Entah siapa yang memulainya, tapi aku sering
mendengar bahwa kisah cinta semasa SMA adalah kisah yang tak akan terlupakan
sepanjang usia. Sepanjang masa. Tapi aku lebih prefer ke paling berkesan
daripada harus menyebutnya paling tak terlupakan. Yah, mungkin intinya sama.
Tapi kenyataannya aku justru sering melupakan orang yang kuanggap cintaku
semasa SMA dulu. Bahkan satu-satunya tempat dan waktu dimana aku teringat
padanya, adalah saat aku harus duduk cukup lama dalam toilet dan tidak ada yang
bisa kulakukan selain mengingat berbagai hal, apapun yang terlintas dalam
pikiranku. Sebelum dunia akhirnya terjangkit smarphone yang bisa jadi opsi
terbaik untuk dilakukan.
Aku lupa nama panjangnya. Bahkan mungkin aku tak
pernah menanyakannya. Aku cuma ingat namanya Rio dan aku selalu memanggilnya
Afrika. Seperti apa tampangnya itu bagian tersulit untuk bisa aku lupakan. Karena
momen pertama aku berjumpa dengannya, adalah ketika seluruh mukanya hitam penuh
kotor oleh oli dan semacamnya.
Kami tidak bersekolah di tempat yang sama. Setelah
pertemuan pertama kami yang cukup fenomenal,
pertemuan kedua kami terjadi dengan cukup sensasional.
“Hai, Amerika. Awas nabrak lagi.” Kata seorang cowok
yang… oke, dia cukup tampan. Motornya juga tidak kalah oke dengan catatan, jika
yang dia lakukan bukan sok kenal atau sok dekat mungkin aku akan balas dengan senyum
manis untuknya.
Tunggu!
Langkahku langsung membeku. Mataku mengrenyit,
mencoba memastikan. “Maksudnya apa, ya?” ada yang aneh. Karena cuma satu orang
di dunia ini yang pernah memanggilku dengan sebutan Miss. Amerika.
“Kamu? Si Afika yang kemarin itu?”
Oh tidak. Aku terlanjur memasang wajah takjub dengan
perbedaan tingkat kegantengan dia yang bagaikan langit dan bumi jika
dibandingkan dengan pertemuan pertama kami.
Oke, sebelumnya aku tidak sempat memperhatikan
bagaimana lekuk dan kontur wajahnya adalah satu dari sedikit yang terbaik di
dunia. Setelah sedikit chitchat lucu, Prince Afrika menawarkanku segelas jus
dan membawa pertemuan kami ke sebuah rumah makan yang cukup terkenal di daerah
kami.
“Afrika, kalau kamu mau ngajak aku makan siang,
mungkin sebaiknya jangan nasi rames deh. Sama sekali gak romantic tahu ngajak
seorang cewek cantik makan nasi rames.”
“Ya kamu gak usah makan, Ta” sahut Afrika.
Aku terhenyak. “Tunggu, itu kamu tahu nama aku!?”
“Kalau gak ingin nama kamu diketahui orang lain, ya
gak usah makai nametag.”
Aku reflex menutupi nametag di seragamku. Keningku
berkerut kesal.
Dan… eng-ing-eng. Aku benar-benar dibuat menontonnya
makan nasi rames sambil berulang kali menelan ludahku.
“Heh, Afrika. Kamu serius bawa aku kesini cuma buat
melototin kamu makan begini?” tanyaku. Sedikit kesal. Nyaris beranjak dari
kursiku saat mendadak salah seorang pramusaji datang menghidangkan semangkuk
sup dengan nasi yang dipisah.
“Di sini gak cuma ada rames juga kali.” Kata si
Afrika. “Oh, lupa. Namaku Rio. Tapi kamu mau panggil aku apa itu terserah kamu.
“Dan asal kamu tahu. Diantara semua menu yang ada di
sini, sup di depan kamu itu merupakan hidangan nomer satu paling favorit di
kota ini. Tapi aku lebih suka rames.”
Tidak salah, sup yang kemudian aku nikmati dengan
lahap itu memang punya rasa yang beda bahkan dari sup masakan nenek.
“Gimana, enak kan?” Tanya Afrika.
Aku tak mengindahkan mukanya yang tengah dikuasai
senyum kemenangan. Dan kami kembali ke tempat yang sama dengan menu makanan
yang sama satu minggu kemudian. Dan tebak, di hari yang sama. Seolah itu sudah
masuk dalam schedule dia untuk makan nasi rames di hari sabtu jam tiga sore.
“Kenapa gak dimakan. Kemarin kamu sampai minta
nambah,kan?” selorohnya. Dan lagi-lagi yang dipesan Rio sama. Nasi rames dengan
tempe goreng untuk lauknya.
“Karena aku bukan orang yang makan menu makanan yang
sama setiap harinya, seperti orang Afrika idiot yang ngajak jalan seorang cewek
cuma ke warung nasi rames.”
Rio tertawa begitu saja dengan semua yang baru saja
kukatakan, dengan segala raut muka bête yang kubuat segahar mungkin. “Yang
ngajak jalan kamu emang siapa, orang aku cuma ngajak kamu makan siang?”
Aku cemberut dan Rio justru ganda tertawa. “Ayolah,
Ta. Bukannya makan di kafe atau di resto-resto itu sudah terlalu biasa di jaman
sekarang ini? Berhentilah berpikir seperti orang-orang pada umumnya, karena itu
yang akan menjadikanmu berbeda.”
“Oh, ya? Terus kamu nganggep diri kamu ini beda, karena di saat cowok lain ngajak
cewek makan di sebuah resto dan kamu sendiri justru memilih nasi rames dan
sup?”
Aku ingin sekali beranjak dan lari, lalu kali
berikut si Afrika ngajak jalan sekali lagi aku tinggal menolaknya dan habis
perkara. Tapi Rio menghentikan gerakanku saat kemudian berkata, “Ini tempat aku
biasa makan sama ibu. Dulu sekali, waktu aku masih kecil dan ibu belum sesibuk
sekarang ini.
Aku tertegun, bahkan lidahku membeku. Entah apa yang
harus kukatakan untuk membalasnya atau setelah semua yang kukatakan sebelumnya.
Aku nyaris berkata “O, o…” tapi kuurungkan. Kurasa itu tidak baik dilakukan saat
seseorang sedang berbicara mengenai sesuatu yang sensitive seperti momen
terbaik atau kenangan yang baginya terus hidup bersama setiap suap nasi rames
yang masuk ke mulutnya.
“Aku cuma ingin menunjukkan sama kamu seperti apa
aku sebenarnya. Aku bisa ngajak kamu ke resto atau tempat mewah lain kalau kamu
mau. Tapi itu sama sekali bukan aku. Itu bukan hidupku, bukan duniaku.”
Sebelumnya aku pikir bakalan ada semacam jurang
pemisah diantara kami berdua setelah kami saling diam selama sisa waktu kami
berada di sana. Tak disangka, begitu aku selesai dengan sup yang kumakan dengan
perasaan campur aduk Rio mengajakku berkendara dengan motor trailnya dan itu
menjadi perjalanan terkonyol sekaligus paling mengagumkan yang pernah
kulakukan.
“Afrika, kamu ini sinting tahu nggak?” aku berteriak
seraya menahan tawaku diantara deru angin yang terbelah wajahku.
Karena kalau ditanya kemana, maka aku tak bisa
dengan pasti menjawabnya. Karena yang kami lakukan hanya berkendara kemana dua
roda berputar membawa kami berdua seraya mengobrol dan bertukar canda. Rio
bilang ini Seven Wonder Trip, karena
kami melintasi tujuh tempat wisata yang ada di Kebumen hanya dalam waktu kurang
dari setengah hari. Mulai dari Jembangan Wisata Alam yang teredekat, kemudian kami menyisir
jalanan ke timur dan tiba di Wisata Waduk Wadaslintang. Dari sana kami menuju
ke selatan dan menjumpai satu persatu pantai yang ada di kota kami. Kami sama
sekali tak menghentikan laju kendaraan kami sebelum akhirnya sejenak rehat di
pantai terakhir, Menganti.
“Kamu tahu, mengapa Pantai ini disebut PantaiMenganti?”
“Memangnya aku harus tahu?” sahutku. Kami duduk di
atas sepeda motor dan memandang mentari yang perlahan turun dari tahtanya. Dinginnya
angin membelai rambut panjangku dan menerbangkannya ke arah cakrawala.
Rio angkat bahunya. “Maybe,” ucapnya seraya
menunjukkan senyumnya.
“Dari sekian banyak orang yang berkunjung kesini,
mungkin cuma sedikit dari mereka yang peduli. Walaupun ini tempat yang indah,
namun dulunya ini tempat seseorang terus menanti kekasihnya yang tak kunjung
menemuinya. Dia terus menanti, meski sang kekasih tak juga menepati janji.
Karenanya disebut Pantai Menganti. Tempat seseorang menanti cintanya sampai
mati.”
Saat itu aku merasa kalau Rio benar-benar serius
dengan ceritanya. Karena penasaran, bahkan sesampainya aku di rumah pun aku
langsung coba mencari kebenaran cerita Rio lewat internet dan memang banyak
referensi yang membenarkan cerita si Afrika. Tapi aku sedikit khawatir dengan
cara Rio menyampaikan cerita tersebut. Dan perasaan tidak mengenakan itu
akhirnya benar-benar terjadi.
Lebih dari setahun kami jalan dan tanpa satu pun
rintangan atau masalah yang bertiup ke arah kami berdua. Lalu aku yang telah
menyelesaikan studiku di SMA, akhirnya harus pindah dan pulang ke tempat ayah
dan ibu di Bandung.
“Bisa kan kita tetap sama-sama, walaupun besok kita
tidak lagi tinggal di kota yang sama?”
Tak pernah ada angin yang bertiup dan menggoyahkan
kami. Dan sekalinya datang, angin itu berhembus laksana badai
memporakporandakan segalanya. Rio tak menjawab pertanyaanku. Dia hanya pergi
masuk ke rumahnya, tanpa satu pun kata terucap dari mulutnya. Berulang kali aku
coba menghubunginya, namun si Afrika tak juga megangkat telponnya. Bahkan tak
satu pun pesanku yang dibacanya.
Dan ketika akhirnya kami kembali bertemu muka,
Afrika terlihat seperti biasanya. Kami mengobrol seperti tak pernah ada
percakapan tentang kepergianku. Bahkan kami lagi-lagi berkendara melakukan
Seven Wonder Trip seperti yang selalu kami lakukan. Hanya saja, kali ini tak
banyak yang bisa kubicarakan. Aku tetap merasa meski terlihat biasa, Afrika
masih tetap diam seribu kata.
“Jadi ini Trip terakhir kita?” tanyaku. Bibirku
nyaris bergetar hanya untuk sekedar menanyakannya. Dan Afrika masih tak bergeming
dari kebisuannya.
“Aku capek melihat seseorang terus menunggu setiap
harinya, Ta.” Kata Afrika pada akhirnya. “Sampai sekarang pun ibu masih terus
menunggu kepulangan bapak yang entah ada dimana.
“Aku capek, marah, dan aku nggak ingin melakukan itu
semua.”
“Itu memang nggak akan terjadi, Rio. Yang akan
terjadi itu bukan aku ninggalin kamu, tapi…”
“Tapi kamu jauh dari aku. Sama saja kan?”
“Tapi kita masih bisa sms, telpon. Jangan seperti
anak kecil gini dong.”
Rio tersenyum simpul. “Kamu yang seperti anak kecil,
Gita. Berpikir semua angan-angan kamu tentang hubungan jarak jauh kita pasti
akan berhasil. Berpikir semua yang kamu rencakan pasti akan terwujud begitu
saja.”
“Tapi setidaknya kita harus mencoba. Kalau kamu
memang beneran sayang sama aku, ya dicoba dong Rio. Karena walaupun mungkin
kita bakal jauhan, tapi hati kita bisa terus berdampingan. Dan kamu sadar kalau
kita punya pilihan untuk itu, kan?”
“Aku sudah melihat ibu membuat pilihannya, Gita.
Sebuah pilihan yang nggak pernah aku suka. Karena pilihan itu yang selalu
menjadi alasan ibu menangis sepanjang malam. Pilihan itu yang menjadikan aku
nggak bisa mengambil pilihan yang sama dengan yang pernah ibu lakukan.”
Aku gagal meyakinkan Rio dan kami pulang dengan
penuh keheningan. Dan itu jadi kali terakhir pertemuan kami berdua. Tak peduli
berapa hari aku menunggu Afrika tak juga menghubungiku. Tak peduli berapa kali
aku ingin menghubunginya, ada rasa yang pada akhirnya menahan jemari dan
tubuhku untuk memulainya. Dan hari keberangkatanku pun tiba. Aku berkemas
dengan perasaan risau dan tak karuan. Berat bagiku untuk pergi jika hatiku
tetap tak turut beranjak bersama langkahku. Dan di detik ketika ibu menyuruhku
bergegas, akhirnya aku memberanikan diriku, mencoba menghubungi Rio sekali
lagi. Namun yang kudengar cuma, “Tut, tut, tuuut…”
Setidaknya aku sudah berusaha meski berakhir
sia-sia. Tapi bertahan seorang diri itu keputusan bodoh yang hanya akan
menyakiti diri sendiri. Benar kan, Rio?
“Hai, Amerika.”
Satu suara tiba-tiba mengejutkanku.
“Hanum. Gila kamu, ya. Bikin kaget tahu!” nyaris
saja aku berteriak dan memanggil Rio, karena cuma Rio yang memanggilku Amerika.
Hanum tertawa dan nampak begitu menikmati ekspresi
keterkejutanku. Teman satu SMP-ku itu bahkan ganda tertawa ketika melihat
mukaku yang memerah karena malu.
“Cucu monyet. Tertawa saja terus sampai mampus!”
ketusku. Dengan manja kupeluk ibu yang terlihat bingung sendiri sementara nenek
justru ikut menertawakanku.
Hanum merupakan satu dari sedikit sahabat yang tahu
hubunganku dengan Rio. Dari semenjak SMP kami selalu tak terpisahkan sebagai
Trio Bebek bersama Alfia yang telah lebih dulu jauh dari kami karena masuk di
sekolah asrama.
“Oh iya, barusan Fia titip salam,” kata Hanum. “ Padahal
aku sudah bilang kalau dia bisa ngomong sendiri aja sama kamu Ta. Sekarang kan
udah mulai banyak tuh, sms, chat. Kenapa juga dia masih nitip salam segala. Ah,
kudet si Fia.”
Aku mengulum tawaku. Paham sekali alasan kenapa Fia
yang jelas-jelas sejak semalam sibuk chat sama aku tapi sekarang malah nitip
salam lewat Hanum. Cinta memang selalu datang satu paket bersama
kejutan-kejutan yang tak terbayangkan. “Ya, nanti biar aku chat dia pas di bus.”
Klakson mulai dibunyikan dan mau tidak mau, aku dan
ibu harus berangkat. Dan sampai di situlah kisah Amerika dan Afrika yang pernah
sama-sama memiliki mimpi. Mimpi untuk terus saling memiliki yang mungkin akan
tetap menjadi mimpi.
“Jangan lupa bekalnya nanti dimakan itu loh, Ta,”
nenek mengingatkan. Aku terlalu terharu untuk bisa menjawabnya dan hanya bisa
mengangguk mengiyakan. Nenek yang sudah susah payah merawatku sedari aku kecil.
Nenek yang selalu rajin banget ngomel kala aku nakal dan malas sekolah. Dan
kini kta harus jauhan. “Gita bakalan sering jenguk nenek, kok.” Akhirnya aku
tak kuasa menahan tangisku.
Dan Rio
benar-benar menghilang. Dia bahkan sama sekali tak datang mengantar
kepergianku. Sama sekali tak menulis pesan atau menelponku. Itulah kenapa rasa
itu begitu berkesan untukku. Begitu menyentuh hidupku. Dan malam itu menjadi
perjalanan paling tak terlupakan bagiku. Karena saat aku membuka bekal
pemberian nenek, aku terkejut sekaligus tersenyum haru dengan yang kutemukan.
Sebungkus nasi rames dengan kantong plastik bertuliskan ORIS, Warung Makan Dan
Jajanan Kutowinangun, Kebumen, bersama sepucuk memo yang membuat mataku berkaca.
Aku gak akan
menanti sampai mati. Jadi cepatlah kembali
Afrika
“Kamu kenapa Ta? Nangis?”
“Gak papa, bu. Cuma ngecek bekal pemberian nenek
tadi. Dan gak tahunya enak banget sampai kebawa perasaan gini.” Aku mencoba
tersenyum dan menyeka mataku.
“Bukannya itu nasi rames? Di mana-mana juga banyak
yang gituan. Lebih enak malah.”
By: Hida
Jangan lewatkan cerita menarik lainnya: (Bukan Salah Cinta Memilih Siapa), (Diary Cinta Adiana), (Aku Bukan Nurbaya), (Kemelut Cinta Naila), (Segenggam Luka Di Penghujung Cinta)
EmoticonEmoticon