang halus dan memelodi
indah. Kami cukup banyak mengobrol
sekali itu. Bahkan saat satu angkot berhenti untukku, aku justru membiarkannya
begitu saja berlalu. Dia pun begitu. Terus menikmati waktu mengobrol denganku.
Anehnya, beberapa kali
kami bertemu, belum juga aku mendengar ia menyebutkan namanya. Ketika aku coba
menanyakan namanya untuk kedua kalinya, sebuah bus tiba-tiba lewat dengan
teriakan klakson yang memekakkan telinga, tepat ketika gadis itu tengah
menyebutkan namanya. “Telolet, telolet, teloleeet…!”
Aku sempat berteriak
memaki. Namun suaraku lenyap ditelan gemuruh suara mesin serta bunyi klakson
yang dibarengi desiran angin yang terbelah oleh bus yang melaju di tengah hujan
itu. Gadis itu tertawa geli, dan telah melangkah pergi sebelum aku sempat
berkata apa-apa lagi. Ia naik angkot yang datang tepat di belakang bus sialan
tadi.
Di hari hujan
berikutnya kami kembali bertemu. Hujan memang tengah sering mengguyur Kebumen
saat itu. Dan kebetulan juga aku dan dia selalu bertemu di kala hujan
mengeroyok kota kelahiranku itu. Aku coba menanyakan perihal namanya kembali,
namun dia cuma gelengkan kepalanya. “Aku sudah menyebutkan namaku waktu itu,
kan?” katanya, membuatku heran sekaligus penasaran. “Iya, sih. Cuman kan kamu
tau sendiri. Kemarin itu ada bus sialan yang sok pamer klaksonnya gitu!”
desisku. Masih kesal dengan kejadian waktu itu. Namun mendadak ada satu tanya
lain yang menggangguku. “Eh, aku heran. Kenapa tiap kali aku ketemu kamu, pasti
sedang hujan!?”
Gadis itu memandangku
sejurus, membuatku segera melempar mukaku dari tatapannya yang seolah mampu
menembus segalanya. Kini ia ganti suarakan tawa kecilnya. Memperlihatkan putih
dan rapihnya barisan gigi-giginya, yang beradu bersama bibir tipisnya yang
menggaris dengan manisnya.
“Kok malah ketawa?” aku
makin penasaran dengan sikapnya. Lalu gadis itu hentikan tawanya. Tangannya
menjulur, membiarkan tetesan-tetesan hujan jatuh di pangkuan tangannya yang
berjemari lentik dan halus. “Kamu tak akan pernah bisa menemukanku tanpa hujan,
Gading.” Ujarnya perlahan. Semakin membuatku tidak mengerti akan sosoknya. Aku
ingat beberapa kali pernah aku coba mencarinya saat hujan tak mengguyur bumi,
namun aku tak pernah berhasil menemukannya. Tak peduli seharian aku
menunggunya, ia tetap tak menunjukkan sosoknya. Seolah memang seperti yang
diucapkannya. Bahwa tanpa hujan, aku tak akan pernah bisa bertemu dengannya.
Dan lagi, kenapa dia bersikeras tidak mau aku tahu namanya!? Rasanya sungguh
tak adil bagiku. Dia tahu namaku, sementara ia sendiri menolak menyebutkan
namanya padaku.
“Kamu beneran pengin
tahu nama aku, Gading?” kata perempuan berparas cantik itu seraya tersenyum
padaku.
Dadaku mendadak
berdegup lebih kencang dan tak beraturan. Bagaimana dia seolah tahu apa yang
aku pikirkan?! Matanya kembali sejurus menatapku. Namun kali ini aku tak
menghindar. Kucoba balas memandangnya dengan tak berkesiap. Mencoba menyelidik
arti di balik sorot matanya yang mengundang sejuta tanya. “Namaku…” ia mulai
menyebutkan namanya. Namun mendadak langit riuh bergemuruh. Kilat menyambar
tiga kali dalam sekejap dan membawa teriakan Guntur yang seolah hendak merobek
langit. Aku sangat terkejut, takut, bahkan kakiku bergerak melangkah surut.
Tapi ketika mataku kembali tertuju pada gadis itu, senyumnya kembali
menenangkanku. Menguatkanku. “Sepertinya, memang belum saatnya kamu tau namaku,
Gading.” Kali ini senyumnya terkulum dalam lipatan bibirnya. Aku semakin
penasaran. Ketegangan mulai merambat ke sekujur tubuhku sementara hujan mulai
menghilang secara perlahan.
Ia pun mulai
mengayunkan kakinya, melangkah menghampiri angkot yang berhenti untuknya. Namun
aku bergegas mencegahnya. “Tunggu!” sergahku. Dan angkot itu segera pergi
berlalu. Sebelumnya kami selalu berpisah dalam iringan hujan. Namun kali ini,
aku ingin terus bersamanya hingga hujan bosan membasuh dunia. Aku ingin tahu,
apa yang sekiranya mungkin terjadi padanya ketika hujan tak lagi membasuh bumi.
“Kau bilang, aku tak akan pernah menemukanmu tanpa hujan, kan?” langkahnya
terhenti. Aku tak berniat membiarkannya pergi. “Kalau begitu, aku ingin lihat. Apa
kau akan menghilang bersama hujan, hingga aku tak pernah menemukanmu tanpa
hadirnya diantara kita.”
Rona muram kini jelas
tergambar di wajah bulatnya yang basah. Bulir-bulir hujan berselancar di
kulitnya yang halus dengan lincah, dan menyibak warna hatinya yang kurasakan
mulai resah. Dan ketika hujan akhirnya benar-benar sirna, aku tersenyum lega
menatap sosoknya. Tanganku masih merasakan kehangatan yang merayap dari saat
aku mulai memegang tangannya. Dan tanpa sadar aku pun langsung memeluknya. Aku tertawa
bahagia. “Syukurlah,” ucapku. Masih dengan tawa mewarnaiku. “Aku pikir, benar-benar
akan terjadi sesuatu padamu begitu hujan reda.” Aku begitu bahagia, entah
karena apa. Sesaat memang aku mengira sosoknya mungkin akan lenyap begitu saja
seiring dengan hujan yang mereda. Hasil pemikiran yang bersumber pada sebuah
fantasi gila.
Aku segera melepasnya
dari pelukku, memandang wajahnya yang masih menampilkan warna diam yang sama,
dengan sorot mata masih membuatku banyak bertanya. Aku terkejut melihat ada sebulir
airmata di ujung kedua matanya. Tak tahu harus berkata apa, sampai akhirnya ia bicara,
“Jangan mencari tahu hal yang memang tak seharusnya kamu tahu, Gading.”
Tuturnya. Jari telunjuknya yang basah memaksa mulutku diam tak bicara. Aku sama
sekali tidak mengerti maksud ucapannya. Ia melepas tanganku dan melangkah pergi
begitu saja, tanpa aku bisa mengejarnya.
Dan sejak saat itu, aku
tak lagi bisa bertemu dengannya. Tak peduli berapa kali aku coba mencarinya.
Tak peduli hujan terus melanda, sosoknya tak lagi bisa aku menemukannya. Seolah
dia tak lagi ada. Seolah dia benar-benar lenyap bersama hujan yang mereda.
***
Gerimis yang menyapu Kebumen siang itu membawa kembali
kenanganku. Ketika aku kembali berdiri di gardu pos polisi, menanti sebuah
angkot yang akan datang menyelamatkanku dari dingin yang menusukku dengan
bertubi. Tiga bulan berlalu, tanpa kami kembali bertemu. Dan selama itu, aku
terus menyimpan rinduku. Selama itu aku terus menahan suatu gejolak yang
perlahan namun pasti merayap dan ingin meledak dari dalam diriku. Kulihat seorang
gadis berdiri tak jauh dariku. Di tengah gerimis yang perlahan menderu, sosoknya
yang mengenakan kemeja merah, seketika mengingatkanku. Rambutnya yang panjang
tergerai, melambai tertiup angin yang seolah memanggilku. Perlahan daun payung
transparan yang meneduhkannya tersibak dan memperlihatkan parasnya yang elok
padaku. Mulanya aku tak ambil peduli siapapun itu. Namun sosoknya yang berbalut
kemeja merah benar-benar sangat mengejutkanku, hingga seketika menggerakkan
langkahku. “Maaf. Saya salah orang.” Aku kecewa. Berjalan dengan langkah
lunglai kembali ke bawah gardu polisi. Namun aku kembali dua detik kemudian.
Aku bertanya, “Kalau boleh tau, mbak ini siapa, yah? Maaf tadi bikin kaget.
Soalnya, mbak agak mirip sama orang yang saya kenal.”
Aku tidak terlalu
mengharap jawaban yang bagus, namun aku sama sekali tidak mengira, ia akan
melengkungkan garis bibirnya dan tersenyum padaku seraya berkata. “Ah, nggak
pa-pa. Lagian, ini tempat kenangan kakak saya.” Katanya.
“Kakak?” heranku. Ada
satu sisi di hatiku yang mulai bertanya dan menduga.
“Ya,” gadis itu
mengangguk. “Dulu, kakak suka sekali tempat ini. Terutama saat hujan. Katanya,
di sini ia biasa bertemu dengan orang yang sangat dicintainya.”
Hatiku mendadak
berdegub kencang. Mungkinkah? Benarkah? Muncul tanya demi tanya dalam hatiku.
Bibirku bergetar. “Lalu… se, sekarang, memang, dimana kakak kamu?”
Gadis itu kembali
memperlihatkan senyumnya. Kali ini kulihat seakan berduka. “Sudah sejak lama,
Tuhan mengambilnya.”
By: Hida
EmoticonEmoticon