“Tuh
Yoshi, Sus.” Kata Va. Pandangannya terlempar ke arah pintu, Yoshi muncul dan
langsung duduk di kursinya tanpa basa-basi. Benar-benar memasang wajah tanpa
dosa dengan sempurnanya. Semua orang bahkan tak ada yang menyadari
ketidakhadiaran Yoshi di lapangan tadi. Hampir. Karena aku jelas menjadi saksi
pasti ketiadaannya selama upacara.
Kulempar satu remasan kertas dan
mendarat tepat di atas ekor kudanya. Yoshi berbalik ke arahku dengan secarik wajah
heran bercampur tanya, sementara matanya menyipit meminta jawab atas ulahku.
“Dari mana aja sih, see?! Perasaan penting banget nyampe gak ikut upacara
segala!” ucapku satir. Tapi memang dasar itu anak sedang jago banget membuat
orang emosi. Yoshi hanya berkata, “Gak dari mana-mana.” Ucapnya datar, dan
langsung kembali memalingkan pandangannya.
Aarrggg…
“Ini anak hari ini nyebelin banget tau gak!?” geramku.
Kukepalkan tinjuku dan kulampiaskan kekesalanku pada mejaku, hantamkan tinjuku
perlahan, namun penuh perasaan. Va hanya tersenyum geli melihat sikapku. “Udah
lah see. Ngapain sih gitu aja dipikirin,” katanya. Ia berusaha menjauhkan
perhatianku pada Yoshi dengan tingkahnya yang mulai usil. Nova mulai menarik
lengan bajuku dan hendak menuliskan entah apa dengan bolpoinnya. Memang lagi
jadi tren yang nyaris seperti sindrom diantara murid cewek. Mentato lengan
dibalik baju dengan tulisan dan gambar atau semacamnya dengan bolpoin.
“Hoe, minggir,
minggir, minggir…” Liana berlari masuk di saat yang tepat. “Pak Edi dateeng!”
teriaknya. Ia menyelamatkanku dari tindak kejahatan Nova. Ia dan beberapa teman
lain nampak sangat terburu-buru. “Ada guru, yah?” tanyaku dengan alis
terangkat, sementara Va langsung saja beranjak kilat menuju tempat duduknya
dengan muka tengilnya. Memang tidak ada alasan untuk kami buru-buru selain
seorang guru. Dan memang hal yang wajar terjadi, kalau ada guru yang datang
lantas kami berlomba kembali ke tempat duduk kami masing-masing.
Pak Edi, guru bermuka tirus itu masuk dengan langkah
tegapnya yang biarpun santai, tapi terasa sekali sisi berwibawanya. Kami semua
terdiam, tidak ada yang bersuara dan memang seperti itulah seharusnya. Seperti
yang Pak Edi atau setiap guru harapkan.
“Selamat pagi semuanya!” Seru Pak Edi. Seperti biasa,
dengan gaya santai, namun suara terdengar lantang dan membahana ke seisi ruang.
Beliau merupakan satu dari sedikit guru yang punya kharisma seperti itu bagi
kami.
“Pagi paaaak…!” sahut kami serentak. Aku menyempatkan
diriku memperhatikan Yoshi. Sepertinya ia memang sedang agak kurang bersemangat
hari ini. Pak Edi meletakkan tiga lapis buku bawaannya dan mulai memimpin doa.
Tradisi sakral kami di sekolah, setiap kali pelajaran pertama akan dimulai.
“Itu Pak Edi kok bawa-bawa buku segala. Bukannya ini
mapel gak pernah ada teorinya, yah?” bisikku di tengah heningnya doa, yang
hanya dapat sedikit perhatian dari Liana. “Ya buku gambar kali, see.” Sahut
Liana singkat, diiringi senyum simpul di wajahnya.
“Oke semuanya,” Pak Edi menepuk tangannya, kami
selesai berdoa. “Sekarang keluarkan kertas, dan pensil kalian. Hari ini kita
akan menggambar sesuatu yang pastinya akan sangat kalian sukai.” Pak Edi
terlihat bersemangat, mengakhiri ucapannya dengan selarik senyum, lalu duduk di
kursinya sementara aku dan teman-teman yang lain mulai mempersiapkan peralatan
kami.
“Mau nggambar apaan lagi sih yah, Sus?!” ujar Liana.
Ia memang tidak begitu jago seni rupa dan sering mengeluh tentang pelajaran
yang jadi kelemahannya itu. Gambar terakhir yang ia buat saja, benar-benar
acak-acakan, separah benang kusut Bu Bakri, tukang jahit tetanggaku. Ia sering
membiarkan begitu saja benang yang sisa dan sudah tidak terpakai hingga kusut
satu sama lain. Dan gambar ilustrasi yang Liana buat terakhir kali benar-benar
mirip sekali dengan itu. Kusut.
“Kenapa, Yosh?” kudengar suara Echa, cewek yang duduk
satu bangku dengan Yoshi. Dahinya sedikit berkerut, menampakkan rona keheranan
di tengah suaranya yang sengaja ia pelankan. “Duhh, aku lupa gak bawa buku
gambarku, Cha.” Yoshi berbisik. Kali ini aku benar-benar melihatnya memasang
tampang bingung.
Rasain, lu!
“Wah, ampuh! Tumben yang jago gambar gak bawa buku
gambar!?” aku kembali menyindir. Yoshi dan Echa seketika berbalik menatapku,
tapi tidak dengan sorot mata yang sama. Echa melirikku namun bibirnya melebar
membentuk seulas senyum geli menahan tawa, sementara Yoshi─ia hanya sekilas
menatapku dengan sorot mata datar, yang bahkan tidak membuatku tertawa sama
sekali. Justru pandangannya benar-benar membuat bibirku terkatup. Aku
menghentikan tawaku dan alih-alih bertanya aku berkata, “Apa sih. Itu sebelah
kamu gak lucu banget, Cha! Bikin gerah aja.”
Echa dan Liana ketawa cekikikan hampir bersamaan, tapi
sepertinya Yoshi sama sekali tidak tertarik dengan leluconku. “Emangnya lucu?”
sahutnya singkat, lalu langsung palingkan mukanya dari kami bertiga.
Suck!
Tiga detik kemudian Yoshi dan Echa sama berdiri dan
maju ke hadapan Pak Edi. Gampang ditebak. Pasti mereka pergi nyari buku gambar
ke koperasi. Dan sementara aku mempersiapkan peralatan gambarku, ternyata Liana
sudah mulai kesambet setan heboh. “Eh, Sus. Gila kamu udah liat foto Bu Putri
yang baru belom?”
Ya ampun…
“Kepo banget sih, ndol. Ngefans sama orang nyampe
ngapdet statusnya tiap hari!” desisku. Tetap berusaha agar obrolan kami tidak
sampai ke telinga Pak Edi. “Jaim dikit dong…!”
“Alah, sekarang tuh udah gak jamannya lagi kita
jaim-jaiman, see.” Sahut Liana. Bibirnya mencibir dan tangannya terus saja
memamerkan foto Bu Putri yang berpose dengan blus warna coklatnya, yang─jujur
memang serasi dan elegan dengan jilbab yang dikenakannya.
Haahhh…
“Biasa aja kali…” ucapku seraya mendesah. Berusaha
menutupi ketakjubanku dengan muka datar yang dengan susah payah aku ciptakan.
Sementara itu, Pak Edi akhirnya berdiri dari duduknya.
Siap memberi kami instruksi. “Sambil nunggu teman kalian, biar bapak jelasin
gambar apa yang bapak ingin kalian buat kali ini.”
Semua mulai diam, tidak ada satu
suara pun selain suara Pak Edi sendiri. Tapi kemudian beberapa anak cowok yang
otaknya memang sedangkal kolam ikan, terdengar masih saja menggumamkan obrolan
yang entah apa. Obrolan mereka terdengar seperti dengungan tawon yang tidak
jelas kemana arah terbangnya.
Pak Edi nampak tidak nyaman dengan tingkah Daus dan
Ian dan tidak melanjutkan ucapannya. Beliau diam dan hanya melipat tangannya
sambil terus memaku pandangannya pada dua cowok trouble maker itu. Dan
otomatis, semua mata pun segera tertuju pada mereka yang duduk di bangku
deretan paling belakang.
“Jefrian, Firdaus…” kata Pak Edi.
Nada suaranya terdengar tegas hingga seketika mulut Daus dan Ian yang memang
seperti kaleng rombengan itu pun, terbungkam.
“Huuuuuuuu…!” seluruh kelas riuh
berseru seketika, Pak Edi mengangkat tangan kanannya, mengatupkan telunjuk dan
ibu jarinya, tanda agar semua diharap diam. Dan dalam skejap, kelas kembali
hening. Daus dan Ian membungkam disertai wajah memerah. Meski begitu, tetap
saja mereka masih sempat sembunyikan senyum nakal mereka di belakang. “Bapak
kan pernah bilang, kalian bebas bicara selama jam pelajaran bapak. Karena dalam
suatu karya seni, yang dibutuhkan memang bukan suatu keterikatan, melainkan
kebebasan. Tapi alangkah baiknya, apabila kalian─bicara tidak hanya dengan
mulut kalian, melainkan juga dengan pensil kalian. Bicara…”
Terdengar suara pintu kelas diketuk.
Echa dan Yoshi telah kembali, hingga Pak Edi mau tak mau harus menghentikan
ucapannya untuk sesaat dan memberi isyarat pada keduanya untuk masuk.
“Bicaralah pada kanvas kalian. Bicaralah dengan perasaan kalian. Tuangkan─apa
yang kalian rasakan, pada gambar kalian!”
Suasana begitu hening, senyap. Tak
ada yang bersuara untuk beberapa detik lamanya, sampai Pak Edi kembali memecah
keheningan dengan suaranya. “Paham?”
“Ya pak.” Kudengar suara Daus dan
Ian menjawab. Aku tidak cukup berani menengok ke arah mereka untuk melihat rona
ekspresi mereka. Tapi aku bisa menebak, bagaimana mereka menundukan wajah
mereka.
I
guess…
“Dan ini berlaku tidak hanya buat
Afrian dan Firdaus, tapi juga semuanya. Kalian bebas bicara, tapi ada saatnya.
Dan itu, bukan saat bapak sedang bicara!” pungkas Pak Edi.
Echa dan Yoshi yang tidak tahu menahu duduk perkaranya
nampak bingung. Si Echa menengok ke
arahku dengan alis diangkat sebelah. “Daus sama Ian,” bisikku, tersenyum lebar,
cukup terhibur dengan ulah mereka.
Setelah emosinya sedikit mereda, Pak
Edi pun kembali melanjutkan setelah sebelumnya sempat menarik nafas panjang.
“Nah, kalau semua sudah siap, bapak akan jelaskan gambar apa yang bapak ingin
kalian buat kali ini.”
Dan
wow…
Benar-benar kejutan. Siapa mengira
Pak Edi bakal menyuruh kami menggambar dua buah gambar dengan kriteria yang
benar-benar─menyebalkan. “Pertama, bapak ingin kalian menggambar pohon
berkambium, atau yang lebih sering kalian kenal dengan istilah dicotyl,”
Belum juga Pak Edi menyelesaikan ucapannya, seisi kelas
sekali lagi riuh. “Gampang itu ma. Gambar pohon kelapa aja, ya gak?” kudengar
seseorang menggumam. Bisa kutebak, paling juga si Ardhani─dan memang cuma dia
yang punya suara dengan intensitas setinggi penyanyi rock itu. Ide yang bagus
dan sangat mendasar, pikirku. Lalu ada juga yang kudengar mencanangkan ide
untuk menggambar pohon tebu, tapi segera mendapat sambutan buruk. “Tebu itu kan
bukan tanaman dicotyl, see!”.
“Dengar dulu, hoi. Dengar dulu sampai bapak selesai
ngomongnya…” ujar Pak Edi yang membuat kericuhan perlahan mereda, lalu sirna.
Begitu semua kembali senyap, Pak Edi baru melanjutkan ucapannya. “Bapak ingin
kalian menggambar tanaman hijau alias dicotyl, dan bukan termasuk jenis tanaman
monocotyl. Dan jelas tebu, kelapa, itu pilihan yang buruk untuk mencari nilai
yang bagus dari saya.”
“Yaaaahhhh…” semua kompak keluarkan keluhan. Termasuk
aku yang diam-diam juga sepakat dengan ide gambar pohon kelapa tadi. Simple,
dan rasanya emang gampang banget.
Sialan!
Pak Edi pasti sudah mengira kalau kebanyakan akan
mengambil sampel pohon berbuah yang paling gampang digambar itu. Makanya dia
membuat peraturan yang melarang semuanya menggambar pohon kelapa.
Kupret!
“Katanya suruh bikin dua gambar, trus yang kedua
gambar apaan nih, pak?”. Di luar dugaan, Liana yang paling mengeluh dengan seni
rupa justru bertanya seperti itu.
Wow…
“Untuk gambar berikutnya─” jawab Pak Edi, “Bapak ingin
kalian menggambar person. Person
disini maksudnya ialah… gambar seseorang, dimana yang bapak minta untuk kalian
gambar itu, adalah seseorang yang punya hubungan dengan kalian. Dalam artian,
orang yang kalian sayangi.”
“Pacar boleh, pak?” Echa berseru seketika, namun
segera mendapat bantahan dari Pak Edi dalam sekejap. “Kecuali pacar!” Pak Edi
goyangkan telunjuknya, tersenyum.
“Huuuu…!” seisi kelas berseru serentak, menenggelamkan
keluhan Echa yang bisa kulihat saangat kecewa. “Wah, bener tuh pak!” suara Va
terdengar menyusul begitu riuh tawa berhenti. “Kalo dibolehin nggambar pacar,
entar keenakan si Echa nggambarnya pake acara mesra segala, pak!”
Gemuruh tawa semakin membahana dengan selorohan Nova
yang langsung mendapat sambutan senyum nakal Echa, disertai wajah memerahnya.
“Cieeeee… mau nggambar mamas Yanuar nih, Chaaa…!?” timpalku yang langsung
menambah riuh suasana.
Hahahahaha…
Tak selang
berapa lama kemudian kami digiring Pak Edi keluar kelas, dan ini bagian
terasyiknya. Selama menggambar, kami diperbolehkan memilih tempat yang menurut
kami… nyaman. “Tapi inget, kalian tetap hanya diperbolehkan berada di sekitar
lingkungan kelas. Dan jangan sampai mengganggu kegiatan belajar kelas lain.
Mengerti?” tandas Pak Edi. Tapi kupikir, beliau harusnya menambahkan kata ‘usahakan’ dalam ucapannya barusan.
Karena aku suka sekali mengganggu.
Badass…
Dan sesuai dugaan, halaman belakang
kelas memang didominasi oleh anak-anak cowok. Jadi dengan muka bête terpampang
di wajah kami, aku dan Nova akhirnya kembali ke depan kelas, dimana telah
berjejer semua teman-teman satu spesiesku.
Huff…
“Gak jadi di belakang, see?” ujar
Liana, sengaja meledekku dengan senyum setannya. Beberapa langsung menertawakan
aku dan Nova, tapi kami coba bersikap biasa saja.
“Sialan! Itu si Ian, Daus sama
anak-anak cowok udah kaya kompeni aja main monopoli lahan!” geramku. Aku memang
cenderung gagal kalau itu menyangkut kesabaran dan mulutku. Yah─setidaknya aku
jujur. Orang paling blak-blakan di Cleopatra.
Agak ke selatan di depan kelas kami,
membentang lapangan sepak bola yang luasnya─terus terang belum pernah coba aku
ukur sih. Dan aku memang tidak peduli dengan seberapa luasnya. Yang ingin aku
coba katakan ialah, bahwa sebenarnya duduk menggambar di depan kelas itu ide
yang sungguh… brilliant. Mungkin jauh
lebih baik dari duduk di belakang kelas seperti yang aku pikirkan
sebelumnya. Aku sama sekali tidak menyadarinya
sampai saat aku duduk di sudut selatan depan kelas bareng Nova, Liana,
Sultoniah, Echa, dan tidak ketinggalan pula si Pemurung Yoshi. Yap, mendadak
terlintas di benakku untuk manggil Yoshi ‘Si Pemurung’.
Yey….
Berenam, kami duduk menjelepok sambil
menikmati hijaunya lapangan yang nampak luas dan sejuk, dengan tanpa satu orang
pun yang berdiri di atasnya. Aku menghirup nafas panjang dan mulai memikirkan,
apa yang sebaiknya aku gambar. Sambil memainkan pensilku, aku terus menyeleksi
ide demi ide yang muncul di kepalaku satu persatu. “Hijau…, berbuah… dicotyl,
monocotyl,” aku menggumam. Banyak sekali gambaran pohon yang melintas di
benakku, dan kesemuanya sebenarnya sesuai dengan kriteria yang Pak Edi berikan.
“Selain kelapa…”
Hmmm…
Terus terang sulit sekali menuangkan
apa yang aku bayangkan menjadi suatu bentuk gambar objektif. Dan kurasa bukan
hanya aku yang punya masalah serupa. Karena belum ada satu pun diantara kami
yang telah mulai menggoreskan pensil.
“Belom dapet juga beb?” tanyaku.
Sialnya, tidak ada yang cukup peduli dengan kebingunganku. Bête melanda
duniaku.
Hemp…
“Apaan Sus?”
Bagus. Setelah sekian detik aku
bertanya, akhirnya ada juga yang peduli. “Udah nemu belom… pohon apa yang mau
digambar!? Sahutku sinis. Kesal juga rasanya ngomong tapi diacuhin.
“Yaelaaa, kok gitu sih ngomongnya
beb!?”
“Ya lagian, ada orang segini banyak,
tapi akunya ngomong gak ada yang dengerin! Nyesek tauk!”
“Namanya juga lagi bingung, see!”
kali ini Liana yang menyahut sementara Va dan lainnya kompak semburkan tawa.
“Celi kamu beb! Bantuin kek… bingung nih! Malah pada ketawaaa…”
“Tuh kan! Mulai lagi, nih. Susi
kalau ngomong itu mulutnya asal njeplak aja gak pake diatur!”
“Emang nih orang. Gak ngerasa cewek
kali dia! Ngomong udah kaya cowok aja kamu Sus!”
“Namanya juga Susi, Cha. Bukan Susi
kale, kalau gak geneee…!” timpal Va. Padahal sendirinya juga sering ngomong
kasar kalau sedang kesal.
“Mau gimana lagi. Habisnya emosi ini, see…!”
kurasa semua orang berhak membela diri. “Masa dari tadi aku gak bisa-bisa
gambaaar…!? Padahal aku rasanya tuh tau, apa yang mau aku gambar. Tapi gak tau
kenapa ini tangan gak bisa juga gerakin pensil! Anjrit dah!”
Semua tertawa dengan apa yang aku
katakan. Kurasa itu karena mereka juga mengalami masalah yang sama. Tawaku
meledak menyusul mereka, ketika semua kecuali Yoshi kompak perlihatkan kertas
gambar mereka yang juga masih sama kosongnya denganku.
Hahahahaha…
Tawa kami melantang menembus
keheningan. Banyak yang langsung menolehkan pandangan pada kami yang bukannya
fokus menggambar, eh, malah asyik ketawa.
“Eh, Yoshi udah jadi tuh gambarnya,”
tiba-tiba Va hantam lirikan ke arah Yoshi. Dan memang dari tadi kulihat, Yoshi
paling damai duduknya. Ia duduk di posisi paling ujung utara dari deretan kami
berenam. Kebalikan dari tempatku. Dan bahkan dengan suara tawa kami barusan,
cuma Yoshi yang tetap tak bergeming. Sorot matanya terus saja menatap lembut
kanvasnya, sementara kami berlima melihatnya dengan rasa takjub yang membuat
kami− membisu. Untuk beberapa detik lamanya, aku, Va, Liana, Echa dan Sultoniah
yang akrab kami panggil mba Beton, benar-benar terpana dibuatnya. Hanya dengan
melihat sekilas saja, aku langsung tahu gambar apa yang Yoshi lukiskan di
kertas gambarnya. Sebuah pohon mangga. Tak begitu rindang sih, namun cara Yoshi
dalam menuangkan imajinasinya terhadap daun dan setiap bagian yang membentuk
pohon itu, benar-benar luar biasa. Setiap arsiran benar-benar nampak seperti
layaknya bayang-bayang yang terbentuk oleh seberkas cahaya. Dan cara lihat cara
Yoshi menggambar bentuk mangga yang menggelantung di beberapa tangkai pohon,
benar-benar terkesan natural, seolah mangga itu benar-benar tumbuh dari tangkai
yang mengikatnya dan siap untuk kami petik.
“Yosh,” Echa memecah keheningan.
Wajahnya penuh dengan senyum berbinar yang membuat kami serentak bergerak
mendekati Yoshi. Dan bisa kutebak, semua punya perasaan sama denganku. “Yakin
sumpah cakep banget, Yosh!” aku hampir berteriak. Entah kenapa, aku lupa kalau
beberapa saat lalu aku benar-benar kesal dengannya. Begitu aku berseru
demikian, seruan Echa segera menyusul lantang. Ia memang orang yang paling
dekat dengan Yoshi diantara kami semua. “Beb, keren bangeeet…bikinin dong
punyaku…!”
“Gokil yakin kamu Yosh!” Va
tersenyum kagum. Rasanya aku bisa melihat kalau air liurnya siap menetes kapan
pun. Sementara Liana─sialan! Kali ini tangannya benar-benar cekatan. Dalam
sekejap kertas gambar Yoshi telah berpindah ke tangannya. Dan menyebalkannya,
semua ikut berebut ingin melihat gambar Yoshi, hingga kertas gambar Yoshi
berpindah dari satu tangan ke tangan lain dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. “Hei, hei… sini dong... Itu kan belum selese aku
nggambarnyaaa…”
Yoshi kulihat berteriak, bahkan sampai
terlihat seperti merengek, tapi kertas gambarnya terus saja berpindah. Dimulai
dari Liana, berlanjut ke Sulton yang berada tepat di sampingnya, lalu direbut
Va yang kemudian berlanjut ke Echa. Sementara aku? Aku jadi orang terakhir yang
memegangnya. Apesnyaaa, itu pun tak bertahan cukup lama dalam kekuasaanku. Baru
saja tanganku memegangnya, Yoshi sudah keburu menyambernya dari tanganku. “Anjrit!” seruan tertahan sempat keluar
dari mulutku. Namun itu tetap tak mengubah kenyataan bahwa Yoshi telah
mengambilnya dariku.
Sialan!
“Itu gambar mangga kan, Yosh?” aku benar-benar
menunjukkan sikap antusiasku. “Aku juga udah kepikiran pengin nggambar itu
tadi. Cuman gak tau kenapa susah banget nuangin idenya. Makanya gak jadi-jadi!”
Ngelesss…
“Alahhhhh… omdo koe Sus, lah!” Liana
melempar remasan kertas gambarnya. “Tadi juga ngomongnya bingung mau gambar
apaan. Iya kan, mba brooo…?!”
Selorohan Liana langsung mengundang
hentakan tawa semuanya. Dan tentu saja, aku mencibir, berusaha membela diriku. “Sssst… jangan keras-keras
bisa gak sih, ngomongnya!” sahutku lalu lantang ketawa.
Hahahahaha…
“Bukan gitu
ngarsirnya Cha.” Setelah puas berkelakar dan memanjakan diri kami dengan
berbagai candaan, kami akhirnya kompak mengikuti saran Yoshi dalam menggambar.
“Pelan-pelan aja, gak usah buru-buru. Trus lokasi daunnya juga diperatiin…
usahakan pilih lokasi yang kalau diliat tuh enak. Sus, kamu kurang tuh jumlah
daunnya. Jangan terlalu banyak nanti malah jadinya kayak benang kusut. Tapi
juga jangan sampai janggal karena jumlah daunnya terlalu dikit. Pohon jambu kan
bukan pohon musim gugur, Sus…”
Semua mulai menggambar sesuai dengan yang Yoshi
instruksikan. Bukan berarti kami lantas menggambar pohon yang sama, tapi kami
menggambar dengan tekhnik serupa, seperti petunjuk yang Yoshi berikan. Dan wew, aku sama sekali tidak mengira bakal
dapet bimbingan dari si Pemurung. Aku menggambar pohon jambu yang idenya
kuambil dari pohon jambu tetanggaku, sementara Liana, kulihat menggambar pohon
jeruk. Echa─entah apa yang dipikirkannya, tapi dia menggambar pohon coklat.
Padahal aku sangsi dia tahu seperti apa wujudnya. Si Beton, sebenarnya aku
tidak begitu peduli dengan gambarnya, yah, kami tidak begitu dekat soalnya.
Tapi aku sempat melirik kertas gambarnya, kulihat dia menggambar pohon dengan
buahnya yang berbentuk bulat kecil-kecil. Mungkin anggur. Karena jelas bukan
kelengkeng kalau kulihat dari bentuknya yang tak punya tangkai cukup besar.
Nova jangan ditanya lagi. Dia dengan konyolnya mencoba melukiskan pohon durian
yang terus terang, sama sekali jauh dari mirip. Yah─intinya, kami berhasil
melakukan satu tugas yang Pak Edi berikan. Dan itu berkat Yoshi.
Hahh..
“Akhirnya… satu udah selese!” Echa melemaskan
otot-otot tubuhnya, menghela nafas lega. Setelah akhirnya menyelesaikan gambar
kami, aku dan Echa pergi ke toilet yang letaknya tepat di belakang kelas X-08,
yang punya nama Stars. Di sekitar
kelas kami, serombongan anak cowok masih saja berusaha menerapkan imajinasi
mereka. Aku sempat melihat kerjaan Yoga, cowok paling ganteng se-Cleopatra. Dan ternyata memang seperti
yang digosipin, dia jago dalam seni rupa. Jelas tidak kalah dari Yoshi. “Buset,
Yoga udah sampe gambar person, Cha!” bisikku. Aku benar-benar dilanda kaget
1200 Volt.
“Gila. Kirain kita udah yang paling cepet, Sus!” Echa
berdesis, mukanya sampai sedikit memucat dan memainkan rona kepanikan.
“Apa ndol?!” Ardhani berseru, membuat kami nyaris
melompat. Kaki kanannya bergerak cepat menendang ke arah aku dan Echa. Kami
sukses menghindar, “Brengsek koe ndol lah. Ngagetin!” aku memaki.
Kami terus berjalan, meninggalkan Ardhani yang tertawa
bersama teman-temannya termasuk Yoga. Whatever…
Begitu kami sampai di tempat Va dan lainnya, si Echa
langsung saja teriak, “Yosh, itu anak-anak cowok udah pada mulai gambar
person!”
Tanganku bergerak cepat langsung membungkam mulut
Echa. “Sssttt… pelan-pelan dong, see!” bisikku akut. “Jaim tau. Dikiranya kita
kalah sama tuh para odong-odong!”
Aku sengaja mengecilkan suaraku yang masih shock agar tidak sampai terdengar oleh
anak-anak cowok. Jarak mereka dan tempat kami duduk memang tidak terlalu jauh.
Sialnya, sementara aku dan Echa panik, Nova, Si Beton
dan Liana malah asyik menertawakan suatu canda. “Lho, Yoshi mana?” Echa
tiba-tiba bertanya.
Seketika, mataku bergerak mencari sosok Yoshi yang
ternyata sudah tidak ada di tempat terakhir kali aku melihatnya duduk. Bahkan
aku sama sekali tidak menemukannya dalam radius pandangku. “Barusan masih di
sini, kok.” Kata si Beton, bingung. Aku sama sekali tidak mengindahkannya,
terus memutar pandanganku, menggumamkan berbagai hal yang tak jelas.
“Ke toilet kali?” Nova menjawab santai, dan langsung
mendapat bantahan dari aku dan Echa. “Gak mungkin. Kan aku sama Susi baru dari
sana. Dan gak ada Yoshi. Ya kan, Sus?”
“Sumpah!” sahutku mantap. Aku beranjak melihat ke
dalam kelas, tapi Yoshi tidak ada diantara semua anak yang ada di dalam kelas.
Aku coba bertanya, namun jawaban yang kudapat selalu sama. Tidak ada yang
melihat Yoshi.
Di tengah kebingungan kami, Pak Edi muncul, menanyakan
gambar kami. “Gimana, udah jadi belum gambarnya?”
“Udah pak, tapi ini kita lagi nyari Yoshi.” Sahutku.
Tapi bukannya menanggapi ucapanku, Pak Edi malah main samber buku gambarku
seenaknya. “Wah, tumben gambar kamu lumayan, Gusti?” kata Pak Edi. Terus terang
ini memang pertama kalinya Pak Edi melihat gambarku, lalu tersenyum memujiku.
Karena itu aku pun sekejap lupa dengan masalah Yoshi, terbuai dengan pujian Pak
Edi. “Ya iya dong pak. Bagus kan, pak?”
Bisa kurasakan senyumku tak hentinya mengembang di wajahku yang langsung
berlimpahkan rona ceria.
“Alah, bagusan juga punyaku, pak. Liat nih.” Va
seenaknya nimbrung, langsung memamerkan gambarnya pada Pak Edi dengan senyum
memenuhi wajahnya. Aku jadi kesal karena Pak Edi langsung saja mengacuhkan
gambarku dan beralih pada gambar Nova. “Lah, gambar apa juga gak jelas itu,
kan, ya pak?” Timpalku. Mana sudi aku kalah sama Nova.
Pak Edi dua kali mengangguk lalu berkata, “Kok tumben
sih, gambar kamu berdua lumayan?” ujar Pak Edi sembari mengangkat sebelah
alisnya.
Sialan!
“Masa udah bagus gitu masih dibilang lumayan sih,
pak?” keluhku, agak kesal juga capek-capek menggambar, cuma dapat point
lumayan. Sudah begitu, si Echa dan Beton ternyata juga tak mau ketinggalan dan
berebut menunjukkan hasil gambar mereka. Kasihan, karena belum juga Pak Edi
sempat memuji gambar mereka berdua, beliau sudah keburu melihat arlojinya dan
berkata, “Wah, kayaknya bentar lagi udah mau habis ini jam pelajarannya.”
Pak Edi memandang kami satu persatu dan tersenyum
seraya menambahkan, “Ya sudah. Gambarnya kalian lanjutin di rumah saja, yah.
Pertemuan besok dikumpulin. Tapi bagi yang sudah jadi, bisa silakan dikumpulin
sekarang. Oke?” guru bertubuh jangkung itu berlalu, masuk ke kelas.
“Yahh…” Echa kompak mengeluh bareng Beton. “Gambar
saya gimana nih, pak? Kan bapak belum bilang bagus enggaknya?” Echa nampak
merajuk, bibir si Beton mengerucut lucu. Keduanya bergegas mengejar Pak Edi,
tapi cuma dapat sambutan senyum Pak Edi. “Udahh, bagus kok,” puji Pak Edi
sambil lalu, mengambil kertas gambar keduanya, menaruhnya di meja begitu saja.
“Tapi kalian belum ada yang nggambar person, kan? Nah, makanya bapak bilang
lanjutin gambarnya di rumah.” Tambahnya.
Sialan!
Pak Edi menepuk tangannya, memberi isyarat pada
semuanya untuk segera kembali ke kelas. “Yang sudah jadi silakan dikumpulin.
Dan bagi yang belum selesai bisa dilanjutin di rumah.” Katanya. “Tentu saja,
yang sudah bisa ngumpulin gambarnya hari ini─bakalan bapak kasih nilai plus. Ayo, buruan!” pungkas Pak Edi,
langsung membuat semuanya riuh. Ada yang senang, tapi banyak pula yang
mengeluh, seperti aku dan satu sukuku yang masih sama belum selesai menggambar
person. Dan saat itu, kulihat Echa memegang sebuah kertas gambar kusut di
tangannya. Sebelumnya aku sempat melihat ia memungutnya dari dekat tong sampah
di depan kelas. Tadinya kupikir apa, tapi saat aku coba ikut melihatnya,
ternyata tak lebih dari gambar gagal yang berakhir dengan banyak coretan.
<<Project
Hida>>
Hari Senin itu selalu jadi hari terberat dari ketujuh
hari dalam seminggu. Apalagi dengan ulangan Bahasa Arab yang benar-benar
membuat kepalaku serasa berputar-putar. Dari semua mata pelajaran, aku paling
buruk dalam pelajaran ini. Apalagi dengan Bu Ani yang sentiment banget
denganku─mentang-mentang aku selalu dapat nilai merah untuk setiap ulangan
harianku. “Gusti. Kamu ini gimana, sih!? Masa disuruh hafalin segitu aja gak
bisa-bisa, kamu!”
Yah─omelan seperti itu sih, sudah bukan lagi hal baru
yang mungkin hadir mengiang di kedua telingaku. Mau bagaimana lagi? Sistem
ulangan yang diterapkan Bu Ani benar-benar membuat kami harus kerja ekstra
keras. Dan memang─cara mengajar seorang guru jelas menimbulkan dampak pada
kualitas murid didiknya. Bukan aku mencela cara mengajar guru sih, hanya… yah,
kuharap para guru tidak terlalu mengekang kami dengan aturan-aturan mereka.
“Lho, itu kok ada satu kursi yang
kosong!? Ini kan masih jam pelajaran. Siapa itu yang gak ada!?”
Guru berusia empat puluh tiga tahun
itu lipat tangannya, dengan mulut dikerucutkan, Bu Ani berkata, “Eka, mana
temen sebelah kamu?”
“Ng, gak tau bu,” Echa menyahut, mukanya
nampak cemas bercampur bingung. “Tadi sih masih ada sebelum ibu masuk.”
Aku sama sekali tidak terkejut
dengan kebohongan Echa. Inilah yang kami sebut white lying. Setidaknya, Bu Ani memang tidak perlu tahu sudah
seberapa lama si Yoshi pergi. Dan memang tidak ada yang tahu kemana perginya
Yoshi. Bahkan aku ragu ada yang peduli.
Hahh…
“Ketua kelasnya mana ini?!”
Guru yang aku juluki nenek sihir itu memanggil ketua
kelas─dan dengan nada suara yang terdengar seperti sebuah masalah. “Siapa ketua
kelasnya!?” sekali lagi Bu Ani memanggil dan semua suara pun langsung dengan
ramai menunjuk ke arahku. “Susi, buuu…!”
Oh,
shit!
EmoticonEmoticon