Bukan Salah Cinta Memilih Siapa

Tags

“Kehidupan gak bakalan berhenti hanya karena satu kesedihan di hidup kita,” sampai sekarang aku masih tak percaya kalau semua itu  keluar dari mulutku. Pun dengan beranggapan bahwa setiap orang punya masalah. Dengan harapan semua itu pun dapat memicuku dalam menghadapi lembaran kisahku yang sebenarnya juga tak bisa disebut indah dan tanpa masalah. Karena di saat yang sama aku pun tak jauh berbeda. Dan yang membuatku seringkali ironis tertawa, adalah justru karena sebagian kisah sedih yang pernah aku temui hampir semua berakar dari cinta. Beberapa lebih parah karena keluarga, seperti yang terjadi pada sepupuku. Bahkan aku sendiri.
Lahir dalam keluarga dimana semua orang yang kau kenal tumbuh menjadi sesuatu yang dianggap membanggakan itu tidaklah mudah. Aku sudah berusaha sekeras yang kubisa untuk bisa berada di lantai yang sama dengan dua kakakku, mereka yang selalu dibanggakan ayah kami karena berhasil mengikuti jejak beliau yang dulunya seorang pengajar, sebelum akhirnya dilantik jabatan menjadi seorang Kepala Sekolah. Namun batasku jauh lebih jelas terlihat dari yang kutakutkan. Aku gagal lulus Ujian Masuk Universitas. Dan di garis akhir itu, tak satu pun yang mengingat betapa gigihnya aku berusaha, sendirian aku berdiri tanpa satu pun dari mereka memberiku keberanian untuk kembali mencoba.
Dan di sinilah aku. Berdiri dengan satu-satunya hal yang kusukai bahkan dari semenjak aku kecil. Ayah dan ibu selalu kurang suka ketika aku lebih mementingkan hobiku memotret tinimbang bergelut dengan segala buku mata pelajaran sekolahku atau mengerjakan PR-ku. Dan percayalah bahwa kita tak pernah tahu kemana hobi akan membawa langkah kita jika kita serius menekuninya. Karena bahkan kamera mempertemukanku dengan seseorang yang untuk pertama kalinya dalam hidupku, memberi rasa yang melebihi segala yang pernah kurasakan sepanjang hidupku.
Sebut saja Heru. Begitu cara dia memperkenalkan dirinya di sebuah meetup komunitas pecinta lensa yang kuhadiri di Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Sebuah kedai Es Krim dan Waffle yang disepakati sebagai titik berkumpul kami.
Cuma pertemuan biasa yang jujur sama sekali tak meninggalkan feel apapun saat itu. Namun pekerjaan dan hobi yang sama membuat kami beberapa kali bertemu setelahnya. Usia kami terpaut cukup jauh, tapi siapa peduli pada hal semacam itu di jaman sekarang ini? Dan ketika akhirnya kami kembali bertemu di Twin Brother, Kedai Es Krim tempat pertama kali kami bertemu, Heru menyatakan perasaannya. Lewat waffle dan Es Krim yang dihias sedemikian rupa hingga tak ada wanita yang terlalu bodoh untuk tidak mengerti maksud semua itu.
“Kamu serius, Heru?”
“Belum pernah seserius ini, Ul. Jauh-jauh booking tempat, nyiapin ini semua dan cuma buat kamu. Karena kamu, Ulin.
“Kamu boleh bilang tidak. Dan terus terang aku gak bakalan cukup siap buat mendengar kamu menjawabnya. Tapi aku tetap melakukan ini semua, Ul. Karena aku sayang kamu, karena aku gak tahu perasaan kamu dan inilah momen yang seharusnya gak boleh aku lewatkan untuk mengatakannya. Untuk tahu gimana perasaan kamu.”
Dia orang biasa, dengan kehidupan yang bagiku cukup istimewa sebenarnya. Karena sebagai penggelut hobi dan pekerjaan yang sama, Heru jauh lebih mengerti aku bahkan dari kedua orang tuaku sendiri, dari keluargaku sendiri. Sudah cukup lama Heru masuk dalam kehidupanku. Lebih dalam bahkan dari yang mungkin dia pikirkan.
Setelah sikap dingin semua penghuni rumah karena kegagalanku masuk universitas, saat itu aku sadar bahwa semua yang aku perjuangkan selama ini salah. Aku bersusah payah belajar dan melakukan banyak hal yang sebenarnya tidak aku sukai, demi apa? Demi orang-orang yang bahkan buta dari segala yang terpapar di depan mereka. Orang-orang yang duduk di tahta yang sebenarnya tak seberapa. Dan hanya karena aku tak sejajar dengan mereka, bahkan mereka seolah tak menganggapku ada.
Aku tak perlu banyak berpikir ketika akhirnya aku menjawabnya. Karena di balik segala keceriaanku, di balik semua tawa candaku, aku sama sekali tak punya alasan untuk berkata tidak padanya. Aku tak terlalu hebat dalam mencurahkan perasaan atau masalahku pada seseorang. Aku justru lebih hebat menyembunyikan semua itu dari dunia. Namun selalu saja, Heru seolah mengerti itu semua. Setiap luka, setiap air mata, bahkan meski tak sepatah katapun pernah aku mengatakannya. Bahkan meski tak sekalipun aku pernah memperlihatkannya. Dia orang biasa, yang entah mengapa selalu ada.
Aku masuk lebih dalam ke duniaku yang sesungguhnya, duniaku yang seharusnya. Dengan mata lensa yang membuatku melihat dunia dari sisi yang berbeda. Sisi yang membuatku merasa lebih hidup diantaranya. Dan tatapan dingin mereka terasa makin menggila. Sindiran-sindiran mereka menghunus lebih tajam setiap harinya, membuatku harus cukup terbiasa dengan kegilaan mereka atau aku juga akan ikut gila bersama mereka. Lalu aku coba tertawa, aku coba mereka canda. Cara terbaik yang aku tahu untuk menyimpan dan mengunci rapat itu semua dari dunia. Namun luka tetaplah luka. Selalu ada dan hanya tersembunyi di balik tawa dan canda.
“Heru, kamu tahu kan sebelah mana tempatnya?”
“Mas Adik sama Mba Santi sih bilangnya di JalanSumarwi, sebelah timur Taman Bunga. Sedikit lagi sampai kok.”
Kami hendak melakukan booking tempat di kedai kenangan kami, ketika Mba Santi selaku manager di Twin Brother kemudian justru mengundang kami untuk menghadiri acara pembukaan kedai baru mereka. Satu tahun lebih kami jalan. Dan tidak ada yang terlalu istimewa hingga harus kuceritakan satu persatunya. Kalaupun ada, Heru lah keistimewaan itu sendiri. Heru lah yang menjadikan setap momen yang kulewati terasa begitu berarti. Kalimat yang rasanya selalu ada di tiap roman picisan manapun. Yah, dari awal juga aku tak pernah bilang kalau kisahku ini istimewa.
“Wah. Ulin, Heru. Kita sudah nunggu kedatangan kalian dari tadi. Kemana saja sih kalian kok baru nongol. Ayo masuk.” kata Mas Adik, salah satu pemilik kedai yang juga anggota di Komunitas Pecinta Lensa.
“Biasa ini Mas Adik. Weekend bukan waktu yang tepat untuk berkendara dengan cepat.” Sahutku. Sebagai kota dengan banyak destinasiwisata, Wonosari memang punya tingkat traffic yang buruk di akhir pekan.
Bersamanya, perlahan aku memaafkan mereka. Menerima seperti apapun yang namanya keluarga. Aku belajar melakukannya. Bahkan kini terkadang aku justru merasa kasihan dengan mereka. Karena di balik mereka yang membanggakan status sosial mereka sebagai pegawai negeri bergaji tinggi, mereka tidak bisa melakukan semua yang selalu kulakukan. Heru yang mengatakannya, ketika aku bercerita bahwa keluargaku semuanya pegawai negeri dan hanya aku yang  tak bisa naik ke lantai yang sama dengan mereka. Heru lalu bilang, “Kalau begitu mereka yang rugi. Harusnya mereka yang iri sama kamu loh, Ul. Mereka bekerja dengan frame yang sama terus menerus. Sedangkan kamu, orang seperti kita terus berkreasi dan bekerja dalam lingkup frame yang berbeda setiap kalinya. Kita yang berkerja dengan sebuah ide akan selalu menemukan hal baru yang mungkin tidak akan mereka temui di garis pekerjaan mereka.”
Aku bahagia. Karena hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku adalah bertemu dengannya. Memilikinya, meski pada akhirnya aku harus merelakannya. Karena mungkin sejak semula, dia tak pernah jadi milikku seutuhnya.
Semuanya terjadi begitu saja. Serasa cepat namun waktu seolah berkeja begitu lambat. Kami sama-sama pulang karena urusan keluarga. Heru sempat berdebat dengan klien tentang bagaimana kami tak bisa menangani sendiri permintaan mereka dan terpaksa mengirim partner kerja kami sebagai perwakilan. “Pristian akan menggantikan posisi saya dan Ulin. Dan saya jamin hasilnya gak akan mengecewakan. Saya sudah lama mengenal dan bekerja sama dengan mereka, salah satu dari sedikit tim fotografer terbaik yang saya percaya untuk menangani pekerjaan saya.”
Dari dulu aku tak pernah benar-benar suka dengan acara keluarga. Tidak dengan semua orang yang kukenal memandangku dengan bereda. Yah, aku tak punya piala atau piagam seperti mereka. Apalagi lembaran kertas sakti yang bisa berubah menjadi jutaan uang sesuai yang kuinginkan. Dan satu-satunya orang yang membuatku datang ternyata juga tidak hadir.
“Cuma berdua pakde?” tanyaku, ketika tak juga berhasil menemukan satu-satunya sepupuku yang lucu.
“Ah, adik kamu lagi gak enak badan itu, Lin. Jadi kali ini gak ikut.” Bude menjawab. Dan sepertinya pakde Tamim justru agak terganggu dengan pertanyaanku. Yah, aku bukan satu-satunya orang dengan keluarga yang bermasalah. Beberapa waktu sebelumnya aku sempat berkunjung dan dia tengah bermasalah dengan kencan pertamanya. Mungkin masih jadi melo drama yang entah kemana ujungnya. Dan rasanya aku perlu berkunjung usai acara membosankan ini. Arisan memang tak pernah masuk dalam salah satu acara yang kuminati. Aku bahkan tidak hafal nama mereka satu persatunya. Dan lagi dengan apa yang kemudian terjadi setelahnya. Saat salah satu keluarga maju dan mengumumkan bahwa anak mereka akan segera menikah bulan depan, lalu kulihat wajah yang sangat tidak asing diperkenalkan kepada kami semua.
“Namanya Heru,”
Sakit? Butuh lebih dari sekedar itu untuk menggambarkan apa yang kurasakan. Aku menyimak ucapan itu dengan panas merayap dari dalam dadaku. Dan aku tak mau melewatkan satu patah kata pun darinya. Kata demi kata yang meluluh lantakkan segalanya.
Aku memang tak suka dengan acara keluarga. Bahkan Heru tahu itu. Bahkan Heru pun sama tak sukanya denganku. Dan kini aku lebih tidak ingin berada diantara orang-orang itu. Tidak setelah apa yang mereka lakukan padaku.
“Kita memang tidak cocok berada di ruangan itu. Kan?”
Heru berdiri di belakangku. Aku kenal suaranya. Tanpa menoleh pun aku tahu kalau dia bahkan lebih tenang dari yang kupikirkan. Nada suranya terdengar seperti Heru yang biasanya. “Ya, makanya aku mau pulang.” Kataku, mencoba menahan sesuatu yang perlahan menghimpitku dari dalam dadaku. Namun tetap saja mata ini berkaca. Aku mencoba tertawa, berusaha mereka canda seperti yang biasa kulakukan untuk menutupinya. Dan tetap saja mata ini berkaca.
“Sempurna, ya? Kebetulan kita sama-sama ada urusan keluarga dan harus pulang ke Kebumen. Ternyata kita punya lebih banyak kemiripan dari yang selama ini aku kira.”
Heru tak berkata apa-apa. Tidak setelah orang tuanya memanggilnya dan aku melangkah pergi meninggalkannya. Memastikan aku menghilang dari pandangannya.
Sudah lama aku tak menjadikan rumah sebagai tempat untuk aku cukup lama menetap. Aku lebih suka kembali ke rutinitasku secepat yang aku bisa. Tapi sekali ini itu juga bukan pilihan yang aku suka. Aku coba pergi ke tempat sepupuku dan memastikan ia baik-baik saja mengingat ia bahkan tidak hadir di acara keluarga yang konon sakral katanya. Dan bahkan ia pun tak jauh lebih baik ternyata. Setidaknya aku bukan satu-satunya orang yang bermasalah dengan cinta. Welcome to theparty.
Akhirnya, pilihan yang tersisa memang kembali ke pekerjaan dan menghadapi apa yang memang sudah semestinya. Dan seperti yang juga kukatakan pada sepupuku secara frontal atau tidak sengaja. “Dunia masih belum berakhir. Kehidupan gak bakalan berhenti hanya karena satu kesedihan di hidup kita.”
Tapi bahkan satu kesedihan bisa menjadi sebilah pedang mematikan jika dihunuskan tepat ke  jantung kita.
Aku mencoba untuk bersikap biasa. Heru menjelaskan semuanya dan aku berusaha untuk menahan diri dan mendengarkan segalanya. “Aku tak punya pilihan.”
“Ya, dan itu juga yang dikatakan seseorang yang aku kenal dengan baik.
“Sepupuku. Dan aku harap kamu bisa lebih baik dari ini, Heru. Karena kamu yang saat ini, bukan Heru terbaik yang aku kenal selama ini. Tapi, its okay. Itu keputusan yang harus kamu tentukan sendiri. Kamu cowok. Dan sekedar mengingatkan barangkali kamu lupa, kita ini masih keluarga.”
“Keluarga jauh.” Sahutnya. “Dan kita gak pernah tahu sampai belum lama ini. Lalu berubah semuanya. Kamu, kita.”
“Oh, enggak Heru. Bukan begitu urutannya. Karena kita sama-sama tahu kalau semua ini dimulai dari kamu.”
 Kami bertengkar untuk pertama kalinya. Untuk pertama kalinya, kami punya pendapat yang berbeda. Heru berharap aku mengerti dengan keadaannya, begitu pula aku sebaliknya. Kuharap Heru mengerti bahwa aku tidak ingin peduli terhadap apapun yang membuatnya melakukan itu semua. Karena di detik aku mengakui bahwa dia benar dan aku harus mengalah, saat itulah aku kehilangan dirinya.
Semuanya akan terlambat dalam waktu kurang dari satu bulan. Dan yang kami lakukan hanya saling diam. Kami tak lagi pernah membicarakan itu semua. Bahkan kami tak pernah lagi benar-benar berbicara selain urusan pekerjaan. Mungkin kami memang kehabisan pilihan. Aku memang menyerahkan semuanya pada Heru. Dia yang harus mengambil keputusan. Dan jika dia memilih untuk menyerah, maka berakhirlah sudah.
Tinggal menghitung hari dan kurasa Heru tak juga menemukan solusi. Angin terasa lebih dingin dari malam-malam biasanya. Entah karena memang sudah masuk musim kemarau atau karena perasaanku yang tengah benar-benar kacau. Aku terus saja terjaga, membuka lembar demi lembar kenangan kami berdua. Lalu tanpa sadar mata ini berkaca, namun bibirku justru terus tersenyum seolah aku bahagia.
Aku bahagia. Karena hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku adalah bertemu dengannya. Foto-foto kenangan kami melukiskan itu semua. Aku bahagia. Memilikinya, meski pada akhirnya aku harus merelakannya. Mungkin sejak semula, dia tak pernah jadi milikku seutuhnya. Jikalau memang itu pilihannya.
Aku sempat mendengar kalau acaranya akan dilangsungkan dengan meriah. Tapi aku memilih untuk duduk di kedai kenanganku semasa SMA daripada harus pura-pura ikut bahagia dengan hadir di acara pernikahan Heru. Dan bisa melihat sepasang kekasih dengan kisah mereka yang terus berlanjut, ternyata cukup membuatku terharu. Senang rasanya bisa melihat Sheila kembali menjadi sepupu yang lucu.
Baca juga kisah tentang Sheila dalam (Aku Bukan Nurbaya)
“Udah nunggu lama ya, Lin? Maaf telat.” akhirnya datang juga. Muna, teman satu SMA yang kebetulan juga sedang pulang ke rumah. Ketika aku bilang kalau aku juga sedang pulang, si mantan primadona kelas kami itu langsung mengajak ketemu usai sekian lama cuma berjumpa lewat sosial media.
“Wah, makin cantik saja kamu, Lin?”
“Oh, ini dia si Mr. Fairy Tail-nya Muna. Bahagia banget kayaknya kamu Fif? Sepertinya kalian berdua memang cocok tahu, gak?”
Cukup lama kami menghabiskan waktu. Cukup lama bagiku untuk sejenak melupakan kisah sedihku. Dan begitu semua itu berlalu, rasa sakit itu kembali menyerangku. Seolah semua kesenangan yang kurasakan seharian ini bersama mereka tak pernah ada. Seoalah kesedihan ini tak sedetik pun pernah beranjak dariku. Lalu seseorang memelukku.
“Heru. Kamu gila apa?” aku nyaris memekik. Menengok kanan-kiri dan jalanan nampak sepi. Malam beranjak sunyi dan tak kulihat satu pun tetangga membaur dalam kesunyiannya. Tidak dengan udara dingin yang menusuk dengan tajamnya. Tapi tetap saja…
“Kamu udah nikah, Heru. Dan aku gak mau kamu giniin!”
Aku bahkan tak merasa iba dengan semua air mata yang kulihat memenuhi wajahnya.
“Ini bukan air mata penyesalan, Ulin.
Aku hentikan langkahku. Heru terdengar seperti Heru yang biasanya. Dengan mata berkaca yang menjadi pengecualiannya. Aku balas menatapnya dan tak satu pun keraguan atau pun penyesalan kulihat di sana. “Ini keputusanku. Keputusan yang kuambil dengan begitu beratnya. Keputusan yang kuambil dengan ratusan atau bahkan ribuan pertimbangan lainnya. Dan hasilnya tetap sama. Aku tetap harus mengikuti apa mau bapak. Dan aku tetap ingin sama kamu. Mereka inginkan pernikahan, dan mereka telah mendapatkannya. Mereka tak pernah meminta aku untuk juga mencintainya. Karena kalau itu yang mereka inginkan, maka di detik itu juga mereka telah gagal mendapatkannya.”
Tangaku mengepal, sekeras yang aku bisa. Dan pelukan itu kembali kurasakan. Bahkan kini semakin erat hingga aku pun pasrah tenggelam di dalamnya. Tanganku mengepal, gigi-gigiku bergemeletuk menahannya. Namun mata ini tetap saja berkaca. Aku ingin berseru, “Kenapa!?” aku ingin berteriak, “Mengapa!?” tapi hanya terlontar sebagai bisikan yang bahkan mungkin tak terdera. “Cinta memang gak harus bersatu, tapi kita tetap punya pilihan untuk tetap bersama, kan?”
Mungkin kami memang kehabisan pilihan. Aku memang menyerahkan semuanya pada Heru. Dia yang harus mengambil keputusan. Dan jika dia memilih untuk menyerah, maka berakhirlah sudah. Namun jika dia memilih untuk tetap memperjuangkanku, maka meski harus melawan dunia pun aku akan tetap ada untuknya.


By: Hida

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon