Verlos Knight, Minggu Ke 02: Terkeruyuk

Tags

     

     Hidup memang penuh kejutan. Kadang aku terheran sendiri dengan kejutan yang mampir menyapaku. Aku tengah balik dari piket pagi ketika menemui seorang ibu tengah berdiri di tepi jalan dan melambai ke arahku. Dan aku memang tidak ingat siapa namanya, sebut saja tetangga yang aku lupa namanya.

     “Mba Utami, bisa tolongin ibu sebentar gak?” pintanya. “Ibu mau datang ke acara pengajian di masjid, tapi ketinggalan temen-temen yang lain udah berangkat semua. Boleh minta tolong anterin gak?”
     Sambil senyum aku menjawab, “Oh, iya bu. Mari silakan.”
Walhasil aku pun pulang sembari bawa oleh-oleh. Dan apa yang kusebut mengejutkan adalah, ketika si ibu tetangga itu menyeletuk bertanya, “Mba Utami ngajar dimana?”
     Wow!
Oke, aku bingung harus menjawab apa. Karena tetanggaku sendiri tidak tahu aku ini kerja apa. Mungkin karena pakaian seragam batik yang aku pakai jadi aku dikira seorang guru kali yah? Atau karena bapak dulu seorang guru lantas dikiranya aku ini juga ikut jadi guru?
     Aku hahaha dalam hati.
    Namun bibir cuma berani menyelipkan satu tawa kecil. Tapi lain dengan Mba Fika yang sudah langsung ngakak tak karuan begitu mendengar ceritaku.
     “Itu yang aku gak habis pikir, kok bisa tetangga kamu sendiri sampai gak tahu apa kerjaan kamu, Tam?”
    Tukang VT bernama Fika Ratnasari itu memang agak sedikit lebay, crazy lovely kalau menanggapi cerita yang dianggapnya konyol. Sebaliknya, seniorku baik dalam profesi maupun dalam menyanyi itu bisa mencak-mencak sekalinya marah. Seperti ketika ada seseorang yang ngomong kelewat sombong dan sampai membuatnya kesal.
     “Bener-bener deh itu orang… omongannya ampun deeh. Tinggi banget. Ati-ati buuu, entar jatoh nyungsep syukurin kamu! Aku bakalan kasih tepuk tangan sekenceng-kencengnya…!!!”
     Dan itu merupakan ledakan supersonic yang bahkan mungkin bisa mengalahkan ledakan C4 dan TNT hingga cukup bisa untuk menulikan telinga siapapun yang berada dalam radius ruangan VK. Untung saja saat itu sedang tidak ada pasien atau bayi yang pastinya bakalan kena serangan jantung mendengar yell-yellan Mba Fika.
     Tapi Bidan Fika merupakan satu dari sedikit yang bisa memberiku semangat ketika aku dilanda bosan dengan kerjaan. Bukan mood booster sih, tapi mungkin lebih ke Mood Blowing. Tak terduga.
      Ada kalanya aku duduk di belakang battalion dan memandang luasnya sawah yang tidak terkira, yang juga merupakan satu dari sedikit nuansa yang membuatku kembali segar untuk menjalani rutinitasku sebagai warrior. Satu-satunya lukisan alam yang bisa membuatku larut dalam ketenangan. Bahkan tak jarang Aku sampai terkantuk dibuatnya.
      JRENG JRENG JRENG JREEENG…!!!
   Ponselku berbunyi dengan nyaringnya. Oke, bukan seperti itu lagunya. Tapi intinya, Aku terhenyak. Terkejut tanpa ampun dan membuka mataku, mengerjapnya sebanyak tujuh kali. Ya, aku ingat pasti berapa kali aku melakukannya dengan nyawaku yang masih belum terkumpul sepenuhnya. Lagi-lagi aku terbius oleh aroma sawah yang menyegarkan dengan belaian lembut anginnya yang akan membuat siapapun terkhilafkan dan kebetahan di sana.
     Aku buru-buru menghambur ke ruang VK. Ada setidaknya tiga pesan masuk dari Yutika yang jadi pasangan jagaku. Dua pasien baru datang ke battalion kami. Begitu aku siap dengan stetoskop dan Doppler yang jadi dua pusaka saktiku, aku pun bergabung dalam medan pertempuran.
    Yutika menangani satu dari dua pasien kami ketika aku masuk. Aku menyapa pasien muda yang aku kenal dengan nama Nurchasanah dengan hanya berbekal sedikit senyuman dan basa-basi yang jadi jurus wajib para VT Warior. Yah, tersenyum bukan kemampuan terbaik yang aku miliki, tapi sudah cukup lama aku terbiasa dengan tuntutan profesiku yang satu ini.
     Dua pasien berlalu begitu saja dengan sempurna. Yutika bahkan sempat memberiku satu dua patah candaan yang menjurus pada mataku yang rupanya, masih sangat jelas melukiskan alasan kenapa aku terlambat merespon panggilan telpon darinya. Dan belum juga puas kami menikmati sedikit funtime kami, satu pasien datang dengan kondisi yang terbilang cukup mengkhawatirkan. “Yut, aku udah 100% kan?” gumamku. Dan tak sampai tiga puluh menit berikutnya aku sudah duduk di dalam mobil ambulan dengan sirine nyaring melintasi jalanan kota.

   “Ya ampun, Yut.” Aku berdesis. Yutika segera menoleh dan memasang rona yang tak kalah kagetnya dariku.
      “Kenapa, Tam? Sungsang?”
      “Partus, Yut. Partus Sepsi!”
    Yutika langsung menghambur. Kami bergerak cepat menyiapkan segala sesuatunya dan itulah bagaimana kemudian aku duduk di samping kursi kemudi mobil ambulan menuju Rumah Sakit. Dengan denyut nadi tinggi, suhu badan sampai 40°, ditambah bau menyengat yang menguatkan gejala infeksi intrauterine, jelas kami harus berlomba melawan waktu. Partus Sepsis selalu jadi salah satu pembunuh ibu dan perinatal yang tidak boleh dianggap enteng.
      Huuf
     Aku membiarkan tubuhku roboh. Kasur di ruang VK mendadak seolah jadi gumpalan awan yang nyamaaan sekali untuk berbaring. Berjam-jam menunggu pasien di RS itu sungguh melelahkan. Belum lagi rasa cemas yang bertimbukan satu demi satu, merayap dan menggigit ketenanganku. Kaki lelah mengetuk-ngetuk lantai yang jadi pelampiasan segenap energi panik yang kian memuncak ketika tak kunjung ada kabar dari ruang operasi. Dan aku masih harus dituntut untuk tetap tenang karena kecemasanku akan juga jadi kecemasan keluarga pasien. So, keep calm in any situation itu selalu jadi salah satu kunci yang dipegang seorang Pejuang VT. Meski dalam hati rasanya aku terus saja berteriak.
    “Nginep sini lagi Tam?” Mba Fika bertanya seraya mengayunkan ponselnya. Gampang ditebak. Lagi-lagi aku jadi objek instastory dia yang rajin diupdate-nya. Aku tak sempat, bahkan tak ada lagi sisa tenaga untuk aku protes dengan sikap konyol seniorku yang satu itu.
   “Aku kelihatan masih kuat naik gunung ya, mba?” sahutku lirih, melambai lemas seraya memejamkan mataku.
      Tapi lelapku tak bertahan lama karena bahkan sekejap kemudian aku kembali terhenyak. Terjaga oleh suara perutku yang berteriak, terkeruyuk syahdu. “Ya ampun. Aku sampai lupa belum makan.”
Kurasa aku perlu menambahkan kata terkeruyuk ke dalam daftar resiko menjadi seorang Pejuang VT. Seorang bidan kadang memang bisa sampai lupa pada asupan gizinya sendiri, side effect dari saking sibuknya ngurusin pasien. Karena mau tidak mau, urusan kerjaan kita para Pejuang VT itu mempertaruhkan dua nyawa sekaligus. Nyawa si jabang dan nyawa emaknya. Bukan profesi yang sebaiknya dipilih karena kamu kehabisan pilihan mau jadi apa.
      “Kamu gimana mau move on dari keterkurusan coba? Makan aja gak teratur gitu, Tam.”
    “Ya habisnya, mba. Tadi itu agak kelewatan level paniknya. Lain dari biasanya. Situasi embuh banget pokonya. Sudah gitu, si suami bolak-balik tanya kondisi binik sama jabang dia sambil pasang muka cemas campur aduk sama serem. Mana sempat aku dengerin keluh kesah perutku.” Ujarku. Masih mencoba menelan habis semua yang terkumpul di mulutku. Aku senyam-senyum kurang jelas yang diiringi tawa Bidan Fitriana yang sudah dengan baik hati menyiapkan makan malam yang sebenarnya sudah kelewat malam. It’s ok. Perutku masih bisa dinego kalau sudah urusan sama kesibukan. Palingan dimarahi dan diceramahi sama orang-orang rumah kalau mereka sampai tahu. Mereka takut aku sakit lagi dan bukannya nambah gemukan malah makin larut dalam keterkurusan seperti yang dibilang Bidan Fika.
     Dan begitulah hari-hariku silih berganti dengan berangkat pulang naik turun gunung dari rumah yang letaknya di lantai atas Kota Kebumen ke Puskesmas Kebumen III yang jadi medan tempurku. Sebagian orang mungkin berpikir ini kerjaan yang membosankan dengan gaji yang tidak menjanjikan. Tapi di battalion aku selalu bertarung menyelamatkan nyawa dua jiwa yang sama memegang harapan untuk menyongsong kebahagiaan. Dan aku masih ingin terus melakukannya, tak peduli bagaimana orang menilainya.
     …
     “Mba Utami. Ada yang nyari…”


     To be Continue…

     By: Hida

Baca cerita sebeulumnya berjudul The VT Warrior. Dan jangan lupa menyimak cerpen-cerpen yang tak kalah seru untuk diikuti: Cinta Gita Dari SMA, Bukan Salah Cinta Memilih Siapa, Diary Cinta Adiana, Aku Bukan Nurbaya

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon