Tidak semua tawa lahir dari sebuah canda. Karena terkadang fakta tak memberi
kita pilihan selain tertawa.
Dapat cerita dari salah satu teman
ngantor, bahwa siang kemarin salah seorang teman ada yang datang ke kantor
untuk mencari saya. Pak Linggar namanya. Pak Linggar dulu pernah juga satu
kantor sama saya. Lama nggak jumpa, Pak Linggar mendadak berkunjung ke kantor
dan kebetulan saya tidak sedang ada. Beliau tanya ke satpam jaga. “Pak, maaf
mau tanya. Teman saya yang gondrong masih sering datang ngantor nggak ya?”
“Oh, masih pak. Tapi semenjak dimarahi
teman saya, orangnya jadi jarang-jarang datang.” Tutur Pak Satpam jaga. “Waktu
itu teman saya kebetulan sudah ngantuk banget dan pengin istirahat. Eh malah
orangnya nekat manjat pagar terus ketok-ketok jendela.”
Teman saya cuma diam termanggut padahal
dalam hati heran bertanya-tanya. Baru juga Pak Linggar hendak beranjak, si
satpam sudah kembali berkata. Kali ini dengan muka tak kalah heran darinya. “Dia
kok bisa akses gratis terus, emangnya dia hacker?”
Sempat bingung mau jawab bagaimana,
akhirnya sambil tawa-tawa kecil Linggar berkata, “Oh, itu saya juga kurang tahu
pak.”
Malam itu saya datang belakangan, dan
langsung disambut tawa riuh rekan-rekan satu geng Demit. “Wah, hackernya
datang, hackernya datang...” seru mereka berlima. Dan saya cuma bisa bisa
cengengesan tak karuan. Tadinya saya pikir mereka tengah mengungkit dulu jaman
masih keren-kerennya trick hack facebook yang nyebar kenceng di mayaloka alias
internet. Tapi ternyata, ujung punya ujung mereka membicarakan tentang cerita
saudara Linggar atau yang biasa akrab disapa Mas Combro. Tentang berbincangan
kecilnya dengan Pak Satpam yang berakhir sebagai riuh canda di tempat kerja.
Bagaimana tidak jadi bahan candaan coba?
Pertama, karena ceritanya yang 180°
meleset dari kejadian yang sebenarnya. Dan kedua, karena menyangka saya seorang
hacker. Lalu ketiga dan selanjutnya, karena cuma saya satu-satunya yang kena,
sementara yang lain cuma nyumbang tawa.
Perlu flashback ke malam tiga bulan yang
lalu untuk memperjelas atau meluruskan faktanya.
Jadi ceritanya kita sudah berapa kali ngalamin mau masuk
kantor tapi gerbangnya dikunci dan Pak Satpamnya gak mau bukain. Padahal kita sudah
teriak-teriak manggil cuma si satpamnya tetep nggak dengar (baca: BUDEG). Walhasil, karena dongkol sudah berapa kali mengalami
sambutan enek demikian, akhirnya
nekat juga manjat itu pagar kantor (Mission
Imposible dimulai). Giliran sudah manjat dan sudah mau start job kita, eh
mendadak ada yang kepikiran buat bangunin itu satpam (positive
thinking) barangkali memang beneran merem (Atau mungkin beneran budeg).
Tok Tok Tok!
"Pak," kata saya sopan, ramah and keep calm.
"Bisa tolong bukain pintunya?"
Eh ternyata si satpam nggak budeg dan tidak juga sedang merem. Tengah asik nonton TV sambil ngumpet di samping Meja TV. Begitu melihat saya dan mendengar ucapan saya, langsung saja itu satpam melek dan mendadak hilang budegnya.
Eh ternyata si satpam nggak budeg dan tidak juga sedang merem. Tengah asik nonton TV sambil ngumpet di samping Meja TV. Begitu melihat saya dan mendengar ucapan saya, langsung saja itu satpam melek dan mendadak hilang budegnya.
"Tutup mas! Iya saya denger kok situ
manggil-manggil. Nggak ngurusin! Situ pada pernah beli voucher juga
enggak!"
DOOONK!!
Jadi masalahnya, adalah karena kita geng Demit tidak
pernah beli Voucher yang notabene, dengan kita beli voucher yang disediakan
satpam kita itu nyumbang Rp.1000,- per voucher buat dia. Mungkin uang kopi
istilahnya. Karenanya itu satpam menolak membukakan pintu ke kita. Dan jelas
sudah bukan karena itu orang budeg seperti yang selama ini kita kira. Karena saya
dan rekan-rekan tak pernah membeli voucher di pos satpam seperti yang dilakukan
orang-orang pada umumnya. Meski saya percaya, tak sedikit mereka-mereka yang
juga mengakses layanan kantor tanpa membeli voucher di pos jaga. Dan yang sulit
dipercaya justru adalah ketidaktahuan petugas jaga, hingga mengira saya seorang
hacker yang akhirnya sukses menjadikan saya bahan canda.
Kita Geng Demit memang tak pernah harus membeli voucher
untuk bisa mengakses layanan WiFi.id yang sepakat kita sebut kantor Demit alias
Demit Office. Tapi bukan berarti kita bebas biaya. Dan jangan cukup konyol
dengan ikut mengira kita kelompok peretas alias hacker seperti yang disangka salah
seorang petugas jaga. Karena dalam layanan kantor juga terdapat berbagai
fasilitas kemudahan akses selain menggunakan kode voucher. Ada dari kita yang
menggunakan pulsa sebagai ganti membeli voucher fisiknya, ada pula yang
megambil langganan satu bulan dengan harga jauh lebih terjangkau dari membeli
voucher secara eceran di pos jaga.
Dua tahun yang lalu tepatnya, ketika saya bertemu dengan
sahabat yang memperkenalkan saya pada layanan produk baru dari Telkom Indonesia
yang sampai sekarang ini telah mempertemukan saya dengan rekan-rekan hebat
saya. Walaupun saya sendiri tak ikut terbilang hebat seperti mereka. Dibandingkan
rekan-rekan kantor saya, saya cuma orang yang suka menulis namun mudah
teralihkan dan kurang fokus untuk berkarya. Jauh jika melihat rekan saya Susilo
yang selalu jago dalam grafik dan desain, Kokoh Anjar yang selalu bisa
diandalkan dalam blogging, Antonio dan Fier yang sukses mendulang dollar dari
pengelolaan video Youtube mereka. Belum lagi Mas Combro yang bisa dibilang
senior bagi kita semua. Dan oleh karena jam kumpul kita yang seringkali malam,
salah seorang dari kita menggagas nama Demit Telkom sebagai tajuk cerita
perjalanan kita dalam berkarya di Kantor tercinta, Wifi.id Kutowinangun,
Kebumen, Jawa Tengah. #IndonesiaMakinDigital
By: Hida
EmoticonEmoticon