Orang bilang cinta itu layaknya sebuah
jembatan. Menghubungkan dua hati yang berseberangan, menyatukan dua jalan yang
bertentangan. Bagi Samsul sendiri, cinta itu ibarat senja. Karena senja selalu
jadi yang mempertemukannya dengan Selena. Karena senja, selalu jadi jembatan
yang menghubungkan waktu keduanya.
Samsul
yang disibukkan dengan bermacam tugas sekolah dan persiapannya menjelang UAN,
selalu harus pulang sore menjelang maghrib. Tapi tiap kali ia pulang dari
rutinitas padatnya, Samsul selalu masih penuh semangat memacu motornya. Seolah
semua lelah yang ia temukan seharian, tak cukup untuk menjatuhkannya. Senyum
tak hentinya mengembang mengiringi desiran angin yang menerpanya sepanjang
jalan. Dan seperti biasa, ia menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah caffe
tempel bernama Tenda Jingga. Letaknya yang diapit jalan raya dan persawahan
luas, membuat Sam bisa menyaksikan keindahan langit sore, yang menampilkan
paras keemasan langit dan sang surya yang berpadu di ufuk barat cakrawala.
Karena keistimewaan senja yang tersaji itulah, si pemilik caffe menamainya
Tenda Jingga. Bagi Samsul sendiri, Tenda Jingga adalah sebuah titik temu dimana
ia bertemu Selena. Dan di Tenda Jingga pula, Sam terus menanti Selena, gadis
yang sangat dicintainya.
“Udah
mas, disamperin aja kalo mas emang suka…” kata Mas Ardi, menggoda Samsul yang
belakangan selalu saja hanya memandangi Selena dari jauh, tanpa pernah lagi
mencoba mendekatinya. “Kalo mas nyerah di sini, ntar nyesel loh…!?”
Sam
hanya keluarkan tawa kecil, lalu menyesap coklat panasnya sambil tak melepas
pandangannya dari Selena. Gadis itu baru saja terlihat dan tengah berjalan
bersama dua temannya. Seperti biasa, ia melayangkan senyum kecil ke arah Sam,
lalu kembali mengobrol dengan temannya sebelum akhirnya menghilang. Lenyap
bersama sebuah mobil yang akan mengantar ketiganya ke tempat mereka bekerja.
Sam
mengenalnya beberapa minggu yang lalu, ketika ia tengah menikmati seduhan
coklat panas di Tenda Senja. Gadis itu datang dengan membawa satu senyuman yang
mekar menghias hari yang beranjak malam kala itu. “Samsul. Panggil aja Sam.”
Kata Sam setelah sedikit berbasa-basi.
“Selena.
Temen-temen biasa manggil aku Lena.” Balas Selena.
“Kalo
gitu, boleh aku tetep manggil kamu Selena aja?”
Selena sunggingkan
senyum, lalu menjawab, “Boleh kok. Terserah kamunya aja. Aku nggak begitu
peduli selama itu masih bagian dari namaku”
Mereka
berbagi sedikit cerita, lalu berpisah begitu saja. Sayangnya, dalam pertemuan
yang singkat itu, Sam tidak sempat meminta nomor hp Selena. Dan sejak saat itu,
mereka tak pernah lagi berada satu atap di Tenda Jingga.
Sam
tidak menyerah. Ia benar-benar telah jatuh cinta pada sosok Selena. Dan ia
bahkan tak mengerti alasannya. Karena itu Sam selalu saja menyempatkan diri
mampir ke Tenda Jingga, berharap Selena juga akan kembali datang dan duduk di
sampingnya. Namun pertemuan yang Sam
harapkan, tak kunjung kembali terulang. Selena tak pernah lagi kembali datang.
Gadis itu hanya berdiri di seberang jalan untuk sesaat, lalu kemudian
menghilang. Menurut Mas Ardi si empunya Tenda Jingga, Selena bekerja paruh
waktu di sebuah mini market, guna bisa terus melanjutkan sekolahnya. “Emang dia
sekolah dimana mas?” tanya Sam. Namun sayangnya, Mas Ardi hanya gelengkan
kepala seraya berkata, “Waduh, saya malah nggak tau sampe sejauh itu loh mas…”
Waktu
seolah tidak berpihak pada Sam. Berulang kali ia mencoba mendekati Selena, tapi
selalu saja gagal. Di satu hari, Sam menunggu Selena tidak di Tenda Jingga,
melainkan di pinggir jalan tempat ia biasa melihat Selena bersama dua temannya.
Cukup lama Sam berdiri menunggu kehadiran gadis pujaannya, namun hingga senja
menghilang, Selena tak kunjung datang.
Di
hari berikutnya, Sam berhasil menemui Selena. Namun sekali itu, Selena terlihat
sangat terburu-buru, hingga Sam pun tak sempat berkata apapun. Selena langsung
berlalu masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya bersama dua orang temannya.
Bahkan ia pun tak sempat membalas lambaian tangan Sam yang mencoba menyapanya.
Sam
hampir saja putus asa, ketika akhirnya ia menemukan Selena di sebuah mini
market. Dengan luapan rasa gembira karena berhasil menemukan Selena, Sam yang
berdiri di depan tempat Selena bekerja pun langsung menghambur masuk untuk
menemuinya. “Selena!” serunya. Namun begitu Sam melangkah masuk dan berdiri di
depan Selena, terang sekejap hilang. Semua mendadak menggulita, bahkan sebelum
Selena sempat menyadari kehadiran Sam di hadapannya. Mati lampu. Dan Sam
kembali kehilangan Selena. Bahkan ketika lampu akhirnya kembali menyala, Sam
tak juga menemukan sosoknya.
***
Orang
bilang cinta itu layaknya sebuah jembatan. Menghubungkan dua hati yang
berseberangan, menyatukan dua jalan yang bertentangan. Selena percaya, cinta
itu seperti senja. Mempertemukan rembulan dan sang surya, dalam satu balutan
keindahan waktu yang memisahkan keduanya.
Sore
itu Selena serasa telah menemukannya, sosok yang diharapnya memang Tuhan ciptakan
hanya untuknya. “Samsul. Panggil aja Sam.” Kata pemuda itu sembari mengulurkan
tangannya. Bukan untuk berjabat tangan, melainkan untuk menerima tangan Selena
dengan telapak tangan terbuka, persis seperti saat seseorang mengajaknya
berdansa di sebuah pesta. Dan butuh waktu lebih dari lima detik bagi Selena
untuk segera membalas uluran tangan Sam dan berkata, “Selena. Temen-temen biasa
manggil aku Lena.” Ucapnya. Wajahnya mendadak terkembang, berseri dan
menghadirkan sepasang rona merah di pipinya yang langsung ia sembunyikan dengan
menempelkan gelas minumannya. Bibirnya menggaris tipis manis, membentuk satu
senyuman yang meriak di balik lengkungan gelas berisi coklat panas yang mulai
mengalir masuk ke dalam mulutnya.
“Kalo
gitu, boleh aku tetep manggil kamu Selena aja?”
Selena sempat terkejut,
sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dengan satu senyum kecilnya. “Boleh
kok.” Jawabnya. “Terserah kamunya aja. Aku sih nggak begitu peduli selama itu
masih bagian dari namaku.”
Sam tertawa kecil
kemudian berkata, “Kamu suka nongkrong di sini juga?” tanya cowok tampan
bermata lebar itu. Selena turunkan gelasnya baru menjawab, “Kadang-kadang….”
Katanya. Ia kembali tersenyum, lalu balik bertanya, “Kamu sendiri?”
“Nggak
terlalu sering juga, sih… “ Sahut Sam. “Tapi aku suka tempat ini. Entah kenapa…
aku nyaman aja duduk di sini sore-sore, sambil menikmati seduhan coklat panas
Mas Ardi. Iya nggak mas?”
Yang
ditanya hanya tersenyum disertai seriak tawa kecil, lalu kembali melanjutkan
pekerjaannya ─ melayani dua orang pelanggan yang baru saja datang. Sementara
Selena, pandangannya melengos ke arah langit-langgit tenda, menerawang dan
mencuri sedikit fantasi langit di atasnya. Ia berusaha memilah kata yang ingin
diucapkannya. Mencari serangkaian kalimat yang dirasanya sempurna. “Kalo aku…
suka nongkrong disini bukan Cuma karena coklat panasnya yang enak.” Kata Selena
tujuh detik kemudian. Gadis berrambut lurus panjang itu menghela nafas.
Wajahnya nampak melukiskan satu rona bahagia yang tersampaikan pada Sam. “Aku suka
pemandangan di sini. Kalo aku lagi ada waktu, aku selalu kesini… duduk nikmatin coklat panas, sambil
memperhatikan langit di ujung sana.” Selena arahkan pandangannya pada langit
emas dan sang surya yang menuju tenggelam di ufuknya.
“Senja?”
tanya Sam. Selena mengangguk tanpa melengos ke arah pemuda di sebelahnya. Ia
begitu menikmati kanvas keemasan yang melukiskan sosok mentari yang segera
tenggelam di ujung pandangnya. Dan ketika ia akhirnya kembali beralih pada Sam,
ia terkejut mendapati pemuda di sebelahnya itu, ternyata tengah ikut terbawa
dirinya. Memandang senja, hingga tak sedetik pun matanya teralih dari
keindahannya. Selena tersenyum, menyangga kepalanya dan ganti menikmati rona
yang dimainkan wajah Sam yang sedang khusuk terpukau oleh senja. “Kenapa
senja?” tanya Sam, membuat Selena terkejut dan segera memalingkan mukanya.
Kembali pada senja.
Selena
gugup untuk sesaat. Bibirnya bergetar ragu dengan apa yang akan diucapkannya.
“Emm, gimana yah?” ucapnya nerves. Sepasang matanya memejam untuk sedetik
lamanya. Berusaha mengambil alih semua system yang mengendalikan tubuhnya, lalu
membayangkan hamparan keemasan yang indah membentang dengan setitik terang
matahari yang bersinar anggun diantaranya. Dan jauh dari tempat sang surya
bertahta, dilihatnya rembulan temaram dengan sosoknya yang hanya terlihat
separuh. Menatap rindu pada sang surya dan seolah ingin mengejarnya, untuk
kemudian memeluknya. “Menurutku senja itu waktu paling romantis diantara semua
waktu yang kita punya. “ ucap Selena pada akhirnya. “Aku nggak begitu mengerti
alasannnya sih. Tapi… aku suka sekali melihat senja. Apalagi, kalo melihat ada
kalanya rembulan menampakkan diri sebelum matahari mengatup. Seneng banget.
Rasanya seperti mereka dipertemukan oleh senja. Indah sekali. Senja itu… buatku
seperti cinta. Mempertemukan dua hati yang saling mencintai, meski tidak untuk
saling memiliki.”
Sebuah rona muram
mendadak menguasai wajah cantik Selena, sesuatu yang tak ikut terbidik
perhatian Sam. Ia sibuk mengikuti arah pandang Selena, memperhatikan senja yang
hampir menenggelamkan sang surya sepenuhnya.
“Ohya?”
kata Sam kemudian. Ia bahkan sama sekali tidak menghadap Selena. Tetap memaku
pandangannya pada keindahan Senja yang semakin menyaga. “Menurutku nggak begitu
juga, sih… lagian siapa bilang matahari jatuh cinta sama rembulan!? Mitos dari
mana itu?”
“Nggak
ada!” Selena sunggingkan senyum tipisnya. Kini keduanya saling beradu pandang.
“Itu Cuma pandangan pribadiku aja tentang senja. Perkara kamu atau siapa mau
mempermasalahkannya… its oke. Silakan. Aku sama sekali nggak keberatan, kok.
Dan kamu bukan orang pertama yang bilang gitu ke aku.”
Sam
tertawa yang langsung mengundang tanya Selena. “Kamu sendiri? Gimana pendapat
kamu tentang fenomena senja?”
“Um…
nggak ada hubungannya sama cinta. Senja hanyalah peristiwa alam biasa… dimana
matahari berada pada posisi condong dari bumi. Dan oleh karena posisi
kemiringan matahari itulah, cahaya matahari jadi lebih lebar, sehingga menembus
lapisan atmosfir bumi yang lebih tebal. Dan dalam kondisi seperti itu, maka hanya
warna kuning dan merah lah yang dominan diserap oleh atmosfir, hingga
sedikitnya cahaya terpantul sebagai warna keemasan.”
“Wow,
nggak nyangka, ternyata kamu ini orangnya realistis, yah?” Selena memuji, tapi
sedikit kecewa dalam hati. Karena Selena punya kenangan tersendiri tentang
senja. Karena senja mengingatkannya pada sosok yang sangat dicintainya. Sosok
yang tak lagi bisa ia memilikinya.
“Loh,
mati lampu, yah?” ucap Sam tiba-tiba. Selena langsung terperanjat mendapati
sekelilingnya mendadak gelap gulita. Dan gelap, menyembunyikan paras Selena
yang berubah temaram dan segera berlalu pergi.
Selena segera berlari
keluar tenda tanpa menghiraukan Sam yang berusaha mengucapkan sesuatu. Ada
sesuatu yang membuatnya terburu-buru. Namun baru tiga langkah ia keluar tenda,
Selena menghentikan langkahnya. Ia berpaling ke arah Sam. Matanya menyorot menembus gulita,
membidik sosok pemuda seusianya yang masih duduk di balik tirai jingga. Ia
terlihat kebingungan, dan berusaha mencari seseorang yang sepuluh detik lalu
masih duduk di sampingnya. Ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Selena.
Sesuatu yang membuatnya melangkah pergi dari sisi Sam, bersama sekeping rasa
yang mulai menghantuinya.
Pertemuannya dengan Sam
membawa perubahan bagi Selena. Sam mengingatkannya akan Heli. Orang yang selama
ini mengisi hati Selena. Mereka yang juga dipertemukan oleh senja, namun
dipisahkan oleh perbedaan yang mengekang cinta mereka. Orang tua Heli yang
berasal dari keluarga kaya, melarang Heli untuk berhubungan dengan Selena yang
berasal dari keluarga tak berada. Dan demi memisahkan keduanya, ibu Heli bahkan
sampai mengirim Heli ke London dengan dalih melanjutkan pendidikannya. Dan
mereka tak pernah cukup berdaya untuk menentang perbedaan mereka. Heli pergi,
dan tinggallah Selena seorang diri. Duduk menatap senja, menanti Heli yang tak
juga kembali.
Selena terlalu
disibukkan dengan kehidupannya yang terbagi dua. Di satu sisi ia adalah seorang
pelajar yang harus segera siap menghadapi UAN, dan di sisi lain ia harus
bekerja untuk bisa terus melanjutkan sekolahnya.
Setiap sore menjelang
senja, Selena harus berangkat bekerja. Bersama dua temannya yakni Bintang dan
Mega, Selena berdiri di halte tempat mobil yang akan mengantar mereka datang
menjemput mereka. Dan saat itulah dilihatnya Sam. Pemuda itu tengah duduk di
Tenda Jingga, menyesap coklat panas sambil tersenyum memandang ke arahnya.
Bibir Selena menggaris tipis secara otomatis. Namun segera setelahnya, Selena
kembali memalingkan muka. Seraut wajah lain melintas di benak Selena dan
membuatnya takut melihat Sam.
Di sore berikutnya,
ketika Selena kembali akan berangkat bekerja, Sam berdiri di seberang jalan. Ia
melambai ke arahnya ─ dan tentu saja, Selena pun sontak tersenyum padanya.
Namun sekali lagi, segera ia memalingkan wajahnya. Selena sempat terkejut saat
dilihatnya pemuda itu berusaha menyebrang jalan dan setengah berlari menuju ke
arahnya. Namun ia teselamatkan oleh mobil yang saat itu datang menjemputnya.
Dan di sore berikutnya,
sesuai dugaan Selena, Sam kembali menantinya. Bahkan kali ini dilihatnya pemuda
itu menunggunya di tepi jalan tempat ia biasa menunggu mobil yang akan
menjemputnya. “Eh, kalian bedua bantuin aku yah. Plis… aku nggak mau ketemu
sama itu orang…” rengeknya pada dua sahabatnya.
“Kenapa sih emangnya,
Len?” tanya Mega. “Itu orang emang udah ngelakuin apa sama kamu? Kok
keliatannya kamu parno banget sama dia?”
“Iya, Len. Padahal…
kalo diperatiin, dia kan lumayan ganteng juga. Iya nggak Mee?” timpal Bintang.
“Duhh… bukan itu
masalahnya yank…” kata Selena memelas. Gadis itu bersikukuh tidak ingin bertemu
Sam. Karena itu, kedua temannya pun mengalah dan sepakat untuk membantu Selena
menghindar dari Sam. “Oke. Kamu tunggu di sini dulu, dan baru boleh keluar kalo
kita bedua udah kasih tanda, yah!”
Keduanya pun kemudian
berjalan lebih dulu dan menunggu mobil tanpa Selena. “Tumben, mba? Temennya
yang satu lagi kok nggak ikutan? Kemana?” tanya Sam. Bintang dan Mega pun
dengan santainya menjawab, “Aduhh… kayaknya masih di belakang tuh…” kata Mega
dan Bintang pun ikut menambahkan. “Iya, nggak tau kenapa. Kita juga lagi
nungguin, nih.”
Sam pun dengan lugunya
percaya pada keduanya, hingga saat akhirnya mobil yang menjemput datang, Selena
pun berlari dengan terburu-buru seolah dirinya terlambat.
“Huff…” Selena
hembuskan nafas lega begitu mobil yang dinaikinya mulai melaju dan sosok Sam
semakin jauh dari pandangannya. Ia benar-benar terganggu dengan kehadiran
Samsul. Karena melihatnya, mengingatkannya akan Heli.
“Oke, sekarang
mendingan kamu tuh cerita. Apa alasan kamu sampe segitu hebohnya, cuma demi
nggak mau ketemu sama itu orang, Lena!?” desak Mega. Tapi Selena tetap diam. Ia
menolak untuk bercerita, bahkan kepada dua sahabatnya. Ia hanya menunduk tanpa
berkata apa-apa. Ketika pandangannya akhirnya teralih keluar jendela, gadis itu
berucap pelan, “Pliss… jangan sekarang…”
Mega dan Bintang sama
saling pandang dan hanya bisa menuruti kemauan Selena. Namun tetap saja,
sekeras apapun Selena berusaha menghindar, ia sama sekali tak bisa mengelak
pertemuannya dengan bayangan masa lalunya.
Di suatu malam, ketika
Selena tengah disibukkan dengan pekerjaannya di mini market, secara tidak
terduga Sam muncul di hadapannya. “Selena!”
Suara itu mengiang
dengan jelas di telinga Selena dan membuat gadis itu terperanjat. Melalui
dinding cermin di atasnya, ia dengan jelas melihat Sam masuk ke dalam mini
market dan menuju ke arahnya. Tubuh Selena mendadak serasa beku. Ia tak mampu
bergerak sedikit pun, bahkan untuk sekedar menengok ke belakang. Karena ia tahu, saat ia melakukannya, maka ia
akan melihat bayangan yang paling ingin dienyahkannya. Namun gelap kembali
menyambangi keduanya. Mati lampu. Selena kembali terkejut untuk kesekian
kalinya. Bukan baru kali ini pertemuan mereka diiringi padamnya listrik.
Terdengar suara Sam memanggilnya sekali lagi, namun Selena yang melihat
kesempatan dengan padamnya listrik segera beringsut lari. Sembunyi dimana pun
sekiranya Sam tak akan menemukannya.
Di saat seperti itu,
tiba-tiba seseorang menepuk bahu Selena dan membuatnya terkejut. “Lena!” kata
orang yang dari suaranya, ternyata Pak Guntur, Manager Selena. “Eh, iya pak?”
sahut Selena terkejut. Sambil menyorotkan lampu senter ke muka Selena, Pak
Guntur kemudian berkata, “Tolong kamu coba cek gensetnya di belakang, yah! Di
sini biar bapak sama karyawan lain yang urus.”
“I, iya, Pak Guntur.”
Selena tertegun. Sesaat tadi sempat terbayang wajah Sam, dan hal itu membuat
mukanya nampak pucat. Selena sempat diam untuk beberapa detik lamanya, mencoba
menarik nafas dalam sebelum akhirnya beranjak untuk menyalakan genset di ruang
belakang. Dan begitu ia kembali, ia bersyukur tak mendapati sosok Sam di
manapun.
“Huff…”
Akhirnya Selena bisa
bernafas lega. Jam kerjanya telah berakhir dan toko telah di tutup. Ia dan dua
orang temannya berdiri menanti mobil yang akan mengantar mereka pulang. Dan
saat itulah, Mega dan Bintang kembali mendesak Selena untuk bercerita. “Lena.”
Kata Mega mulai bicara. “Sekarang nggak pake tapi-tapian. Cerita ke kita, atau
lain kali kita nggak bakal bantuin kamu lagi!”
Belum lagi Selena
sempat menjawab, Bintang telah lebih dulu menimpali. “Cerita dong ke kita,
Lena. Kalo kamu tetep diem gitu, gimana kita bisa bantuin masalah kamu coba?
Kita barusan liat, gimana kamu lari ngehindar dari si Sam. Lagian kenapa sih,
kamu nggak terusa terang aja ngomong
sama dia? Bilang, kalo kamu nggak mau dia gangguin kamu lagi. titik!”
Selena diam untuk
sesaat, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan kedua sahabatnya yang bertubi itu.
“Namanya Sam.” Kata Selena. Mega dan Bintang pun mendengarkan dengan seksama
cerita sahabat mereka itu.
“Aku ketemu dia sekitar
dua minggu yang lalu di caffe Mas Ardi. Aku juga udah cerita kan sama kamu
bedua?” Selena pandangi wajah dua sahabatnya secara bergantian. “Jujur, kesan
pertama aku tentang dia ─ baik. Maksudku… yah, aku nggak bener-bener kenal
banget sama dia. Tapi, nggak tau kenapa dia itu selalu ngingetin aku sama
Heli.”
“Heli?” sela Bintang.
“Heli pacar kamu yang udah mati itu, Len?”
“Heli nggak mati, Bin.
Aku bohong sama kamu bedua. Maaf…” gadis itu tertunduk lemas, sementara Bintang
dan Mega mencoba meyakinkan Selena untuk meneruskan ceritanya.
“Ibu Heli nggak setuju
dengan hubungan aku sama Heli. Dan dia sampe nyuruh Heli buat pindah jauh-jauh
ke London, cuma biar anaknya itu nggak berhubungan lagi sama aku.”
Tanpa disadari, isak
tangis mulai mewarnai cerita Selena. Mega segera meraih pundak gadis itu dan
menenggelamkan kepala sahabatnya itu ke dalam peluknya. “Beraat banget rasanya,
Mee… dan dia ─ Sam, tiap kali aku ketemu dia, aku tu selalu keinget Heli.”
Mega angkat kepala
Selena dan menatap sejurus ke arahnya. “Perasaan, muka mereka sama sekali nggak
sama kok, Len?”
“Iya, Lena. Kalo kamu
bilang mirip, trus apanya dong dari mereka yang mirip? Yang aku liat, mukanya
aja jauh banget!” timpal Bintang. Selena lepaskan pelukan sahabatnya dan
mengusap sepasang matanya dengan ujung jarinya. “Bukan muka mereka yang sama,
yank… tapi cara kami bertemu. Itu yang membuat mereka sama. Persis banget!”
“Aku pernah cerita kan
sama kalian bedua, tentang gimana aku sama Heli pertama kali ketemu? Nah…
kejadiannya itu sama persis, yank. Sore-sore menjelang senja ─ trus ada mati
lampu segala…” desis Selena. “Mulanya aku itu biasa aja. tapi nggak tau kenapa,
semenjak itu aku tuh bawaannya keingeeet terus sama Heli. Apalagi kalo ngeliat
si Sam. Bahkan lama-lama tuh yah… aku merasa kalau keduanya itu makin mirip.
Senyum dia, sikap dia, bahkan aku itu baru nyadar, kalau Sam juga suka coklat
panas sama kayak Heli. Dan ini semua benar-benar membuat aku makin nggak bisa
ngelupain Heli, yank…!”
Suasana perlahan hening
begitu Selena selesai bercerita. Tak ada satu pun diantara ketiganya yang
bicara, hanya isak tangis Selena yang masih bersisa, bagai sebuah ketukan
tangga nada yang menghias kesedihan hatinya.
***
Orang bilang cinta itu
layaknya sebuah jembatan. Menghubungkan dua hati yang berseberangan, menyatukan
dua jalan yang bertentangan. Namun mencintai, tak selalu harus memiliki.
Selena duduk menyesap
coklat panasnya di Tenda Jingga. Sore itu udara terasa segar dengan sedikitnya jumlah
kendaraan yang melalu lalang, sementara langit yang bersih menampilkan panorama
keemasan cakrawala dengan sang surya yang hampir tenggelam di ufuknya. Sesuatu
yang membuat hari Selena serasa begitu sempurna. Melihat senja dan terbenamnya
sang surya, melihat betapa bahkan sang surya yang perkasa pun, punya lawan yang
tak bisa ia kalahkan. Sudah hampir seminggu ia tak melihat Sam. Dan entah
kenapa, ada sedikit rasa kehilangan dalam kepergiannya yang tanpa kata tanpa
berita. Ada rasa bersalah yang entah dari mana asalnya, hinggap begitu saja
dalam lubuk hati Selena. Ia sadar, bahwa apapun yang telah terjadi dalam
hidupnya, itu semua bukan salah Sam atau siapapun. Namun ada satu sisi dalam
dirinya yang mengakui betapa ia sungguh tak berdaya. Dan kini, ia hanya bisa
sayu menatap senja yang perlahan mulai kehabisan keindahannya. Malam. Merenggut
begitu saja keindahan senja yang hanya punya sedikit waktu untuk mempertemukan
rembulan dan sang surya. Lalu tiba-tiba, ada sesuatu yang dirasakannya aneh,
janggal dan tak wajar. “Loh, mati lampu?”
Gelap. Tak ada satu pun
terang cahaya yang menyala dalam redupnya senja yang mulai beranjak malam. Ini
mengingatkannya akan sesuatu. Atau lebih tepatnya, seseorang…
“Aku heran,” terdengar
seseorang berkata dan membuat hati Selena berdegup kencang. Ia kenal jelas
pemilik suara yang terasa begitu dekat dengan dirinya itu. Ada rasa ingin
berucap, namun seolah ada mantra yang mengikat lidah serta mulutnya hingga
terkunci dengan sempurna. Kaku. Ia sama sekali tidak bisa bersuara. Hatinya
berdegup labil dan parasnya memerah dalam gelapnya malam yang tanpa satu pun
penerangan. “Kenapa tiap kali kita ketemu, pasti mati lampu!” kata orang yang
tak lain adalah Sam.
Tiba-tiba ada sebuah
nyala cahaya. Sam menyalakan sebuah lampu senter dan mengarahkannya tepal ke
langit-langit tenda, hingga membiaskan warna merah keemasan dan membuat suasana
sedikit terang. Dan kini, Selena dapat dengan jelas melihat sosok Sam yang
telah duduk di hadapannya sambil tersenyum.” Sam?” akhirnya bibir Selena terbuka
dan mampu kembali bersuara. “Ini…” Selena menatapp takjub pada cahaya keemasan
yang ditimbulkan akibat benturan cahaya senter dengan tenda jingga.
“Sekedar buat
jaga-jaga…,” kata Sam. “Habisnya, aku nggak mau pertemuan kita diganggu lagi
sama acara mati lampu segala.”
Sam tersenyum, lalu
menjulurkan tangannya seperti saat pertama mereka bertemu. Namun kali ini
Selena sedikit ragu untuk menyambut tangan Sam. “Aku nggak tau apa alasannya,
tapi kayaknya emang butuh cara tersendiri buat bisa ketemu sama kamu Selena.
Iya, kan?”
“Sam. Aku…” bibir Selena bergetar. Ada banyak
sekali yang ingin dikatakannya, namun ia tak tahu harus dari mana ia
memulainya.
“Nggak masalah.” Kata
Sam. Membuat Selena tertegun dan angkat kepalanya, menatap sejurus pada Sam.
“Aku nggak begitu suka cerita tentang matahari yang jatuh cinta sama rembulan.”
Ucap pemuda itu lagi. “Dan jangan dilanjutkan dengan keduanya yang hanya bisa
bertemu saat gerhana. Itu cerita yang sangat menyebalkan, Selena. Tau kenapa?
Karena aku itu nggak suka dengan cerita cinta menyedihkan semacam itu. Dan
lagi… aku suka senja. Jadi jangan seenaknya ngrusak imej baik senja yang aku
suka itu dengan cerita kamu yang ─ barusan aku nyebutnya apaan?.”
Selena keluarkan tawa
kecilnya. Akhirnya, entah bagaimana ia bisa lepas dari kekakuan yang
membelenggunya. “Menyedihkan,” ujar Selena, membuat Sam kemudian berseru
spontan. “Ah, iyap. Bener banget. Menyedihkan…” Sam ikut tertawa. “Sangat
menyedihkan!”
Keduanya saling beradu
canda seputar senja untuk beberapa saat lamanya, sebelum akhirnya kemballi
saling diam. Bersama memandang langit-langit tenda yang nampak indah oleh
sorotan lampu senter yang Sam nyalakan. “Indah, kan?” ujar Sam. Selena
mengangguk perlahan tanpa menepiskann pandangannya. “Sam, aku…”
“Aku tau.” Sahut Sam.
Juga tanpa mengalihkan pandangannya.“Aku udah tau semuanya. Tentang Heli, juga
alasan kenapa aku selalu saja nggak bisa ketemu sama kamu.”
Muka Selena merona
merah. Kini ia bahkan tak sanggup bicara apapun. Hanya mampu pandangi wajah Sam
yang masih juga menengadah. Pandangan mereka akhirnya bertemu, setelah kemudian
Sam juga menatap sejurus ke arah Selena. Pemuda itu tersenyum lalu berkata,
“Yah, kita semua punya masalah. Dan itulah yang namanya hidup. Tapi kita selalu
punya pilihan, untuk terus maju atau diam dan tenggelam. Iya, kan?”
Selena diam. Kepalanya
tertunduk tanpa ekspresi, lalu sedikit terangkat dan menatap tak berkesiap
telapak tangan Sam yang masih menjulur terkembang menanti datangnya sambutan.
“Jangan dilupakan. Karena jadi seseorang yang dilupakan itu sakit sekali
rasanya. Dan aku akan coba menerima setiap hal yang menjadi bagian dari diri
kamu. Termasuk masa lalu yang menenggelamkanmu.”
Kepala Selena terangkat
lebih tinggi dan berhenti tepat di titik matanya bertabrakan dengan sorot mata
Sam. Mata gadis itu mengkristal, lalu mengalirkan sebening cairan hangat yang
menggaris sepasang pipinya yang halus. Tangannya menjulur dan meraih tangan
Sam. Keduanya tersenyum, membuka tirai malam yang kembali terang oleh
lampu-lampu yang berpendar bagai bintang yang menghias pertemuan mereka.
“Kamu tau nggak
Selena?”
“Apa?”
“Rasanya, sekarang aku
jadi makin suka sama senja. Bukan karena warnanya yang terlihat elok… bukan juga karena cerita
kamu yang nggak jelas itu. Aku suka senja, karena senja mempertemukan aku
dengan kamu, Selena.”
“Ya, aku juga, Sam.”
By: Hida
EmoticonEmoticon