Catatan Demit 04: Satu Gelas & Tanpa Bekas

Tags


Ada saja cerita di kantor kecil kami tercinta. Baru saja kemarin saya posting di akun inspirasi tentang ragam cerita menarik yang terjadi di kantor Demit, datang juga momennya. Namun sekali ini bukanlah momen lucu seperti sebelumnya. Sekali ini bahkan cukup menyayat hati saya sendiri. Dan apabila ada pesan yang bisa diambil dari cerita ini, adalah jangan meminum kopi di sore hari.
Kehilangan memang bukan hal yang baru dalam hidup saya. Lebih dari sekali saya kehilangan cinta, bahkan lebih sering lagi kehilangan rasa kepedulian orang lain terhadap saya. Namun setiap kali momen itu terjadi, rasanya tetap saja pahit di hati. Mungkin ada diantara seluruh manusia di planet ini, sedikit orang yang bisa cukup terbiasa dengan yang namanya kehilangan. Tapi saya bukan satu diantaranya.
Seperti yang saya bilang tadi, ini bukan cerita lucu dan menarik lainnya. Ini kisah pilu yang juga membuat pikiran terasa ngilu. Coba tebak?
Handphone saya hilang. Dan itu terjadi karena segelas kopi yang saya minum di sore hari.
Oke, mungkin kesannya kurang meyakinkan mengapa segelas kopi bisa membuat handphone saya lenyap secara tiba-tiba. Entah kemana larinya. Padahal saya merasa sama sekali tidak pernah menyakitinya. Bahkan rajin saya usap-usap kalau ada debu atau kotoran yang terlihat menempel di layar dan back casingnya. Tapi ini serius, saya benar-benar kehilangan handphone saya karena segelas kopi yang saya minum sore hari.
Mengantuk sudah jadi resiko aktifitas malam yang rutin hampir setiap hari saya dan teman-teman jalani di Kantor Demit. Mata dan tubuh seringkali tidak cukup kuat untuk mengimbangi semangat kerja yang menggila, katakanlah. Dan itulah yang terjadi saat kita bekerja sesuai dengan passion kita. Menikmati sesuatu seringkali membuat kita lupa pada hal-hal lainnya, seperti waktu dan batasan yang harusnya diperhatikan untuk menjaga tubuh tetap prima. Dan jujur, tak jarang saya mengantuk lalu tertidur ketika mata sudah tak lagi kuat untuk tetap bekerja. Dan handphone, leptop maupun segala aset yang kami bawa tergeletak begitu saja di atas meja. Namun selama lebih dari dua tahun bergelut di dunia perdemitan, istilahnya, baru sekali ini saya harus mengenyam kepahitan karena begitu mata lelap untuk sesaat, handphone telah lenyap ketika mata ini kembali terjaga dengan segala kepanikan yang kulemparkan sekenanya.
“Cah, hape. Hape gak ada. Hilang cah.” Aku berseru panik. Susi bergegas bangun dan tak kalah paniknya, segera memeriksa barang-barang miliknya.
Aku bisa mendengar nafas leganya, namun sesaat kemudian kembali ikut panik karena saya tak juga menemukan apa yang hilang dari atas meja. Hape, mi4i kesayangan saya, yang saya beli dengan segenap tabungan saya, lenyap begitu saja.
Seku sempat terduduk lemas, masih dengan panik dan stress yang perlahan menumpuk di kepala, sampai kemudian Susi menyarankan untuk mencari penanda lokasi dengan layanan google find my phone.
Brengsek!
Hape sudah dimatikan dan saya sama sekali tidak bisa mengetahui lokasinya saat ini. Tapi kami belum menyerah. Saya langsung masuk ke akun miCloud dan melakukan hal yang serupa, namun tetap dengan hasil yang sama. Akhirnya kami melakukan opsi terakhir, yakni dengan mengunci perangkat hape langsung dari miCloud. Berharap orangnya juga tak akan bisa melakukan apapun dengan hape saya di tangannya.
Tak menunggu lama, saya langsung menuju pos satpam untuk bertanya. Barangkali si saptam tahu siapa kiranya orang terakhir yang keluar dari kantor. Karena dilihat dari waktu perkiraan kehilangan yakni antara pukul setengah empat sampai pukul setengah lima, dan hanya ada empat orang termasuk saya dan Susi teman saya. Yang berarti ada dua orang yang masuk sebagai tersangka. Oh, rasanya bersyukur sekali saya termasuk salah satu yang gemar banget baca manga dan nonton anime Detective Conan, Sherlock Holmes dan cerita apapun yang berbau misteri.
“Waduh, gak paham loh mas. Barusan saya pas lagi ke belakang.” Ujar satpam item mungil yang kalau gak salah, namanya Rifki. Pernah saya baca papan nama di seragamnya.
Huff
Masih beruntung bukan si Mugikere yang jaga. Bisa ditebak dari koneksi yang lancar sampai pagi tanpa kendala. Tapi mungkin lebih baik kalau malam itu si Mugi yang jaga barangkali. Karena Aku tidak akan cukup lama berada di kantor hingga harus kehilangan hape pada akhirnya. Tapi berpikir jauh ke belakang, itu merupakan satu dari sedikit waktu saya tertidur di jam segitu. Biasanya saya tidur di kantor sekitar pukul sebelas sampai jam satu lalu terjaga sampai paginya. Tapi karena segelas kopi yang saya minum sore harinya, mata ini jadi tetap terjaga sampai akhirnya lelah di jam yang seperti biasanya. Ironisnya, baru malam sebelumnya saya dan Susi sama-sama ketiduran dan segalanya nampak gelap begitu kami kompak bangun setelahnya. Lampu dimatikan oleh entah siapa padahal langit masih tetap bersandar pada pekatnya malam. Dan saat itu saya berkata, “Kalau mau tidur bilang saja cah, biar nanti kita gantian tidurnya.”
Dan... BAMM! Malam berikutnya kita justru kecolongan. Mungkin bagi kebanyakan orang minum kopi jam berapapun itu tidak masalah. Kata beberapa teman sih, kopi sama sekali tidak berpengaruh terhadap jam tidur mereka. Kapanpun mereka minum kopi, mereka akan tetap tertidur kalau sudah saatnya mereka mengantuk seperti mereka tak mereguk kafein sama sekali. Tapi sayangnya hal yang sama tidak berlaku buat saya. Karena terakhir kali saya minum kopi malam hari, saya harus tetap terjaga sepanjang malamnya. Dan saya harus tetap bangun dan terjaga untuk mengantar bapak ke tempat kerjanya keesokan harinya.
Hoam...



By: Hida

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon