Seseorang
pernah berkata padaku bahwa hidup itu penuh kejutan. Dan beberapa kejutan
memang tidak datang membawa kenyamanan. Karenanya terkadang aku tidak
benar-benar siap menyambut berbagai twist yang mungkin terjadi dalam hidupku.
Seperti Mr. One yang selalu kunomer satukan dan kini justru menghilang pergi
meninggalkan.
Yah,
jalan kaki saja bisa lelah, jadi bukan mustahil kalau hati pun sanggup merasa
letih kan? Lagi pula apapun yang terjadi hidup terus berjalan. Dunia tidak akan
berhenti berputar hanya karena satu atau bahkan ribuan orang patah hati. Tapi
untuk saat ini aku ingin sejenak mengambil nafas sebelum nantinya kembali
melanjutkan langkahku. Dan lagi, masih ada pertempuran lain yang membutuhkanku.
Berangkat
pagi pulang sore itu sudah biasa. Dan tak terhitung berapa jumlah pertempuran
yang telah kulewati dan jiwa yang kuselamatkan selama bertugas sebagai VT
Warrior di Bataliyon Tiga Kebumen.
“OEEK,
OEEK…”
Bagi
orang lain mungkin hanya sekedar suara tangis bayi, tapi bagi kami para VT
Warrior atau bahasa kerennya bidan, suara itu juga merupakan sinyal tanda
kemenangan kami. Walau terkadang aku benar-benar ingin muntah kalau sudah
terkena serangan ledakan air ketuban.
Hoeek…
“Mba,
ini lho si calon pengantin,” gurau pak Eko sembari menyalami segenap bidan yang
hadir dan otomatis mengundang sorot mata ke arahku ketika Pak Eko lantas
menunjuk ke arahku.
“Nunggu
apa lagi kamu Tam? Menikah gak harus jadi PNS dulu lho.”
Sudah
begitu dua bidan turut pula melempar amunisi mereka, “Iya, Tam. Saya dulu juga
menikah belum PNS kok.” Kata Bidan Kiki dan dilanjut Bidan Har yang menimpali,
“Jangan seperti saya lho Mba Utami. Menikah udah lumayan umurnya, kasihan
anaknya.”
Dan
aku cuma bisa pasang senyum kecut yang kupoles dengan barisan gigiku agar tak
begitu terlihat syok. Belum juga aku membalas ucapan mereka, Pak Eko sudah
kembali membuka suara, “Udah segera aja. BRASBRESS. Lebih cepat kan lebih
baik.”
Lalu
sekejap kemudian Ika yang notabene sudah menikah dan merasa aman pun meledakkan
tawanya.
“Hehe,
minta doanya pak, bu. Semoga lekas disegerakan,” kataku seraya ikut tertawa
walaupun cuma pura-pura.
Fuuh
Terus
terang itu pertempuran yang lebih menyeramkan dari semua pertempuran yang
kulalui di medan persalinan. Dan lagi hal itu sekilas mengingatkanku pada Mr.
One. Sekian lama terjalin sampai beda pulau dan zona waktu pun tetap
kupertahankan, dan pada akhirnya jalan kami tak membentur menjadi satu tiitik
yang sama. Perbedaan diantara kami yang tadinya hanya sebatas pulau dan zona
waktu kian melebar hingga terlalu jauh untuk kami tetap beriringan.
Sisi
liarku kadang berkata, bukankah dia pergi karena aku tak lagi dianggapnya layak
untuk dipertahankan? Tapi pertanyaan itu kemudian justru melemparku ke
pertanyaan lainnya. But WHY?
Apa
karena aku bukan orang dengan duit yang melimpah? Bukan perempuan yang bisa
memberinya kehidupan yang wah?
STOOOP!
Aku
benci kalau pikiranku melemparku sampai sejauh itu. Meski pada kenyataannya
penghasilan kami memang jauh berbeda. Karena VT Warrior bukan profesi yang
menjanjikan banyak uang seperti yang mungkin banyak orang pikirkan. Dan hal itu
yang terkadang membuatku menyesal karena sudah tidak ikut nasihat bapak.
Aku
bangga menjadi seorang VT Warrior. Meski bukan itu yang kucita-citakan dari
awalnya. Masih ingat dulu ketika masih SMA dan ditanya soal cita-cita, aku
dengan lantang menjawab, “POLWAN!”
“Serius,
Tam? Kalau aku sih dari dulu pengin mendalami seni lukis kalau gak desain.”
Tanya Kurniawan, salah satu teman satu SMP yang masih betah sampai jadi teman
SMA juga. (Cerita tentang Kurniawan bisa disimak dalam cerita sebelumnya berjudul: Aku Bukan Nurbaya)
“Serus
dong. Tapi aku juga pengin jadi dokter juga sih, se. Jadi mungkin kalau Polwan
gak jadi ya dokter bisa lah.” Kataku melempar senyum ke udara yang entah sampai
mana senyumku akan melambung bersama cita-citaku. Mungkin sampai saat Mba Ari
mengingatkanku kalau sekolah di Fakultas Kesehatan itu jelas MAHUAL. Dan
senyumku pun hilang seketika. Pecah dan berhamuran di angkasa. Belum lagi
ketika aku dihadapkan pada kenyataan bahwa tinggi bodiku sama sekali tidak
masuk kriteria Polwan.
Mampus
deh!
Karena itu di akhir semester kelas XII aku
hanya bisa diam ketika teman-teman yang lainnya justru sibuk dengan pendaftaran
kuliah mereka. Secara semenjak aku berasa tak punya cita-cita usai dua rencana
besarku kandas tanpa sempat memulainya, aku tak tahu lagi akan melangkah kemana.
Mau jadi atlit badminton tapi kemampuan cuma pas-pasan juga. And believe me,
hidup tanpa cita-cita itu sama sekali gak asik. Hingga akhirnya, rapat besar
keluarga pun diadakan dengan topik utama, “Kuliah Si Bontot”
“Ke
STIKES Gombong aja ya Tam. Ambil D3 keperawatan,” usul Kak Eti. Namun langsung
mendapat sambutan tidak menyenangkan dari bapak.
“Terus
terang bapak gak sanggup biayai kamu di keperawatan.”
Ruang
pun sunyi senyap seketika. Oke, sebenarnya aku juga sama sekali tidak ada
passion dengan itu, jadi jujur aku lega karena bapak juga tidak setuju. Tapi
ucapan bapak benar-benar membungkam suasana.
“Kamu,”
bapak agak ragu meneruskan. “Kalau daftar di keguruan saja gimana? Biaya gak
begitu mahal…”
“Tami
gak mau jadi guru, pak.”
Giliran suaraku yang membungkam seisi ruangan. Bapak sampai terkejut, begitu pun
Mba Eti dan Mba Ari. Dan sesaat kemudian, aku sadar bahwa apa yang kukatakan
begitu egois. Saat itu aku sama sekali tak tahu harus berkata apa lagi selain
maaf. Tapi ibu berhasil menenangkan bapak dan kakak-kakak sekalian juga tidak
ada niat memaksaku. Namun rapat besar berakhir dengan hasil nol besar.
Karena
pada akhirnya aku tidak tahu harus masuk kuliah jurusan apa, aku coba bekerja
sekenanya di Ibu Kota hingga di tahun berikutnya, akhirnya aku resmi menjadi
anak AKBID setelah permintaanku untuk masuk informatika juga tidak diluluskan.
Jadi
memang benar bahwa hidup itu penuh kejutan. Aku yang sama sekali tidak ada
niatan awal masuk kebidanan, kini pulang pergi naik turun gunung setiap harinya
dengan pin Pack-Man berslogan Kami Siap
Melayani bertengger di seragamku. Yang artinya aku siap bertempur melawan
muncratan darah maupun ledakan ketuban yang membahana. Lagi pula…
“Tami,
mantai yuk?” ajak Lintang.
“Mantai?
Kemana?” tanyaku. Dan bau-baunya Aku bakalan batal berkemas pulang.
“Si Ika ngajak ke Bocor. Buruan ayuk.”
Aku
tersenyum seiring Lintang menyeret langkahku keluar dari Bataliyon Tiga kami,
atau yang akrab di mata orang-orang dengan sebutan Puskesmas Kebumen III. Jadi VT
Warrior bukanlah pekerjaan mudah dan bergaji mewah. Tapi aku percaya bahwa
kebahagiaan bukan datang dari keduanya. Lagi pula, saat aku tidak bisa menemukan
kebahagiaan kala ku sendiri, aku selalu bisa menemukan kebahagiaan itu bersama
teman-temanku. Kami para pendekar tali pusat, kami sang VT Warrior.
TUT
TUT TUUUT
Salah
satu tantangan yang harus dihadapi seorang bidan atau the VT Warrior, adalah tidak
teraturnya waktu istirahat. Karenanya kadang aku benci dengan dering telpon dan
memutuskan untuk membunuh suara ponsel selama jam tidurku di rumah. Dan
sialnya, kali ini aku lupa melakukannya.
“Tami,
kapan ke Jogja?”
“Oh,
Deprut. Kenapa emangnya?”
“Ya
kali kita kan udah lama gak ketemu nyet. Ajak si Bunga juga sekalian. Nanti
biar aku ngomong ke Cemplok sama Mintol”
“Masalahnya
aku kerja bukan di Bataliyon moyang sendiri nyet. Jadi gak bisa seenaknya
ngambil libur gitu aja trus gas motor ke Jogja. Lagian terakhir aku ke Jogja bulan
kemarin, aku BBM kalian pada gak ada yang respon juga.”
“Alah
udah pokoknya kamu atur aja kapan bisa ambil libur trus kabarin aku biar
sisanya aku yang urus. Oke nyet?”
Belum
juga aku kembali membalas tuntutan seenak jidatnya, suara Devi sudah lebih dulu
menghilang sirna. Telpon ditutup sepihak tanpa Devi mau mendengarkan
penjelasanku. Tapi aku terlalu letih untuk memaki atau mengumpat dan akhirnya
aku memilih untuk kembali melanjutkan waktu tidurku yang berharga. Karena VT
Warrior tak pernah tahu kapan harus tetap terjaga.
To be continue…
Baca juga cerita seru lainnya: Kemelut Cinta Naila, Senja Di Tenda Jingga, Segenggam Luka Di Penghujung Cinta, Diary Cinta Adiana, Cinta Tanpa Nama, Muara Cinta
By: Hida
EmoticonEmoticon