Siapa
sih yang ingin gagal dalam cinta? Kamu, kamu, atau kamu?
Tidak
ada satu individu pun di dunia yang cukup sinting hingga menginginkan gagal
dalam cinta. Seperti tidak ada satu pun ibu yang ingin gagal dengan
kehamilannya. Aku pernah menyaksikan betapa hancurnya hati seorang ibu ketika
mengetahui janin yang dikandungnya harus berpulang, bahkan sebelum sempat
dipeluknya. Dan aku pernah merasakan kehancuran serupa. Ketika cinta yang
dengan erat aku genggam, dengan gigih aku perjuangkan, berujung pecah
berhamburan. Oke, sakitnya mungkin tidak bisa dibandingkan. Kecuali
pengkhianatan itu bisa disetarakan dengan perihnya miskram. Belum lagi perihnya
hati.
Badanku
masih saja gemetar, terduduk lemas, tak peduli berapa kali aku sudah menghadapi
pasien yang harus kuhibur untuk melawan rasa kehancuran yang sama. Mungkin
karena ini adalah kali kedua Novita harus menghadapi kehilangannya. Tangisku
saja belum juga mengering, mengingat bagaimana ibu muda itu begitu bersemangat
kala pertama kali datang melakukan ANC di pustu kami. Dan kini aku kehabisan
kalimat untuk menghiburnya.
Menurut
cerita para bidan senior, tak lama sebelum aku mengabdikan diri di PuskesmasKebumen III ini, Novita pernah mengalami abortus dan butuh waktu hingga
akhirnya bisa kembali naik kasta menjadi bumil. Namun harapan itu tak lebih
dari kembang api yang membuat orang-orang berseru bahagia ketika melambung
tinggi, lalu menjelma menjadi keheningan ketika nyalanya kemudian memecah menyisakan
gelapnya malam.
“Mba Utami. Ada yang nyari…”
Keningku
berkerut, melirik arloji di tanganku sembari bangkit dari kursiku.
Aku
tak pernah suka bila ada yang datang mencariku di tempat kerja. Apalagi di jam
saat pasien sudah tak lagi boleh dibesuk. Dan dari cara Mba Fitriani dan Yutika
memandangku dengan raut muka mereka yang agak nyeleneh, bisa kutebak siapa yang
malam-malam datang mencariku.
Huff
Aku
menghela nafas cukup panjang. Menjatuhkan tubuhku di kursi panjang halaman
belakang puskesmas dan berharap waktu akan sejenak berlama-lama untukku.
Berharap sentuhan angin kan membawa pergi segenap lelahku. Mataku nyaris
terpejam, terlena dengan kesaktian tempat teristimewa di battalion kami. Dan
telingaku yang notabene cukup tajam karena factor kecaplangannya yang aduhai,
menangkap satu suara lirih tak jauh dari tempatku.
“Wow,
kamu…”
Suraku
tertahan, aku lupa nama orang yang tengah duduk menjelepok dengan laptop di
pangkuannya. Rambut bergelombang sebahu, kacamata… dan tak acuh. Bahkan dengan
reaksiku yang nyaris berteriak.
“Adi.
Barangkali ibu ne lupa nama saya.” Ucapnya, tanpa melengos satu sentipun. Cuma
ada satu bonus senyum kecil yang tak begitu kentara. Tapi akhirnya melengos
juga. Menyelesaikan senyumnya yang aku lihat tak begitu tulus-tulus banget. Dan
aku diapanggilnya ibu. Grrr…
“Hm,
sebenarnya bukannya lupa, sih. Cuma kaget dan heran aja. Kok kamu bisa…”
Oke,
aku sama sekali tidak lupa namanya. Jujur sulit dengan kesan pertemuan kami
beberapa malam yang lalu. Malam yang… ah, entahlah. Saat itu aku berharap lupa
ada kejadian seperti itu.
Sedikit
flash back, malam itu aku kedatangan pasien tak diundang yang cukup membuat
geger seantero pustu battalion tiga. Masa lalu memang terkadang bisa menjelma
menjadi virus menyebalkan yang menyerang sel-sel kehidupan kita sampai ke
tingkat atomic. Tak terhitung berapa kali aku memperingatkan Wahid agar jangan
mencariku ke tempat kerja. Dan bahwa setiap kedatangannya itu cuma akan menjadi
suatu kesia-siaan belaka, karena aku tak lagi berniat merubah keputusan dan
pendirianku tentang hubungan kami. Tidak setelah segala yang kulakukan untuk
mempertahankan hubungan kami dan dibalasnya dengan satu tikaman mematikan.
Selingkuh!
“Kamu
ini bandel apa udah gak waras sih? Niat banget ya bikin aku malu. Sudah berapa
kali aku bilang ke kamu, jangan datang ke tempat kerja! Kamu gak tahu apa,
seperti apa yang namanya tempat kerja itu?”
“Maaf,
Set,” katanya, “Seti” itu nama panggilanku di rumah dan hanya orang-orang yang
satu desa yang tahu. “Habisnya aku gak tahu lagi gimana caranya supaya aku bisa
ketemu kamu kalau gak begini?”
“Kenapa
kamu gak berhenti aja urusin hidup aku dan urus itu calon istri kamu? Aku gak
mau, ada orang mencak-mencak aku dan mengira aku ini pelakor!” desisku. Kadar
kemuakanku telah sampai pada batasnya. Dan Aku harap mukaku tidak sedikit pun
memperlihatkan kecemburuan. Aku marah. Sangat marah. Dan aku sudah sedemikian
muak dengan situasi yang tak pernah beranjak maju ini. Cukup itu yang harus
Wahid lihat dalam diriku.
“Raya
gak mungkin begitu. Aku tahu betul bagaimana dia.” Sanggahnya. Dan langsung aku
buang tangannya yang berusaha menyentuhku sementara mulutnya justru memuji
perempuan lain.
“Kapan
sih kamu sadar, Wahid. Hubungan kita itu sudah lama berakhir. Dan kamu tahu
persis apa dan siapa yang melakukannya.
“Kamu
tahu pasti alasannya.” Tandasku. Ada bulir hangat yang kurasakan mengalir
lembut dan perlahan mengaburkan pandanganku. Aku berusaha keras menahannya.
Menyembunyikannya dari Wahid dan bahkan mungkin seluruh dunia. Beruntung malam
tak memberi kami cukup terang untuk memperlihatkan kerapuhanku. Meski ada titik
kecil di hatiku yang menginginkan agar pria brengsek di sampingku itu
melihatnya. Entah kenapa…
“Kelihatannya,
kalian punya masalah yang cukup serius. Sampai nyaris berantem di depan pustu
segala,” ucapan Adi seketika menghentikan adegan kilas balik yang jujur enggan
aku mengingatnya. “Lebih dari sekali kayaknya?” Tutur Adi lagi karena Aku tak
juga menanggapi. Aku sibuk meremas lembaran kisah menyebalkan itu dan
menjejalkannya di sudut otakku. Oh, padahal aku berniat membuangnya.
Aku sedikit malu mengatakannya, namun mengingat
Adi sudah sedikit tahu situasinya, akhirnya, aku pikir tak apalah bila Aku
sedikit lebih terbuka. “Yah, biasa lah mas. Penyakitnya cowok.” kataku. Meraih cup
kopi tawarannya dan menyimpul senyum di wajahku. “Nyesel belakangan.
“Aku
ragu sih kalau dia beneran nyesel. Karena kenyataannya dia gak lebih milih Aku. Dan mas juga dengar sendiri kan malam itu?”
Kuangkat bahuku dan membayangkan dia tahu kemana arah bicaraku. “Bagaimana Aku pernah
tantang dia. Kalau memang dia serius suka sama aku, nikahi aku! Tapi sampai sekarang,
orangnya tetep diam. Aku bilang juga sih kalau aku itu kasih dia waktu sampai
akhir tahun ini. Tapi aku gak terlalu berharap lah. Takut kecewa mas.”
Si Adi tertawa kecil, melempar cup-nya yang
telah kosong tepat ke dalam tong sampah yang tak jauh dari tempat kami duduk
menghadap belantara padi yang masih hijau muda. “Apa memang harus begitu?”
“Apanya
mas?”
“Ah,
enggak. Yang lebih tahu dia kan ibu sendiri. Ehh, maaf. Kebiasaan, manggile
ibu. Hehehe,” Mas Adi meraih rambut panjangnya dan menguncirnya.
“Hehehe,
gak apa-apa mas.”
“Tapi…”
Mas Adi diam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya. “Jujur, aku juga
pernah disakiti. Pernah juga menyakiti. Bahkan mungkin lebih sering
menyakitinya, sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Dan
kami pisah.
“Sesudah
itu aku sadar. Bahwa entah siapapun yang bersalah pada awalnya, sebuah perpisahan
sudah pasti menyakiti dua-duanya.”
Aku
manggut-manggut, sejenak memikirkan ucapan Mas Adi. “Iya sih, mas. Kadang juga
Aku merasa kalau aku itu bisa keterlaluan banget ngomongnya kalau sudah emosi.”
“Ya itu dia. Jadi yang menyakiti juga punya beban
tersendiri. Karena hidup itu kan gak mungkin semuanya akan berjalan sempurna,
mulus sesuai dengan harapan kita. Yah, cuma sekedar saran, sih. Pendapat aja.
Lain kali cowok itu datang, terimalah baik-baik. Gak perlu dibuat rusuh seperti
kemarin.”
“Iya
mas. Hehehe,” sahutku. Entah kenapa nyaman aja aku menjawabnya. “Tapi aku emang
paling gak suka didatengin di tempat kerja.”
“Soal
itu sih, balik ke yang tadi aku ngomong. Ibu yang lebih tahu gimana itu cowok.
jadi tentu ibu lebih tahu gimana sebaiknya.”
“Hehehe,
iya mas.”
“Aduh,
manggil ibu lagi.” Kata Mas Adi sambil tepuk jidat lalu tertawa. Hahahaha.
“Gak
apa-apa mas, hehehe.”
Selanjutnya
obrolan kami jadi lebih ringan. Aku bertanya tentang kerjaan Mas Adi yang jadi
supplier air minum di Pustu kami. Dan ternyata kerjaan dia tidak cuma sebatas
menyuplai di pustu kami saja. Tapi bahkan puskesmas lain di wilayah Kebumen pun
mengambil air minum dari kiosnya.
“Kurang
tepat sih, kalau dibilang itu kios punyaku. Karena disitu aku cuma rewang. Itu
kios punya bapak.” Kata Mas Adi yang belakangan aku tahu bernama lengkap Adi
Harjuna.
“Iya,
kan anak ketiga dari lima bersaudara, jadi dikasih nama yang agak mirip-mirip
wayang gitu. Hahaha,” tutur Bu Endang Minarni, salah satu sesepuh dalam
battalion kami yang sudah menjadi pejuang VT kelas atas lebih dari dua puluh
tahun.
“Kenapa
Bu Endang? Utami mau nikah sama si Adi po?” celetuk Mba Farida lalu terkekeh
kompak bareng Bu Endang.
“Nggak
tahu ini, Mba Rizki. Doain aja, semoga beneran deh.” Timpal Bu Endang yang
malah disahuti “Amin…” oleh Mba Farida yang lagi-lagi menebar tawa.
“Waduuuh,
Bu Endang ini lho, suka gawe-gawe
kalau ngomong.” Aku mengelak dengan sedikit agak banyak panik. Gawe-gawe itu
artinya mengada-adakan. “Bukannya tadi cuma ngomongin air minum yang habis ya?
Stok cadangan juga habis karena mas yang suka nganter belum datang. Kok
tahu-tahu ngarahnya ke situ, ya Bu? Lagian aku kenal juga enggak sama orangnya.”
Bu
Endang dan Mba Farida malah makin tertawa. Tempat kerja terkadang memang bisa
menjadi oasis, tempat berkembang biaknya gossip dan gossip yang seringkali
tidak kita inginkan. Apalagi dengan mayoritas penduduknya yang sudah kelas
senior berat dalam kehidupan alias udah laku. Terutama Bu Endang, kalau lagi
kumat, suka pamer soal anaknya yang kedua, si Weni yang baru lulus dari
Fakultas kedokteran Universitas Islam Indonesia dan tengah menjalani program KOAS-nya. Umurnya lebih muda
dariku dan Yutika, tapi udah dapet booking dari seorang dokter muda.
“Iwan
sih udah siap,” tutur Bu Endang, membanggakan anak berikut calon mantunya. “Tapi
kata saya sih, nunggu Weni selesai koas dulu lah, baru nikah.”
AAARRGGG!!!
Salah
satu derita hakiki menjadi Bidan PTT berstatus single, yang membuat aku, Yutika dan Lintang yang masih junior imut-imut
kece, berasa terbelangsak jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam dan gelap. Kudu kuat-kuat mental dan rajin doa biar kuat menghadapi serangan-serangan semacam itu, serta biar cepat dipertemukan jodohnya.
WUUZZ
"Ujung-ujungnya tetap yang dibahas jodoh, ya?" Lintang tertawa. "Hahahaha," lalu nular juga ke Aku dan Yutika.
To Be Continue...
By: Hida
Baca juga chapter sebelumnya: Verlos Knight, Minggu Ke 02: Terkeruyuk & Verlos Knight, Minggu Ke 01: The VT Warrior
EmoticonEmoticon