Hari
mulai beranjak sore, daun-daun
melambai tertiup semilir angin yang kian dingin di rantingnya, sementara langit
perlahan menguning tanda senja sebentar lagi tiba. Dan Sheila masih sibuk di
depan meja kerjanya, di tengah ruang kantor yang hanya tinggal dirinya dan
setumpuk pekerjaan yang belum juga membiarkannya istirahat dan pulang. Ingin
sekali rasanya gadis itu melempar semua yang ada di depan matanya lalu
menghambur entah kemana. Sudah lebih dari lima menit matanya fokus melihat
ponselnya, menanti balasan sms dari Wawan yang tak juga ada kabar seharian.
Hatinya wasawas tak keruan, pikirannya sulit untuk fokus pada pekerjaan dan
itulah alasan mengapa ia masih duduk di kursi kerjanya saat yang lain telah
pulang ke rumah mereka masing-masing. Belum lagi tiga surat undangan pernikahan
yang diterimanya pagi tadi, yang artinya ia harus merogoh kantong untuk tiga
kali kondangan yang dalam sebulan ini telah cukup menguras keuangannya.
“Pengeluaran melimpah ruah, wah, wah
wah...” tulisnya pada akun facebooknya kala itu. Sebagai guru yang masih
berstatus wiyata, harus menghadiri acara kondangan lima kali dalam satu bulan
itu sungguh berat baginya. Belum lagi masalah yang harus ia hadapi seiring
bertambahnya usianya pada bulan lalu, dengan kado termegah sebuah pertanyaan
dari ibu dan ayahnya. “Kapan?”
Sebuah pertanyaan yang sederhana namun
berkesan luar biasa bagi gadis seumuran Sheila yang hampir dua tahun
merampungkan pendidikan S1-nya. Sementara kedua orang tuanya telah
terang-terangan menentang hubungannya dengan Wawan. Dan sudah lebih dari dua
minggu ia merasa kalau hubungannya dengan Wawan sedikit renggang.
Sheila nyaris geram menunggu namun tak
juga ponselnya berdering untuknnya, Wawan tak juga membalas kesepuluh pesannya
hari ini. Rekor baru, kemarin empat kali Sheila sms baru Wawan balas dan
lusanya lagi enam kali sms baru Wawan memberinya tanggapan dan itupun singkat.
Semua bermula ketika malam dua minggu
yang lalu salah seorang sahabat ayahnya berkunjung ke rumah Sheila. Hujan cukup
deras ketika itu, dan ibunya menyuruhnya menyajikan kopi untuk sahabat ayahnya
yang bernama Pak Maring.
“Oh, Sheila. Sudah besar sekarang ya?”
ujar Pak Maring sembari tertawa kecil. Sheila yang tak merasa mengenalnya
memasang wajah heran di balik senyum ramahnya. “Kamu pasti gak ingat, kan? Dulu
saya itu sering kesini. Waktu kamu masih SD kalau gak salah. Masih imut-imut
beringus pokoknya. Lah kok sekarang malah sudah jadi cantik gini...” Ujar Pak
Maring lalu ganda tertawa. Sheila cuma bisa mengangguk canggung lalu permisi
kembali ke kamarnya. Kembali asyik bersms ria dengan Wawan kekasihnya. Bercanda
dan saling bercerita mesra serasa mereka duduk bersama. Namun lamat-lamat
pembicaraan antara ayahnya dan Pak Maring mengusiknya.
“Jadi bagaimana? Apa kita langsung atur
saja hari dan tanggalnya?” kata ayah Sheila.
Suara mereka memang tidak cukup jelas
terdengar hingga Sheila terpaksa menempelkan telinganya diantara sela-sela
pintu agar lebih bisa menangkap pembicaraan keduanya. Pak Maring menjawab,
“Jangan buru-buru begitu, Tam. Kenapa gak kita atur saja dulu biar keduanya
bisa ketemu. Dan lagi, kita juga harus membicarakan ini dulu dengan anak-anak
kita biar ke depannya gak ada masalah.”
“Alah kalau soal itu sih, gak usah
dipikirkan, Maring. Anakku pasti setuju. Sheila itu selalu nurut sama omongan
bapaknya. Santai saja.”
Sampai di situ, Sheila mulai merasa
tidak enak dengan arah pembicaraan keduanya. Dan semakin ia mendengarkan
semakin hatinya serasa sakit tak terbilang. Jatungnya berdegub kencang dan
matanya tak lagi kuat menahan butiran-butiran hangat yang membuat pipinya
basah. Baru ketika Pak Maring telah berpamitan, Sheila beranikan diri keluar
dari kamarnya dan menghadap ayahnya.
“Pokoknya Sheila gak mau!” ujar gadis
itu lantang. Namun ayahnya terlihat tak
begitu peduli dengan yang diucapkan putri tunggalnya. Ia berlalu begitu saja
dari hadapan Sheila. “Ayah itu gak berhak menentukan siapa yang ingin Sheila
nikahi.”
Dan tiba-tiba, sesuatu melayang disusul
bunyi pecah yang cukup keras.
PYAARRR!
Sheila terkejut setengah mati dan bungkam
seketika. Dipandanginya pecahan gelas yang berserakan di dekat kakinya. Belum
pernah ia melihat ayahnya semarah itu sampai memecahkan sesuatu. Dengan suara
yang membahana ayah Sheila kemudian berkata, “Kamu mau menikah sama tukang
lukis yang gak jelas itu. Iya!? Memang apa yang bisa si Wawan kasih ke kamu
dengan lukisan-lukisan dia yang gak pernah laku itu, Sheila? Mau dikasih makan
apa kamu sama dia, hah!?
“Ayah melakukan ini karena sayang sama
kamu. Karena peduli sama masa depan kamu, Sheila. Jadi diam dan ikuti apa kata
ayah. Mengerti kamu!?”
Selama dua hari Sheila terus dipusingkan
dengan keputusan sepihak yang dilakukan ayahnya. Belum lagi ibunya juga
mendukung pilihan ayahnya dan membuat situasinya semakin terpojok hingga tak
punya pilihan selain mengangguk mengiyakan. Dan karena itulah hubungannya
dengan Wawan menjadi kacau seketika. Bahkan walaupun Sheila telah coba
menjelaskan bahwa ia berkata setuju hanya sekedar untuk menenangkan situasi di
rumahnya, hubungan mereka tak lagi setenang sebelumnya. “Aku berkata seperti
itu, itu cuma agar ayah sama ibu itu gak berisik terus tiap hari bahas
persoalan yang sama melulu tiap saat. Tiap berhadapan muka sama anaknya yang
sudah jelas-jelas gak ingin dijodohkan. Ini tahun berapa dan abad berapa semua orang
juga tahu. Perjodohan itu sudah gak jamannya lagi dibudayakan. Tapi ayah sama
ibu tetap saja kolot!”
“Tapi bersamaan dengan itu, giliran kamu
yang nyakitin perasaan Aku, Sheil.” Ujar Wawan. “Dan justru itu yang paling
sakit. Gak peduli entah kamu berpura-pura atau memang sudah niat kamu buat
menerima perjodohan itu.”
“Tapi Wan...” Sheila tak mampu membalas
ucapan Wawan. Tidak dengan raut muka sedih yang diperlihatkan kekasihnya saat
itu. Rona yang melukiskan perasaan Wawan dengan sempurna, meski tanpa
sedikitpun tinta yang menjelaskan isi hatinya.
Dan semenjak itu, Wawan tak lagi mau
mengangkat telpon dari Sheila, bahkan sms pun tak selalu dibalasnya. Pemuda itu
terus saja melukis dan melukis, menumpahkan semua pekat yang meliuk-liuk di
hati dan pikirannya.
Memang sudah sejak lama hubungannya dan
Sheila tak mendapat restu dari kedua orang tua Sheila. Namun Wawan berpikir,
selama Sheila percaya padanya, pada apa yang bisa dicapainya untuk cinta
mereka, apapun kan dilakukannya untuk bisa terus bersama dengan wanita yang
begitu dicintainya. Wawan sangat sadar bahwa sekedar cinta tidak bisa memberi
mereka kehidupan yang mereka inginkan. Sekedar cinta tidak serta merta memberi
mereka makan yang cukup tanpa adanya usaha nyata untuk mendapatkan itu semua.
Terlebih dengan cara pikir kedua orang tua Sheila yang menganggap dirinya orang
tak berkecukupan. Bahkan gelar sajarana yang didapatnya dengan susah payah
selama empat tahun, belumlah cukup untuk menjamin Pak Tamim akan merestui
hubungannya dengan anaknya. Apalah arti sebuah gelar besar jika mencari restu
cinta saja ia tak kuasa? Uanglah gelar yang sesungguhnya. Setidaknya itu yang
menjadi pakem orang-orang di desanya, termasuk orang tua Sheila. Bahkan
keluarga Wawan sendiri pun memandang dirinya sebelah mata karena tak memiliki
penghasilan yang cukup untuk membuat mereka bangga.
Meski marah dengan sikap Sheila,
diam-diam Wawan pun mencari tahu perihal laki-laki yang dicalonkan ayah Sheila.
Pak Maring yang disebutkan Sheila ternyata orang yang cukup terpandang di kota
mereka dan merupakan pemilik sebuah yayasan sekolah bernama Gardena BoardingSchool yang cukup terkenal diantara semua sekolah swasta bahkan negeri
sekalipun. Dan anak laki-lakinya, bekerja sebagai guru sekaligus pengawas di
sekolah yang dibesarkan oleh ayahnya tersebut.
“Haaah,” Wawan bersandar di kursinya
dengan nafas berat terhembus dari mulutnya. Dibiarkannya segelas es kelapa muda
pesanannya tetap di mejanya, hingga buliran-buliran air es menyentuh dan
membasahi meja bagian bawah gelasnya. Cukup lama terdiam, Wawan kemudian
mengambil ponselnya dan melihat beberapa hasil lukisannya yang sempat ia jepret
untuk disimpan di galeri. Didi sahabatnya mencoba menghiburnya namun sia-sia,
Wawan sama sekali sedang dalam kondisi tak bisa diajak bercanda.
“Mba Sri, lemon tea tambah lagi satu,
ya.” Seru Didi, meminta gelas keduanya sementara gelas Wawan masih saja tak tersentuh.
Bahkan kini pemuda itu justru membenamkan separuh wajahnya ke meja.
“Kamu tahu, Di?” ucapnya tiba-tiba,
masih dengan kepala terbenam di atas meja. “Si Akbar itu, ganteng. Sudah begitu
dia itu punya apa yang gak pernah aku miliki, Di. Yang mungkin gak akan bisa
Aku kasih ke Sheila.
“Kamu tahu apa itu, Di?”
Didi hanya menggeleng, sambil berusaha
tetap menikmati lemon tea-nya.
“UANG!” sahut Wawan. Kepalanya mendadak
terangkat dan pemuda itu perlahan tertawa.
“Hush, jangan gitu, Wan. Gak semua bisa
kebahagaiaan itu bisa dibeli dengan uang loh. Kan kamu sendiri yang pernah
ngomong gitu?”
Didi sampai merasa tak enak, orang-orang
di sekitar mereka mulai melihat ke arah mereka karena terusik suara tawa Wawan.
Didi cuma bisa nyengir dan beringsut malu, namun tiba-tiba seseorang menabrak
kursi tempatnya duduk.
“Eh, maaf, maaf.” Kata orang tersebut.
Didi yang sempat terkejut rupanya mengenal orang tersebut dan langsung
menyapanya.
“Pak Azka, kok bisa ada di sini?” tanya
Didi.
“Loh, kamu ternyata Di?” sahut orang
bernama Azka tersebut. Keduanya kemudian sama tertawa dan saling bersalaman.
Mereka sempat berbasa-basi sebelum akhirnya Azka berlalu pergi menuju tempat
duduknya. “Sudah dulu ya, Di. Itu saya sudah ditunggu sama teman-teman saya di
meja sana. Dulu waktu masih SMA saya sama teman-teman kan rajin nongkrong di
sini, jadi kita memutuskan untuk mengadakan reuni di tempat ini hitung-hitung
sedikit bernostalgia.”
“Oh, pantes.” Kata Didi, lalu Azka pun
berlalu dari hadapan mereka.
“Siapa sih?” tanya Wawan. “Kalau sering
nongkrong di sini, berarti kemungkinan kita satu SMA.”
“Namanya Azka. Dia itu dokter langganan
ibu. Kalau di rumah ada yang sakit, pasti ke dokter Azka periksanya. Dan setahu
aku dia memang kakak kelas kamu di SMA sih, Wan. Cuma beda jauh saja
angkatannya. Eh, iya. Aku dengar dari ibu katanya dia juga ada masalah yang
sama kayak kamu loh, Wan. Orang tuanya berniat menjodohkan Pak Azka sama anak
sahabat ayahnya.”
Baca cerita lengkap Dr. Azaka dalam (Kemelut Cinta Nalia)
Baca cerita lengkap Dr. Azaka dalam (Kemelut Cinta Nalia)
Tapi Wawan sama sekali tak
mengindahkannya. Bahkan mungkin tak lagi didengarkannya. “Masih muda, dokter
pula...” gumamnya, kembali tenggelam dalam kemuramannya.
Di
lain tempat, keadaan Sheila pun tak jauh lebih baik. Sementara hubungannya
dengan Wawan tak juga membaik, ayahnya dan Pak Maring diam-diam telah mengatur
pertemuan antara Sheila dan putra Pak Maring, Ali Akbar.
“Panggil Ali boleh, Akbar juga boleh.”
Kata putra Pak maring, memperkenalkan dirinya dengan sopan. Wajahnya bundar dan
tubuhnya sedikit berlemak dengan rambut cepak keriting dan kacamata bertengger
di atas hidungnya. Sama sekali lain dari yang Sheila bayangkan tentang sosok
putra Pak Maring yang meski sudah separuh baya namun masih terlihat gagah dan
sesigap anak muda.
Sesuai ucapan ayahnya, Sheila pun menurut
ketika Ali yang lebih suka dipanggil Akbar itu mengajaknya berkeliling kota
dengan mobilnya. Meski begitu, Sheila tak banyak bicara sepanjang perjalanan.
Hanya menjawab pertanyaan Akbar atau menyahut seperlunya dan diam selebihnya.
Dengan sikap Sheila yang seperti itu,
Akbar hanya tersenyum kemudian terawa kecil yang tentunya membuat Sheila heran
bahkan sedikit ilfeel. “Sepertinya benar dugaan Aku selama ini. Sebenarnya kamu
gak setuju kan dengan rencana perjodohan kita?
Sheila sesaat melirik tajam ke arah Akbar,
seperti tadi, laki-laki di sampingnya itu membalasnya dengan senyum dan tawa
kecilnya. Sheila membuang mukanya, kembali memandang lurus ke depan, lalu
berganti ke lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki yang dilewati mobil mereka.
Sheila hembuskan nafasnya dalam sekali
ledakan. Terbaring lemas menatap langit kamarnya yang tentu saja tak
berbintang. Bukan rembulan, hanya pijar lampu 5 Watt temannya menghabiskan sisa
malam hampanya tanpa kabar kekasihnya. Dia juga tak bisa begitu saja bercerita
kalau seharian jalan dengan Akbar sebagai perkenalan awal mereka.
Dan di tengah segala rasa lelah yang
menyerangnya, datang chat dari sepupunya. “Jadi gimana kencan perdananya, Sheil?”
kata Satriani yang belakangan memang hobi banget meledeknya soal rencana perjodohannya.
Sheila hanya tertawa satir, enggan
meladeni sepupunya yang kalihatan hepi banget melihatnya susah. “Ulin cantik,
kamu ini kalau gak mau bantu mendingan diam, deh. Aku benar-benar capek dengan
semua ini dan gak tahu harus gimana. Wawan juga dari kemarin belum balas chat
Aku. Jadi plis jangan buat Aku makin pusing, oke?”
Sheila nampak kecewa. Ia sempat berharap
bahwa yang masuk tadi balasan chatnya dari Wawan.
“Sebenarnya gampang kok Sheil. Kamu
tinggal bilang saja ke cowok itu, cerita kalau kamu itu sebenarnya gak mau
dijodohin. Masa iya itu cowok masih tetep ngotot nikahin kamu kalau tahu kamu
itu gak setuju dengan rencana perjodohan kalian.”
“Ya, memang gampang. Dan masalahnya, itu
cowok kucrut sudah tahu kalau aku itu sebenarnya gak setuju dengan semua
kegilaan ini. Dan dia cuma ketawa gak jelas nanggepinnya.” Tandas Sheila.
Hari berlalu berganti minggu dan
hubungannya dengan Wawan tak juga kembali seperti dulu. Sementara Akbar tetap
coba mendekatinya meski selalu tak diacuhkannya. Segala chat yang dia kirim tak
satu pun Sheila membalasnya, bahkan kegigihannya justru semakin membuat risih.
Meski begitu Sheila sama sekali tak bisa berkutik tiap kali si Cowok kucrut itu
datang ke rumahnya. Apalagi kalau bukan karena campur tangan ayahnya yang
selalu memojokan Sheila. Dan Sheila, terlalu takut untuk berkata tidak di
hadapan ayahnya. Cukup satu kali malam itu saja Sheila melihat kemarahan
ayahnya. Belum lagi ibunya yang juga mendukung keputusan ayahnya. Dan
ujung-ujungnya...
“Aku yang gak bisa kalau begini terus,
Sheil. Memang menurut kamu gimana perasaan aku waktu aku lihat kamu, cewek aku
jalan sama cowok lain. Bayangin Sheila!
“Hancur tahu, gak? Dan mungkin kamu gak
akan pernah mengerti bagaimana rasanya. Oke ayah kamu benar. Aku gak punya
apa-apa yang bisa menjamin aku bisa bahagiain kamu, Sheil. Karena bahkan buat
makan sendiri saja aku masih bergantung sama keluargaku.”
Sayangnya hari tidak sedang hujan, tidak
pula ada kumpulan awan petir bergumul di memainkan gaduhnya. Hari itu
benar-benar cerah. Matahari bersinar dengan riangnya dengan barisan awan
berarak membentuk pola terindahnya. Dan siapa mengira di hari yang benar-benar
sempurna itu justru harus ada sebaris kalimat pilu yang menyakitkan. Sebaris
kalimat yang terlalu sedih untuk diucapkan, namun terlalu sakit untuk tetap
dibiarkannya terpendam. Perdebatan kecil mereka siang itu, ternyata harus
berakhir dengan satu kalimat dari Wawan yang meruntuhkan segenap harapan yang
selama ini masih terus coba Sheila pertahankan.
“Kita sudahan ya, Sheil...”
Usai
berkata demikian, Wawan pergi menghilang entah kemana. Yang pasti membawa
segenap pilunya dan meninggalkan Sheila dengan setiap keping laranya. Gadis itu
bahkan tak kuasa menghentikan laju air matanya. Suaranya terisak sepanjang ia
mengemudikan motor matiknya. Dan di tengah kacaunya perasaannya itu, Akbar
muncul tepat di saat Sheila melewati pintu depan rumahnya.
“Sheila, kamu kenapa, Sheil?” tanya
Akbar panik. Namun kekhawatirannya hanya berbalas sikap dingin Sheila.
“Ini semua karena kamu tahu, gak!?”
Sheila berkata lirih menahan perih. Tangannya mengepal geram sementara matanya
masih tak hentinya berlinang. “Dan kamu masih saja datang ke sini. Gak tahu
malu.”
“Jaga ucapan kamu, Sheila!” ayah Sheila
geram mendengar perkataan anaknya. “Dia ini calon suami kamu. Dan kamu tahu
itu!”
Akbar diam tak berkutik. Sheila pun tak
berkata apa-apa lagi. Hanya memperlihatkan wajah sedihnya lalu bergegas masuk ke
kamarnya.
Tiga hari berlalu sejak saat itu. Tiga
hari pula Sheila terus menerus mengurung diri di kamarnya. Tak terhitung berapa
kali ia coba menghubungi Wawan namun tak juga Sheila menemukan harapannya. Ulin
yang mendengar kabar tentang akhir hubungan sepupunya dengan Wawan berkunjung
dan coba menghiburnya, tapi Sheila tetap mendekam dalam lingkaran pilunya.
“Mau sampai kapan sih Sheil, kamu gini terus.
Nanti malah sakit loh...”
Sheila terkekeh. “Memangnya ada yang
peduli kalaupun Aku sakit, Lin?”
“Ya jelas ada, Sheila. Memangnya kamu
pikir Aku datang ke sini itu buat apa?”
“Bukannya buat minta duit arisan?” sahut
Sheila yang langsung Satriani balas dengan senyum lebar.
“Sekalian kan gak salah, Sheil...”
celetuknya lalu nyengir dengan lugunya. “Ya sudah. Pokoknya Aku gak mau kamu
terus-terusan ngurung diri dan sedih begini. Kamu harus setrong Sheila. Wake
up. Buka jendela dan lihat itu di luar.
“Dunia masih belum berakhir. Kehidupan
gak bakalan berhenti hanya karena satu kesedihan di hidup kamu, Sheil.”
Dan untuk pertama kalinya dalam tiga
hari terakhir, kamar Sheila akhirnya kembali tersentuh hangat mentari yang
masuk dari jendela yang Ulin buka. Sheila bangkit dan melempari sepupunya itu
dengan sebuah bantal. “Gila, silau tahu!”
Keduanya lantas sama tertawa dan perang
bantal pun tak terelakkan. Pak Tamim yang mendengar suara gaduh dari kamar
putrinya sempat terkejut dan hampir menumpahkan kopinya. Namun sesaat kemudian,
senyum lebar tergaris di wajahnya dan kopi disruput pula dengan khidmatnya.
“Jadi akhirnya kalian putus juga?”
“Ya, kita putus. Dan sebagai informasi
tambahan, itu semua berkat kamu dan ayah kamu yang sudah saaangat berjasa dalam
merusak hubungan kita.
Akbar nampak tak percaya. Meski begitu,
Sheila mengatakannya dengan santainya sambil menikmati milk shake coklatnya.
Bahkan dari semenjak ia berkunjung ke rumah Sheila, sebenarnya Akbar telah
merasakan ada yang berbeda dengan diri Sheila. Gadis itu nampak lebih ramah
dalam menyambutnya, bahkan terlihat senang ketika diajaknya jalan.
“Hmm, tapi bukan berarti posisi kamu
sudah aman ya,” lanjut Sheila. “Karena kalaupun sudah putus, terus terang
perasaanku ke Wawan masih sama. Yah, sedikit beda sih. Tapi masih cinta.
Lagian kita bubaran bukan atas dasar
kemauan kita sendiri kok. Dan justru harusnya aku makin benci ke kamu loh.”
“Lantas? Mau kamu apa sebenarnya Sheil?”
tanya Akbar. Matanya menatap tak berkesiap pada gadis yang seharusnya menjadi
calon bakal istrinya itu, seolah tidak ada satu pun yang ingin dilewatkannya.
“Mau aku sih dari awal juga sudah jelas.
“Aku mau kamu berhenti berharap aku akan
ada rasa ke kamu, Akbar. Dan di sini justru kamu satu-satunya orang yang gak
jelas maunya apa.
Sheila singkirkan gelas minumannya,
melipat kedua tangannya di depan dada dan balas menatap lelaki di hadapannya.
Hari ini gadis itu terlihat berani dan penuh nyali. “Dengan segala sikap
penolakan aku selama ini, serta semua perlakuan aku ke kamu, mengapa kamu masih
tetap berharap aku mau jadi istri kamu?
“Kamu mapan. Dan biarpun tampang kamu
kurang tampan... aku yakin kamu gak akan kesulitan cari cewek yang mau sama
kamu dan bahkan jauh lebih cantik dari aku. Tapi kamu tetap gigih ngejar aku.
Atau jangan-jangan kamu anggap semua ini cuma permainan yang harus kamu
menangkan, gitu?”
Keduanya saling pandang dalam diam untuk
beberapa detik sebelum akhirnya Akbar membuka suara menjawab perkataan Sheila.
“Cerita yang menarik. Buat film atau semacamnya dengan skrip seperti yang kamu
katakan barusan. Kamu mungkin bisa dapat oscar, Sheila.
“Dan sepertinya, dalam cerita ini aku
lah sang tokoh jahatnya. Tapi kamu salah, Sheil. Karena satu-satunya tokoh
jahat dalam cerita kamu mungkin adalah diri kamu sendiri.”
Usai berkata seperti itu, Akbar bergegas
bangun dan melenggang pergi. “Kita pulang Sheil. Minuman kamu juga sudah habis,
kan?”
Akbar coba tetap tersenyum dan tetap
cuek pada Sheila yang bertanya penasaran mengenai maksud ucapannya. Gadis itu
baru diam setelah lebih dari dua km perjalanan mereka dan Akbar tetap tak
memberinya penjelasan yang dimintanya. Hanya saja, ketika mereka sampai di
depan rumah Sheila, Akbar berkata, “Hei, Sheila. Sesekali membiarkan tokoh
jahat menang dan bahagia mungkin akan jadi akhir cerita yang menarik. Jadi,
good luck, yah.”
Sheila masih tetap tidak mengerti maksud
ucapan Akbar. Dan sebelum gadis itu sempat bertanya kembali, Akbar telah mulai
melaju dan meninggalkan halaman rumahnya. Bagi Akbar, uang memang bukan masalah
seperti kata Sheila. Mungkin ia bisa mendapatkan cewek mana pun yang jauh lebih
baik. Dan kata-kata itu keluar dari orang yang benar-benar tulus dicintainya.
Pada Akbar yang tanpa sepengetahuann Sheila, semula juga menentang keputusan
ayahnya dalam rencana perjodohan mereka. Namun Akbar berubah pikiran begitu
bertemu Sheila.
Sebelumnya, ketika menghadiri rapat
pengadaan lomba antar sekolah yang dilakukan di Gardena Boarding School, Akbar
kebetulan melihat Sheila yang tengah menunggu perwakilan dari sekolahnya yang
ikut menghadiri rapat. Saat itu, dilihatnya Sheila yang dengan mudahnya bergaul
dengan anak-anak dari kelas penyandang cacat keterbelakangan mental. Dan saat
itu pula Akbar jatuh cinta. Karenanya meski tahu Sheila tak setuju dengan
perjodohan mereka, Akbar tetap mencoba bertahan dengan segala bentuk penolakan
Sheila. Bahkan meski tahu Sheila telah memiliki seorang kekasih, Akbar tetap
menginginkan kesempatan untuk bisa mendapatkannya. Tapi saat mendengar
berakhirnya hubungan Sheila dan kekasihnya, dalam hati Akbar merasa bersalah
dan kehilangan niatnya untuk melanjutkan perjodohan mereka. Dan dengan tuduhan
yang dilontarkan Sheila terkadapnya, rasa bersalah itu lenyap seketika.
Berganti pilu yang berbalut sesak di dadanya. Pikirnya, semua orang sama
inginnya memperjuangkan cinta mereka, hingga tanpa sadar menorehkan dalamnya
luka. Luka yang ia torehkan pada Sheila dan kekasihnya, serta luka yang juga
dirasakannya, semua lahir dari rasa ingin memperjuangkan cinta masing-masing
mereka. Karenanya Akbar menyebut Sheila sebagai tokoh jahat dari cerita mereka.
Karena bahkan setelah kebersamaan mereka yang mungkin tak begitu lama, Sheila
tak bisa melihat betapa Akbar sungguh mencintainya dan justru melukainya. “Kesempatan
yang sama, mungkin memang tidak datang pada cinta yang berbeda,” gumam Akbar
seiring laju mobilnya meninggalkan Sheila yang berdiri keheranan dengan yang
dikatakannya sebelum mereka berpisah.
Satu pekan berlalu dan akhirnya Wawan
setuju untuk bertemu. Lebih dari sepuluh menit mereka hanya duduk saling diam
di meja mereka. Bahkan Mba Sri, selaku pemilik Kedai Asri pun sempat bingung
dengan yang dilakukan kedua pelanggannya tersebut.
Lama tak ada yang membuka suara diantara
keduanya, Sheila kemudian mengulurkan tangannya. Wawan yang tidak mengerti
maksud Sheila pun akhirnya turut mengulurkan tangannya. Keduanya berjabat
tangan dan Sheila berkata, “Namaku Sheila.”
“Kurniawan, panggil saja Wawan.”
Keduanya tersenyum dan perlahan
percakapan pun mulai terjalin diantara keduanya. Mba Sri cuma geleng-geleng
melihatnya. Demikian pula dengan Ulin Satriani yang diam-diam mengikuti
sepupunya dan sengaja duduk agak jauh dari keduanya.
“Jadi kita mulai dari awal lagi?”
Baca juga cerpen menarik lainnya: (Aku Bukan Nurbaya), (Hulu Telinga Muara Cinta), (Cinta Tanpa Nama), (Diary Cinta Adiana)
By: Hida
EmoticonEmoticon